Food Trend
Andrian Ishak

19 May 2013


Sebuah bangunan ruko yang bersahaja di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, menawarkan pengalaman unik dan berbeda dalam bersantap. Mengusung bendera Namaaz Dining, di sana berdiri seorang chef berjiwa seni luar biasa. Meski mengaku tidak pernah punya pengalaman di bidang kuliner secara formal, chef yang berlatar belakang ekonomi dan musik ini justru mengangkat teknik masak yang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Sekitar empat puluh masakan Indonesia dengan judul unik, sukses diciptakan oleh chef yang akrab disapa Bodin ini. Tumis oncom, asinan betawi, hingga ikan woku pun tidak tampil apa adanya, melainkan terdekonstruksi menjadi masakan baru yang menakjubkan.

Sulitkah menerapkan teknik molgas ke sebagian masakan Indonesia?
Seperti kita tahu, teknik masak ini merupakan penggabungan antara unsur fisika dan kimia untuk menghasilkan masakan yang berbeda. Pencicip bisa terkesan dengan kemajuan dalam presentasi dan rasa, serta jadi semangat kala bersantap. Menciptakan kejutan pengalaman makan inilah yang saya gemari, bahwa apa yang kita lihat belum tentu sama dengan apa yang kita rasa. Memasukkan unsur molgas untuk memberi warna pada masakan Indonesia adalah hal yang patut diberikan ditengah bangkitnya pamor masakan lokal.

Kenapa banting setir dari musik?
Siapa bilang memasak itu bukan seni. Memasak itu juga termasuk seni. Karena, seni adalah bagaimana seseorang bisa menikmati objek dengan seluruh indra yang dimilikinya. Begitu juga dengan memasak. Bagi saya, masak itu adalah seni menciptakan makanan yang mampu membangkitkan seluruh indra seseorang. Baik itu indra penciuman dalam menilik aroma, indra penglihatan lewat tampilan, indra perasa lewat lidah saat mencicipi, dan yang tak boleh ketinggalan adalah pemikiran kita.

Siapa inspirasi Anda?
Saya fans berat Heston Blumenthal, (chef molgas di Fat Duck di Inggris).  Ia tidak menyerah ketika restonya yang mengusung teknik ini dipaksa tutup karena banyak orang yang mengaku sakit setelah makan masakannya, ha ha ha ha... Nyatanya, teknik masak yang dulunya dianggap ajaib kini menjadi salah satu yang paling dicari. Hal seperti inilah yang ingin saya wujudkan, yakni menampilkan hal baru untuk masakan Nusantara.
 
Hal paling sulit yang pernah Anda temukan dalam menciptakan masakan dengan teknik ini?
Hingga saat ini saya belum menemukan kesulitan yang berarti karena, seperti saya katakan sebelumnya, memasak itu adalah seni. Bila kita mencintai seni yang kita mainkan, kita tidak akan merasa sulit. Tantangan saya hadapi dengan rajin ngubek alat-alat untuk menunjang teknik molgas, buku dan berkelana ke resto berkualitas. Saya sempat menjual gitar saya untuk memodali Namaaz!

Apa, sih, arti kepuasan bekerja bagi Anda?
Tidak ada manusia yang puas pada apa yang dimilikinya, termasuk saya. Kalau puas, artinya saya tidak akan melakukan apa pun untuk mewujudkan impian saya, yakni memberi pengalaman santap yang baru, berbeda, dan tak terlupakan bagi  tiap tamu yang mengunjungi tempat makan saya. Jadi semuanya saya tempuh.
 
Aset penting bagi yang ingin menjadi chef molgas?
Sama sekali tidak perlu keahlian khusus, yang penting minat dulu. Kesabaran yang cukup tinggi dalam memasak, karena pada dasarnya  teknik masak ini membutuhkan eksperimen dan waktu masak cukup lama. Imaji harus selalu liar, tak terbatas!

Menurut Anda, mengapa justru lebih banyak pria yang terjun dan sukses di dapur profesional?
Saya akui, bekerja di wilayah dapur bukanlah hal mudah. Sama sekali tidak boleh tergantung dan bertekuk lutut pada mood. Apabila mood sedang drop, kualitas masakan yang dihasilkan pun kurang maksimal dan pasti akan terasa oleh tamu yang mencicipinya. Entah mengapa, wanita rata-rata sulit menjaga mood dan mudah drop ketika masalah datang, ha… ha… ha….

Arti keluarga bagi seorang seniman kuliner seperti Anda?
Bagi saya, keluarga adalah segalanya dan nomor satu. Merekalah tempat saya pulang setelah lelah bekerja. Mereka juga pendorong semangat saya untuk terus berkarya dan memberikan makanan terbaik untuk tamu.(BERLIANTI SAVITRI)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?