Fiction
Aphrodite [6]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Hari keempat


Semalam, sepulang dari malam tidak menyenangkan itu, aku kembali menggeser sepasang lilin itu satu inci lebih dekat. Aku memohon lebih khusyuk. Setelahnya, tiba-tiba aku memiliki kekuatan untuk mengirim SMS luar biasa panjang untuk menjelaskan alasanku berbuat hal memalukan itu. Aku minta pengertiannya untuk memahami keinginanku untuk memulai hubungan yang lebih serius atau tidak sama sekali. Na0mun, aku tidak berharap Andre membalasnya. Tapi, setidaknya aku bisa sedikit menyelamatkan mukaku.

Aphrodite tidak berdiam diri. Pagi ini aku terbangun karena bunyi SMS.

Ya, sudah. Aku mengerti. Aku juga salah. Kuakui, aku memang masih mencintainya. Namun, semalam kamu telah menciptakan malam menakjubkan. Aku sudah lama tidak merasa begitu. Bolehkah aku memintamu membukakan hari baru untukku?

Aku tersenyum. Kami berjanji bertemu kembali sore nanti.

Aku berguling mendekap bantal yang dingin, tapi berbau ha-ngat. Bukan sekadar lega, dadaku mengepakkan puluhan sayap kupu-kupu berwarna-warni lepas ke langit-langit kamar. Cinta adalah keindahan terbesar di bumi. Aku ingin terus berbaring dan membiarkan setiap pori di tubuhku meresapkan seluruh rasa ini secara perlahan dalam waktu lama.

Hari ini adalah hari kerja paling panjang. Terkadang waktu tidak bisa diukur dari penjumlahan matematis berdasarkan jam, menit, dan detik. Hari ini, menunggu jarum jam menggeser tongkat pendeknya ke angka lima adalah lebih lama dari menunggu tabloid yang akan terbit minggu berikutnya. Sepanjang hari di kantor, aku begitu gelisah dan ingin menuduh seluruh mur penggerak jarum jam di dunia ini telah berkhianat memperlambat waktu.
Telepon di mejaku berdering.

“Sore, bisa bicara dengan Rere?”

“Re, bisa ke ruanganku sebentar.”

Suara itu. Setelah semua yang terjadi, masih sanggupkah ia memberikan suatu getaran? Aku bergegas masuk ke ruangannya. Ia sedang tertunduk menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk di mejanya yang lebar. Dalam posisi seperti itu, aku dapat melihat rambut depannya yang bergelombang jatuh dalam tataan yang menarik di atas dahinya. Jari-jari kuning gadingnya bergerak seperti pelukis menggoreskan keindahan di atas kanvas, meskipun yang ia lakukan hanya menuliskan paraf pada setiap lembaran kertas.

“Masuk, Re!” perintahnya, tanpa mengangkat wajah.

Sambil terus bekerja ia menginstruksikan beberapa perintah dan hanya sesekali mengangkat dagu dari benaman pekerjaannya, ketika aku bertanya mengenai beberapa detail mengenai hal yang harus kukerjakan.

Aku sedang menuliskan beberapa hal yang dianggap perlu, ketika kusadar telah terjadi keheningan yang terlalu lama dan sesuatu yang berdesir, ketika tahu ia sedang menatapku.

“Ada lagi, Pak Ray?” tanyaku, mencoba seformal mungkin.

“Sudah, hanya itu. Terima kasih, ya, Re,“ katanya, dengan nada sejuk, sambil menggeser letak kacamatanya.
Aku menendang tumit kiriku sendiri. Keterlaluan, bagaimana mungkin gerakan sederhana seperti itu bisa membuatku terpesona? Dengan gugup aku bersiap hendak beranjak pergi, ketika ia memanggil namaku.

Terlihat ragu-ragu, lalu ia membuka laci mejanya.

“Kemarin, waktu ke Singapura, saya membeli ini,” katanya, sambil menyodorkan sebuah kotak dari beludru.
Saat kubuka, di dalamnya terlihat ada sebuah bros bergambar burung dalam posisi mengepakkan sayap dengan menjepit pita panjang berjuntai-juntai di paruhnya. Bentuknya halus dan ukirannya rapi. Matanya terbuat dari berlian terang yang tampak sepadan dengan sepuhan emas yang berkilau lembut di seluruh permukaannya. Bentuknya sederhana, namun berkelas.

Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Aku tak tahu mau berkata atau merasa apa.

“Sejak pertama kali melihatnya, saya langsung teringat kamu. Burung itu langsing indah berkilau. Bermain-main dengan pita, membumbung membawa kebahagiaan. Lihat matanya yang hi­dup itu. Maaf, saya baru memberikannya sekarang. Selama ini saya selalu ragu, apakah pantas saya memberikannya padamu. Tapi, makin saya lihat, saya merasa, pasti bagus sekali kalau sudah disemat di dadamu. Mata kalian sama berkilaunya.”

Tahan, jangan berpikiran macam-macam, ia hanya mencoba bersikap baik. Aku berusaha agar senyumku terlihat sewajarnya. “Terima kasih, Pak. Bros ini bagus sekali.”

“Mengenai burung yang membawa kebahagiaan itu, sebenarnya itu sama dengan artimu bagiku. Meski sesaat, kamu pernah membawa kebahagiaan itu untuk saya. Sayalah yang harus berterima kasih.”

Aku diam terpaku. Kata-kata itu menyapu habis semua rasa kecewa dan benci seperti kemarau yang tidak pernah ada. Aphrodite, aku mencintainya. Aku masih mencintainya. Apakah kau sedang mengaturkannya untukku?

“Oh, ya, Re. Laporannya jangan terlalu lama,” lanjutnya dengan nada biasa, sambil meraih gagang telepon, seolah tadi ia tak pernah berkata apa-apa tentang perasaannya. Lalu, perhatiannya terarah sepenuhnya pada lawan bicara di seberang sana. Sebuah pengabaian, tanda pengusiran yang halus.

Ternyata, sikap antiklimaks itu muncul lagi. Setelah membuatku mengira harapan itu ada, ternyata semua hanya kertas kosong semata. Sebenarnya dia tadi bermaksud apa? Mungkinkah aku berlebih-lebihan menangkap makna?

Perlahan aku meninggalkan ruangannya tanpa berkata-kata. Seluruh sore itu rusaklah sudah. Betapa mudahnya pria itu memasang-surutkan perasaanku. Semua emosi sudah dikurasnya habis. Tepat pukul 6 sore aku turun ke kafe dekat lobi. Namun, aku sudah kehilangan kesenangan untuk bertemu Andre.

Sesampai di sana, hampir semua meja telah terisi. Andre belum datang dan aku memilih tempat duduk di pojok. Pelayan bergegas datang mengantarkan selembar kertas menu, lalu pergi. Haruskah aku memesan sesuatu, ketika semua jenis minuman akan terasa hambar di permukaan lidah?

Suasana yang redup membuatku melamunkan hari-hari kemarin. Aku tidak pernah bermaksud jatuh cinta pada pria beristri, namun hatiku memilih perjalanan sulitnya sendiri.

“Ibu, mau pesan apa?” pelayan bernama Wina itu datang lagi. Sudah pukul 7 lewat. Ke mana Andre, ya?

“Sebentar, Mbak. Teman saya belum datang juga.”

Wina tersenyum. “Tidak apa-apa, Ibu. Jika perlu sesuatu panggil saya saja. Senang sekali bisa melayani Ibu.”

Rasa senang karena mendapatkan kehormatan lewat pelayanan sepersonal itu hilang sudah. Aku melamun lagi. Sudah pukul 7.20. Kafe makin penuh oleh pengunjung lain. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan serunya, sementara aku kering kerontang dalam kesendirian. Karena merasa tidak enak melihat pengunjung lain berdesakkan, aku pindah ke meja lain yang hanya terdiri dari 2 kursi, meskipun tempatnya kurang nyaman untuk melamun. Andre kamu ke mana? Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu?

“Ibu mau pesan apa?”

Wina datang lagi dan aku akan gila kalau ia kembali menanyakan hal yang sama. “Wina, ini tip untuk kamu. Terima kasih, ya.”

Aku berjalan memunggungi Wina yang makin melongo dengan nampan di tangannya. Andre pasti tidak datang. Kuputuskan pulang.

Disia-siakan dua pria dalam satu hari. Yang pertama mencintai orang yang tak ingin dicintai dan yang kedua dibiarkan sendiri menunggu. Adakah wanita lain yang sudah putus asa dalam mencari pasangan sepertiku mengalami hal yang lebih sial? Sebenarnya, aku tidak mampu kecewa atas ketidakdatangan Andre. Ketidakpedulian Pak Ray telah menimbulkan rasa hampa yang menyedot kemampuanku untuk bisa merasakan rasa-rasa yang lain. Mungkin hati kecilku tidak berharap bertemu Andre dalam suasana hati seperti ini.

Sampai di rumah, baru kutahu Andre membatalkan janji lewat SMS. Rupanya, aku terlalu banyak melamun. Kata-kata Andre manis dan berbunga-bunga, namun aku sedang tak ingin peduli. Aku hanya ingin mandi air panas dan berkubang di selimutku yang hangat.

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Elvi Fianita



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?