Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [9]

21 May 2012


Tatkala hendak masuk ke gedung apartemennya, Fe melewati pintu Orien dan Tina. Semua tampak seperti biasa. Ia yang berbeda. Hari itu ia menjadi gadis yang berbeda. Sekuat tenaga ia menahan tangis seperti tanggul yang bocor. Ia tidak mau menangis di hadapan orang-orang itu. Ia menyayangi mereka.


Fe memutar kuncinya sebelum matanya buram tertutup genangan air mata sampai namanya dipanggil. Fe menoleh. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencegah air matanya mengalir. Bu Rasti berdiri di ujung tangga, menenteng bungkusan. Melihat wajah Fe, tak ragu Bu Rasti melangkah menghampirinya.

“Kau tak apa-apa, Nak?”

Bu Rasti tersenyum sedih dan mengacungkan bungkusan yang ia bawa. “Makanan kecil untukmu.”

Kata-kata itu seperti air segar yang menciprati jilatan api dalam diri Fe. “Saat ini saya ingin memeluk mama saya, tapi hanya Bu Rasti yang ada di depan saya.”

“Fe, apa pun akan saya lakukan agar kau merasa sejuk.”

Saat itu Fe menumpahkan tangis. Tangis yang ditahannya sejak menerima undangan pernikahan Tony dan Shiva. Ia tak tahan panasnya api yang mengganas. Terlalu panas untuk dirasakan sendiri. 

Bu Rasti tidak tahu, mengapa gadis yang ia sayangi itu menangis. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan wajah gadis itu begitu menyedihkan. Seakan menunggu untuk dilempar ke dalam api. Yang ia tahu, Fe memerlukan seseorang. Jika waktu itu Fe sudah menolongnya keluar dari kesendiriannya, ia ingin melakukan sesuatu untuk membuat Fe kembali menjadi Fe yang dulu. 

Fe menghapus sisa-sisa air mata. Jilatan apinya tidak sepanas tadi. Ia berterima kasih karena ada yang mau berbagi api dengannya. Seketika, Bu Rasti tahu tugasnya sudah selesai. Kehangatan mengaliri tubuhnya. Waktu Fe masuk ke apartemennya pagi itu dengan bungkusan di tangan, ia berhasil memadamkan sedikit apinya. 

Hari itu datang juga. Meski tidak mengharapkan hari itu datang dengan cepat, toh, Fe tetap mempersiapkan diri. Persiapannya istimewa. Baginya, pesta malam itu adalah pesta pelepasan cinta pertamanya. Yang ditulis dengan tinta emas di buku kehidupannya.

Karena itu, pagi-pagi ia menggedor pintu apartemen Tina untuk berkonsultasi tentang riasan yang tepat untuknya. Fe pun mencari gaun yang tepat. Dan, ia langsung jatuh cinta pada gaun tak berlengan berwarna peach, belahan dadanya bentuk V, yang kainnya jatuh menurut gerakannya. Ia merasa, gaun inilah yang paling tepat.

“Kau akan tampil cantik malam ini, Fe,” kata Tina.

Fe cuma tersenyum simpul. Memang itu yang ia mau.

Fe tidak menyangka penampilannya malam itu begitu berbeda. Apinya kembali meletup. Ia tersenyum puas memandang dirinya lewat cermin. Bunyi ketukan di pintu mengagetkannya. Ia menghambur menuju pintu depan. Pangerannya datang.

Fe menyambar tas kecil, menyemprotkan sepercik minyak wangi dan sekali lagi melihat dirinya di cermin. Ia sudah siap. Mata Sebastian tidak berkedip ketika melihat penampilan Fe. Gairahnya kembali meletup, seperti waktu pertama kali mereka berkenalan.

Pesta yang meriah. Fe tak menyangka pestanya digelar semeriah itu. Tapi, letupan apinya belum padam. Ia baru saja mulai.

“Kau ingin memberi ucapan selamat sekarang?” tanya Sebastian.

Fe menatap kedua mempelai yang ada di atas panggung. Ia mengangguk, lalu menyiapkan kado dalam genggamannya. Sebastian merasakan tangan Fe yang dingin. Menyebabkan api gairahnya kembali menjilat permukaan. Mereka menunggu dengan sabar tamu-tamu lain yang bergantian menyalami pengantin. Tubuh Fe tiba-tiba gemetar. Ia bertahan sekuat tenaga supaya tidak jatuh.

Tiba giliran mereka, Fe melemparkan senyum pada Shiva. Ia tak pernah mengenal gadis yang merebut hati cinta pertamanya itu. Ia memang tak ingin mengenal lebih dekat.

Fe menyodorkan tabung kaca itu. Isinya udara, cincin semasa kanak-kanak yang diberikan Tony, dan segulung kertas kecil. 

“Mungkin, aku cuma seperti udara saja bagimu, tapi aku pernah menyediakan ruang khusus di hatiku untukmu, dengan segenap cinta yang kumiliki. Sekarang, semuanya sudah kumasukkan ke dalam tabung kaca itu. Kutitipkan atas nama persahabatan yang kita miliki.” Kemudian, Fe turun, tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Sebastian menyejajarkan langkahnya dengan Fe. Mata Fe berkaca-kaca. Fe mengerjap-ngerjapkan matanya. Menahan keinginan untuk membiarkan air matanya mengalir dan api menjilat lagi.

“Bagaimana kalau kita juga merayakan peristiwa ini? Pesta ini juga pestaku. Pesta pelepasan cinta pertamaku.”
Sebastian cuma mengangguk. Tak kuasa menolak.

Mereka malam itu pulang dalam keadaan setengah tak sadar. Sampanye yang memabukkan malah membakar api yang makin hebat, menjalar ke sekujur tubuh mereka. Panas yang membara membuat kesadaran mereka menjauh. Malam itu malam yang panas. Karena, lidah api menyerang mereka berdua. Api gairah makin meletup seiring malam yang makin larut. Sebastian mengantarkan Fe sampai ke pintu apartemennya. Dinginnya malam tak dapat memadamkan api di tubuh mereka berdua.

Mereka tidak bisa memadamkan api yang nyalanya terlalu besar.

TANAH
Tangan Fe menggapai-gapai. “Mama, Mama di mana?” jeritnya. Tapi, ke mana pun ia melangkah, kabut selalu menghalangi pandangan matanya. “Mama?” ia melangkah lagi, mencari-cari sesuatu. Bayangan seorang gadis tiba-tiba muncul di hadapannya.

Saat Fe mendekat, gadis itu ambruk di pelukannya. Fe terkejut. Ia menyibak rambut yang menutupi wajah gadis itu dan hampir pingsan melihat bahwa gadis itu Orien. Belum habis rasa kagetnya, terlihat darah yang tercecer di sekitar tubuh Orien yang membeku. Fe menjerit sekencang-kencangnya.

Sekujur tubuh Fe kuyup karena keringat. Melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Menggigil. Ia mendengar dengkur halus di sebelahnya. Lalu, kesadaran itu mampir kembali di kepalanya. Ia baru sadar, tak ada selembar benang pun menutupi tubuhnya. Fe kembali menjerit sekencang-kencangnya. Hanya, kali ini tidak dalam mimpi. 

Pria yang tidur di sebelahnya terlonjak kaget.

Fe meraih selimut untuk menutup tubuhnya. “Pergi! Pergi!”

Sebastian berusaha menenangkan gadis itu. “Tenang, Fe.”

“Tenang? Tenang katamu? Kau sudah merenggut milikku yang paling berharga!” Sisa api tadi malam kembali memercik, kemudian hancur menjadi abu. Fe tersedu. Menyesali gairah api yang memabukkan mereka berdua tadi malam. Hujan yang mulai deras di luar sana seakan ikut merasakan kesedihan dan kemarahan Fe terhadap dirinya sendiri.

“Aku mencintaimu, Fe. Kita menikah,” kata Sebastian, tenang.

Dalam sinar kilat yang hanya sekian detik itu, Sebastian menemukan wajah Fe yang mengerikan. Campuran kesedihan dan tatapan jijik. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, meraih jubah mandinya, dan keluar kamar. Sebastian sudah meninggalkan sepotong luka yang tak akan pernah sembuh.

Fe membiarkan air matanya mengalir. Tangannya terus menyiramkan air ke sekujur tubuhnya dan menggosoknya keras-keras dengan sabun. Tapi, sebanyak apa pun air yang mengguyur tubuhnya, sekeras apa pun ia menggosok, ia masih merasa kotor. Ada denyut perih di bawah perutnya. 

Apa yang sudah ia lakukan? Apa? Ada orang yang ingin menjelaskan padanya mengapa ini semua terjadi?

Fe hampir gila.

Sebastian meninggalkan apartemen Fe pukul empat dini hari. Wajahnya yang tampan kini jauh dari binar-binar cahaya. Kenikmatan sesaat yang harus dibayar dengan mahal. Api itu sudah menguras habis miliknya. Menyisakan penyesalan yang mungkin tak pernah terobati. Meninggalkan seonggok dosa.

Tatapan mata Fe saat itu begitu dingin. Sedingin tanah yang basah terguyur air hujan. Pria itu mengutuki dirinya sendiri, sementara kakinya membawanya keluar apartemen itu.

Di tengah hujan yang masih tercurah, ia membuka pintu mobil. Setetes air jatuh ke tanah. Pria tampan itu menangis.

Fe menarik seprai tempat tidurnya, yang ternoda bercak kemerahan, lalu memasukkannya ke mesin cuci. Bertahun-tahun ia belajar mengendalikan diri dan emosinya. Hanya dalam hitungan hari, semuanya terjadi di luar kendali. Suara hujan makin mengiris hati Fe. Seakan-akan Yang Di Atas turut meneteskan air mata, melihat Fe tergelincir dalam lumpur.

Ia tahu, tak ada gunanya terus menyesali diri. Ia telah belajar bangun sendiri ketika jatuh. Kini sayapnya kembali terluka dan ia jatuh terempas ke tanah.

Ia harus memulai harinya seperti biasa. Hukuman apa pun akan ia terima karena sudah membiarkan dirinya terempas jatuh.

Orien. Fe teringat pada mimpinya. Mengapa harus Orien yang hadir dalam mimpinya di malam yang hina itu? Mengapa Orien? Sekali lagi, tanpa sadar, Fe mengetuk pintu apartemen Orien. Ketika Fe mendengar sahutan dari balik pintu itu dan melihat kepala Orien menyembul, ia menarik napas lega. 

“Hanya ingin melihat kau,” kata Fe, lantas melangkah pergi.

Ketika disambut jalanan becek pagi itu, ia tahu hidupnya masih mengalir seperti air. Ia merasakan silir udara di sela-sela rambutnya dan menyentuh pori-pori kulitnya. Masih ada api semangat yang tak pernah padam.

Fe kembali duduk di meja kerjanya di kantor pagi itu, menarik napas lega, karena suasana kantornya tidak berubah. Berarti, ia masih diberi kesempatan untuk melewati hari itu. 

“Pulang, Fe?” Tony. “Aku ingin bicara.”

Dan, ia duduk berdua dengan pria, yang cintanya sudah ia tiupkan bersama angin, yang berembus, di kafe seberang kantor.

“Mengapa kau tak pernah mengatakannya, Fe?” tuntut Tony.

Fe memandang pria di hadapannya, kemudian mengedikkan bahunya. Hari itu, entah bagaimana, sudah tak ada rasa cinta yang menghujam kuat seperti yang dirasakannya dulu. Akarnya sudah ia cabut dan sisa-sisa rantingnya sudah ia buang. Buahnya sudah membusuk.


                                                               cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika 
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?