Fiction
Aphrodite [10]

9 Mar 2012

<< Cerita Sebelumnya

Pagi ini matahari memancarkan sinarnya dengan kekuatan panas. Aku sudah kusut sebelum sampai di kantor. Lorong depan lift sudah sepi dari para karyawan yang biasanya mengantre. Aku sudah terlambat. Sekali lagi kusiapkan alasan yang sudah kuno selalu ampuh: macet.

Lift kosong. Di lantai lima lift terbuka. Masuklah manusia yang paling pandai menambah malapetaka. Deden. Saat melihatku, ia menyeringai lebar. Aku mengernyit masam. Benar-benar pagi pembuka hari yang menyebalkan. Dia lalu mulai bertanya-tanya hal menyebalkan soal keterlambatanku. Semua kujawab dengan acuh, hingga kemudian....

“Re, lift-nya jalannya agak aneh, ya?

Kudiamkan saja. Bosen menanggapinya!

“Re, jadi melambat.

Tapi, aku merasakan hal yang sama. Tarikan tali lift seperti tersendat, membuat kotak kecil ini bergoyang. Rasa panik mulai merambat naik. Dan…

bruk! Lift berhenti total.

Aphrodite! Aku ingin berteriak sekerasnya. Bercandamu sama sekali tidak lucu! Kalau aku harus terjebak di dalam lift, kenapa harus dengan Deden? Aku merinding. Apakah kamu mencoba menjodohkanku dengan dia? Aphrodite, kumohon, maafkan caci makiku tadi malam. Jangan lakukan ini!

Bergegas aku memencet tombol dengan goresan bergambar lonceng. Sebuah suara petugas terdengar.

“Bu, lift macet, ya? Tunggu sebentar, ya.

“Ya, Pak. Jangan lama-lama, ya. Panas sekali di sini.

Aku mendesah. Berapa lama lagi? Tidak mengertikah mereka bah­wa waktu satu detik di luar sana setara dengan hitungan satu jam di dalam lift? Aku ingin berjalan mondar-mandir untuk membunuh rasa gelisah, tapi takut membuat talinya putus oleh detakan kecil dari hak sepatuku. Deden diam saja. Mungkin, rasa takut telah mencekik pita suaranya. Syukurlah, ia bisa bersikap sesuai kehendakku.

Sepuluh menit yang panjang berlalu sudah. Aku berulang kali mendesah, mengeluh, mengumpat. Berulang kali kutekan tombol hanya untuk mendapat jawaban yang sama: Petugasnya sedang dipanggil. Aku bukan takut lift ini akan terempas, melainkan takut Aphrodite sedang menjalankan hukuman untukku dalam bentuk jatuh cinta dengan Deden!

Wahai, Aphrodite, aku bersumpah, jika bisa keluar dari lift dengan selamat, dalam arti aku tetap memandang Deden dengan kaca mata yang sama, aku akan menimbuni altarmu dengan rangkaian bunga mawar.
Tiga puluh menit berlalu. Udara makin sesak. Aku melirik Deden. Ia masih diam. Wajahnya pucat. Rupanya, rasa cemas telah membekukan semua saraf motoriknya. Ia lebih takut daripadaku. “Den, kalau bisa keluar dari sini, aku tidak akan marah-marah lagi padamu. Maaf, ya, kalau selama ini aku selalu judes.

Ia tersenyum, lalu menunduk. “Re, maafkan aku, ya. Aku sengaja menjatuhkan presentasi kamu. Kamu yang sebenarnya punya kesempatan lebih besar untuk naik jabatan. Tapi, aku tidak rela kalau kamu jadi manajer, sementara aku staf biasa, menjadi orang yang tidak akan pernah kamu pandang. Itu semua karena… karena… aku suka kamu!

Aku membelalak.

“Semua hadiah kecil yang kamu dapat itu dari aku.

Hening.

Yang satu hilang rasa karena lega yang melimpah-limpah. Yang satu tak tahu rasa, karena bingung meraba-raba.
Brak! Tiba-tiba lift mulai berjalan lagi.

Sampai di kantor, suasana panik sangat terasa. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan kemalangan yang tadi menimpa kami. Tak ada yang duduk tenang di kursinya masing-masing. Saat Deden memasuki ruangan, semua arus emosi berbelok tersembur padanya. Den, disketmu ada virusnya!

Friesti berteriak, Gila, file-ku hilang. Kemarin kamu kan menyebarkan proposal dengan disket. Berarti, virus itu dari disketmu. Den, ayo, betulkan!

Aku tercekat. File bervirus? Astaga!

Panggil orang IT saja.

Semua orang berseru sebal padanya. Tapi, sebenarnya akulah yang duduk di kursi pesakitan. Semua ini salahku. Harusnya akulah yang dimaki-maki, bukan Deden. Ada sedikit dorongan untuk mengakuinya di depan umum. Tapi, sanggupkah aku menghadapinya? Biarlah kata hatiku memecut-mecut harga diri dengan kata pengecut. Tapi, aku tak mampu menerima kenyataan menjadi tidak disukai banyak orang. Maafkan aku, Den. Masalah nama baikmu akan kubereskan dengan cara lain nanti.

Re, bisa ke sini sebentar?

Pak Ray melongokkan kepalanya dari balik pintu. Ketika kumasuki ruangannya, ia telah menyiapkan selembar kertas.

Saya memerhatikan hasil kerjamu selama ini. Saya ingin kamu menggantikan posisi Pak Joko. Saya percaya kamu bisa. Selamat, ya.

Pak Ray mengulurkan tangan. Tuhan, aku sudah menghancurkan nama baik Deden untuk sesuatu yang percuma, untuk iri hati yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin Aphrodite benar. Mungkin aku harus menebus kesalahanku dengan menikahi Deden.

Hari kesembilan

Agoraphobia adalah istilah untuk orang yang memiliki kecemasan berlebihan terhadap tempat terbuka. Claustrophobia adalah kebalik­annya. Lalu, bagaimana dengan aku yang selalu ketakutan, ketika melihat lift atau mendengar ponsel berdering. Mungkin ini bisa digolongkan sebagai penyakit liftphobia? Atau, bowophobia?
Ketakutanku pada Bowo rasanya tidak berlebihan. Aku bukan malu pada apa yang telah kami lakukan. Bukan takut pada berbagai kemungkinan reaksi yang akan ia keluarkan jika kami bertemu. Aku takut menemukan kenyataan bahwa ada sesuatu yang telah aku simpan begitu dalam untuknya.

Aku sedang sendirian berjalan keluar dari mal, ketika seseorang mendekatiku. Dia. Lagi-lagi dia. Dengan cepat kulangkahkah kaki, membuka pintu, dan melesak duduk di sampingnya.

Tondi, kita pulang, yuk.

Ia mengangguk, lalu membelokkan mobil keluar dari area mal.

Kita makan dulu, yuk.

Boleh, deh. Di mana?

Malam-malam begini enaknya makan sate.

Aku hanya menurut ketika mobil Tondi membawa kami ke daerah yang tidak kukenal dengan baik. Jalannya sempit dan lengang, namun padat oleh perumahan. Kami berhenti pada suatu areal kosong di samping rel kereta api. Di dekatnya ada sebuah gerobak sate dengan penerangan dan tempat duduk seadanya. Memang pengunjungnya cukup banyak, tapi masa, sih, Tondi biasa makan di sini? Seorang Tondi yang biasa memakai baju branded, clubbing, dan bermobil mewah, makan di emperan? Ini baru kejutan!

Kamu nggak keberatan makan di emperan, ’kan?

Tondi, ternyata aku tidak pernah mengenalmu.

Cerita Selanjutnya >>

Penulis: Elvi Fianita


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?