Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [6]

21 May 2012


Fe sedang asyik menuangkan ide-idenya siang itu, ketika Sovie menghampiri mejanya. Sovie mengatur napasnya. “Kau lihat freelancer baru yang bareng Bu Nana pagi tadi?”


“Enggak,” sahut Fe, cuek. 

“Ada dua. Sebastian dan Tony. Sebastian tampan, lho.”

Fe melirik Sovie, lantas tertawa kecil. “Tadi pagi aku di ruangan Bu Nana untuk membicarakan tulisanku.”

Fe kembali menekuni layar komputer. Ini jauh lebih menarik daripada menggosipkan pria yang belum dikenalnya.

“Hai! Kau yang bernama Fe? Saya Sebastian.”

Fe mengerutkan kening, kesal karena merasa terganggu. 

Fe menatap pria di hadapannya. Pria itu memang memiliki wajah dengan struktur tulang yang dipahat dengan apik. Tubuhnya yang ramping berotot menunjukkan bahwa dia melakukan latihan rutin.

“Kau yang bernama Fe ‘kan?” tanya pria itu, sekali lagi.

Fe mengangguk, sambil berdiri dan mengulurkan tangan, “Fe.”

Pria itu mengangguk. “Jadi, kau anak kesayangan Bu Nana?” 

Giliran Fe yang mengangguk.

Dengan kedua tangan dimasukkan di kantung celana, Sebastian berusaha melongok ke layar komputer Fe. “Sedang menulis apa?”

Apa hak dia bertanya-tanya seperti itu? Kenal pun baru saja! Dan, Fe tidak terlalu suka udara di sekitarnya terhisap oleh orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana. Sebastian salah satu di antaranya. Meski demikian, ia meredam perasaan kesalnya dan memberikan senyuman pada pria usil itu.

Bisa kau tinggalkan aku? Aku harus menyelesaikan tulisanku,” pinta Fe. 

Pria itu tertegun. Seumur hidupnya mungkin ia tidak pernah ditolak oleh wanita. Saat ini, wanita yang baru dikenalnya itu, baru saja mengusirnya secara halus. Dan, ia tidak mengerti. Juga tidak menerima. Bagaimana mungkin? Tapi, tatapan gadis itu meredakan amarahnya. Senyumnya seolah mengelus lembut ruang hatinya. Ada rasa nyaman yang menenteramkan. Seakan dilecut oleh senyum itu, Sebastian mengangguk sopan dan meninggalkan Fe.

Fe mengembuskan napas lega, lalu kembali menekuni pekerjaannya. Akhirnya, Fe bisa menikmati udaranya sendirian. Ia butuh itu untuk bekerja dengan baik. 

Fe senang tulisannya lancar. Karena itu, ia menghadiahi dirinya dengan makan siang di kafe seberang kantor. Menikmati udaranya sendirian, sementara imajinasi dan ide-ide yang ada dalam kepalanya ia biarkan mengalir dan ia terjemahkan menjadi sebuah tulisan.

Makan siangnya cuma nasi goreng plus sebotol air mineral. Tapi, toh, ia menikmati kesendiriannya di waktu-waktu seperti itu.

“Boleh duduk di sini?”

Sapaan itu menyentuh daun telinga Fe. Menggetar kan hati. 

“Tony?” Fe tidak menyangka akan bertemu sahabat masa kecilnya di tempat itu. Matanya berbinar senang “Sedang apa di sini?”

Tony tertawa kecil, meletakkan bakinya di hadapan Fe, kemudian duduk. “Aku sekantor dengan kau. Aku tadi ingin menyapamu. Tapi, kudengar kau mengusir Sebastian secara halus. Aku tidak mau senasib dengannya.”

Fe terkekeh. 

“Kau tambah cantik, Fe.” Di balik kacamatanya, Tony menatap Fe dalam-dalam, meninggalkan debar jantung yang menyebar ke seluruh tubuh gadis itu.

Ada suatu masa dalam kehidupannya dulu, saat ia menyimpan perasaan cinta untuk pertama kalinya. Cinta Fe untuk seseorang, yang tak pernah tahu perasaan tulus itu. Fe yakin, perasaan itu bukan semata-mata bentuk evolusi dari dirinya yang kanak-kanak menuju remaja. Cinta pertamanya. Pada pria yang kini duduk di hadapannya. Perasaan yang ia simpan sendiri tanpa punya keinginan untuk membaginya pada pria yang mencuri hatinya. 

Ia tahu, bagi Tony, Fe sudah seperti udara. Tony membutuhkannya. Tony merasakannya. Tapi, udara tetap udara. Yang tidak kelihatan. Yang tidak pernah diingat, meskipun setiap hari dihirup. Dan, Fe mengucapkan selamat tinggal pada cinta pertamanya ketika tahu Tony memberikan hatinya pada wanita lain. Dan, cinta itu tersimpan rapi di sudut hatinya. Tak ada seorang pun yang tahu.

Fe menyuap nasi gorengnya yang terakhir. “Aku tak menyangka kau tertarik bekerja di majalah.”

Kali ini Tony yang terkekeh. “Karena, aku tahu, aku bisa menemukanmu kalau aku bekerja di majalah.”

Kembali jantung Fe berdegup kencang. Waktu kembali berlalu dengan cepat. Dan, udara di sekitarnya terasa berputar. Ia meninggalkan kota kecilnya pada waktu itu dengan alasan ingin mengembangkan sayap dan terbang tinggi menggapai cita-cita. Semua orang tahu, betapa cintanya Fe pada dunia tulis-menulis. Betapa cintanya Fe pada dunia sastra. Dan, kepada Tony ia berbagi cita-cita. Percaya sepenuhnya bahwa hanya dengan Tony ia bisa berbagi, berbagi cinta dan kehidupan. Sampai wanita itu datang dan merebut Tony. Sejak itu, Fe tahu, ia hanya bisa terbang dengan sayapnya sendiri. Menikmati pemandangan sendirian. Butuh beberapa tahun untuk mengembalikan dirinya menjadi wanita yang utuh. Di sinilah ia sekarang. Nyaman dengan kehidupan barunya. Dengan sayap yang sudah dapat terbang dibantu udara.

“Bagaimana kau tahu aku bekerja di majalah ini?”

“Mudah bagiku menemukanmu, Fe.”

Fe menatap Tony tak mengerti. Mengapa dia tidak membiarkannya pergi? Mengapa dia mengejarnya kalau ia mencintai wanita lain? Mengapa ia tidak membiarkan Fe terbang sendirian setelah sayap itu sembuh dari luka-luka yang sudah dibuatnya? Mengapa Fe masih menyimpan cinta itu di sudut hatinya? Membiarkan dirinya menjadi udara, untuk dihirup seorang pria yang bahkan tak tahu cinta tulus yang ia miliki?

“Bagaimana kabarmu dengan Shiva?” 

Bertahun-tahun ia tak sudi mengucapkan nama itu. Tapi, Fe yang dulu berbeda dari Fe yang sekarang. Ia tidak mau menemukan dirinya memiliki kebencian yang menyiksa hati terhadap seseorang yang belum tentu pantas ia benci. Fe tahu, tak ada seorang pun manusia di muka bumi yang pantas untuk dibenci. Separah apa pun luka yang sudah ditorehkan.

“Kita sedang membicarakan dirimu, Fe,” sahut Tony.

“Apa yang ingin kau ketahui? Aku suka kehidupanku.”

“Kau pergi tanpa pamit waktu itu.”

Kejadian masa lalu itu kembali membayangi dirinya. Melayang-layang di sekitarnya, persis seperti udara. Tidak dapat dilihat tapi dapat dirasakan. Masih nyata perasaan Fe pada saat ia memutuskan untuk meninggalkan kota kecilnya dan cinta pertamanya. 

“Aku tidak bermaksud demikian. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku memang tidak sempat pamit. Maaf, ya.”

Mengapa ia harus minta maaf untuk sesuatu yang tidak dirasa salah? Kata-kata itu meluncur begitu saja. Seakan-akan membayar utang masa lalu. Udara yang sekarang lebih terasa menyenangkan ketimbang saat dia merasakan cinta pertama.

“Baiklah. Kita tidak akan membicarakan masa lalu lagi. Aku senang menemukanmu kembali. Sahabat yang tak pernah kulupakan dan selalu kusayangi.”

Gelombang udara di sekitar Fe berubah. Membuatnya menggigil.


                                                            cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?