Celebrity
Anak Alam

7 Apr 2015


“Saya bahagia dengan pekerjaan saya karena saya bisa berbuat sesuatu untuk membantu upaya konservasi satwa liar di Indonesia yang tergolong critically endangered species,” kata Erni Suyanti Musabine. Apalagi, ia bisa melihat secara langsung di hutan dan menyematkan mereka, kesempatan yang tidak dimiliki oleh banyak orang.
   
Pekerjaan ini, bagi wanita kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 14 September 1974, ini  seperti impian masa kecil yang menjadi kenyataan. Yanti hobi nonton film-film dokumenter tentang hewan liar sejak masih belia. Ia juga terkesan oleh kerja orang-orang di Afrika dan Australia saat melakukan konservasi satwa liar di film-film itu. “Tanpa saya duga, setelah dewasa saya bekerja seperti orang-orang di film dokumenter yang saya lihat dulu,” katanya, bangga.

Anak ke-3 dari 4 bersaudara pasangan Musabine dan Lasminah ini tumbuh besar dalam keluarga penyayang binatang dan alam. “Orang tua kami memelihara banyak hewan ternak, dan di pekarangan rumah kami banyak ditumbuhi pepohonan tempat burung-burung liar menempatkan sarang,” ujarnya. Kedua orang tuanya akan marah bila ada orang-orang iseng yang berburu burung liar tersebut.

Meski begitu, ketika lulus SMA dan hendak tes masuk perguruan tinggi, pilihan pertama Yanti adalah jurusan arsitektur. Alasannya, karena ia suka menggambar dan membuat desain. Ia kemudian terpikir untuk mengambil kedokteran hewan tepat ketika ia harus mengisi formulir tes masuk perguruan tinggi.  “Penasaran saja, apa, sih, yang dipelajari di fakultas itu,” ujarnya, sambil mengatakan bahwa kedua orang tuanya menginginkan ia masuk ke fakultas kedokteran.

Diawali rasa penasaran, setelah akhirnya diterima di fakultas kedokteran hewan, Yanti betul-betul menemukan cinta lamanya pada alam. Bila mahasiswa lain saat itu mungkin memilih menghabiskan waktu luang di mal atau aktif dalam diskusi-diskusi politik yang panas di tahun-tahun menjelang tumbangnya Orde Baru, Yanti memilih bergabung dengan kelompok pencinta alam. Ia juga aktif menjadi relawan untuk konservasi satwa liar yang terancam punah di LSM bernama Konservasi Satwa Bagi Kehidupan di Jawa Timur.

“Caving, rafting, dan naik gunung adalah hobi saya,” katanya, tertawa. Ia juga menjadi atlet dayung Unair dan pernah menjadi juara umum dalam lomba dayung di Jawa Timur.
Karena itu, setelah lulus kuliah dan meraih gelar dokter hewan, ia langsung bekerja untuk konservasi satwa liar di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Malang, sebelum kemudian pindah ke Seblat pada tahun 2004. “Di luar semua kegiatan itu, yang sebetulnya sangat menginspirasi saya untuk menekuni bidang ini adalah Dian Fossey, Dr. Jane Goondall, dan film Born Free,” kata penyuka fotografi ini.

Dian Fossey adalah zoologist, primatologist dan anthropologist asal Amerika yang berjuang untuk konservasi gorila di Afrika. Demi idealismenya itu, nyawa pun tak segan ia pertaruhkan sampai ia tewas dibunuh di sebuah kamp di Rwanda. Sementara, Dr. Jane Goondall adalah primatologist dari Inggris yang bekerja untuk konservasi simpanse di Afrika. Dan film Born Free, tentu banyak yang sudah tahu, yaitu film klasik ber-setting di Kenya yang berkisah tentang pasangan yang mengasuh anak-anak singa piatu yang kemudian dilepaskan di hutan.

Meski kini tinggal di hutan, tak ada setitik pun rasa bosan dan kesepian menghinggapinya. “Pernah tinggal di Surabaya, saya ternyata justru jenuh dengan kehidupan kota besar. Karena itu, sejak lama saya memang ingin tinggal di luar Jawa saja,” ujarnya. Apalagi, dengan teknologi komunikasi seperti sekarang, ia merasa tidak ada batas geografis lagi karena siapa pun bisa dikontak dengan mudah.

Kini, selain kegiatan medis, Yanti juga getol melakukan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya konservasi satwa liar dan habitatnya bagi anak-anak sekolah dan masyarakat sekitar kawasan hutan. “Mereka juga memegang kunci utama pelestarian satwa liar,” ujarnya. Meski ia mengakui masyarakat biasanya merambah kawasan hutan dalam skala kecil, kecuali sekelompok masyarakat yang dimobilisasi untuk membuka hutan karena kepentingan perusahaan atau golongan tertentu yang banyak terjadi di Sumatra.

Dengan semua yang telah ia lakukan, apakah Yanti masih menyimpan mimpi yang lain? “Saya ingin menjadi peneliti karena masih banyak hal yang belum terungkap. Dengan keterbatasan ilmu saya, saya merasa apa yang saya lakukan belum optimal,” ujar Yanti, yang juga ingin menulis buku tentang pengalaman me-rescue satwa liar ini.
Satu hal lain yang tak kalah penting, selain fasilitas asuransi jiwa bagi dokter hewan, ia berharap tersedianya fasilitas medis berupa klinik dan peralatan medis yang memadai sebagai senjatanya untuk bekerja agar penanganan tak lagi terkendala keterbatasan peralatan dan obat-obatan. “Bila dibandingkan tempat lain, Afrika misalnya, fasilitas yang kami miliki jauh tertinggal,” katanya.

Yoseptin Pratiwi







 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?