Fiction
Air, Udara, Api, Tanah [2]

21 May 2012


“Saya ingin berjalan denganmu. Pagi ini kita satu arah.” 


Fe cuma tersenyum. Dari senyumnya Bu Rasti tahu bahwa Fe membiarkan dirinya mengusik paginya. Air tanpa riak kadang-kadang terasa begitu membosankan. 

Mereka berdua melangkah keluar gedung. Wajah mereka ditimpa matahari pagi. Dalam diam mereka berjalan bersama. Orang-orang yang mereka temui menyapa Fe, sambil mengerutkan kening mereka, tatkala melihat Bu Rasti berjalan bersama gadis itu. Tanda bahwa pemandangan pagi itu tidak biasa. Fe menyimpan senyum dalam hati. Kemisteriusan Bu Rasti yang hinggap dalam dirinya pagi itu justru memberikan kenyamanan tersendiri bagi Fe. Fe tidak suka orang-orang mengusik kehidupannya dengan menanyakan berbagai macam hal tidak penting. Karena itu, Fe juga tidak tertarik untuk mengganggu keheningan yang diciptakan oleh Bu Rasti.

Gonggongan beberapa anjing memecah keheningan antara Fe dan Bu Rasti. Sejak kepindahan Fe ke gedung apartemen itu, ia tidak mengerti mengapa ada anjing liar berkeliaran di depan tempat tinggalnya. Kini, ia tahu sebabnya. Meskipun ia tidak begitu suka dengan binatang itu, ia tidak pernah terganggu dengan gonggongan yang sering terdengar di menit-menit pertama ia membuka mata. Fe yakin makhluk-makhluk itu juga punya perasaan. 

Fe kembali menaikkan alis matanya. Tanda bahwa riak-riak yang datang menghampiri aliran airnya lebih banyak dari yang ia perkirakan. Anjing-anjing liar itu mengelilingi mereka. Tepatnya, mengelilingi Bu Rasti. Mereka sibuk menggonggong, menyalak, menjulurkan lidah, sambil menggoyang-goyangkan ekor. Kesibukan Bu Rasti lain lagi. Ia sibuk merogoh tas dan mengeluarkan sebungkus tulang-tulang ayam dan beberapa potong roti isi daging yang sudah diiris kecil-kecil. 

Bu Rasti tidak berkata apa-apa. Mulutnya masih terkunci. Ia tidak menyuruh Fe untuk meninggalkannya ataupun menunggunya. Ia hanya sibuk memberi makan anjing-anjing liar itu. Ia tidak peduli tangannya kini kotor karena terkena bulu-bulu mereka yang kemungkinan besar tak pernah tersentuh dengan air sabun dan karenanya baunya pun sedikit menyengat. Sekali lagi, Fe tetap membiarkan riak-riak yang baru itu datang menghambat aliran airnya. Fe menikmati pemandangan di depannya. Seorang wanita dan anjing-anjing liar. 

Menurut Fe, anjing-anjing liar itu kadang-kadang terlihat lebih manusiawi ketimbang manusia. Mereka tidak peduli apakah Bu Rasti seorang wanita yang cantik atau bukan. Seorang wanita seksi yang menimbulkan decak kagum dari mulut para kaum Adam dan tatapan iri dari mata kaum Hawa, atau bukan. Atau, seorang wanita yang berpenampilan bak seorang putri dari negeri dongeng, sehingga ke mana pun ia pergi, beribu-ribu pasang mata melihatnya bagaikan mata kucing di malam hari, atau bukan. Tak ada sebersit pun dalam pikiran mereka untuk melihat manusia dari luar.

Fe iri. Dan, baru kali ini ia merasa iri. Iri terhadap makhluk-makhluk yang menurut sebagian orang terlihat begitu menjijikkan. Seandainya manusia bisa memiliki ketidakpedulian yang dimiliki anjing-anjing itu, tentu kedamaian masih mau mempertimbangkan untuk tinggal di bumi. 

Fe juga malu. Karena, pernah dalam beberapa detik kehidupannya, sepotong kesan mampir di benak Fe, ketika pertama kali berkenalan dengan Bu Rasti. Seorang wanita yang tidak menarik. Dilihat dari sisi mana pun. Pagi ini, ia melihat Bu Rasti sebagai wanita yang berbeda. Seorang wanita yang ternyata masih menikmati hidup di sela-sela kesendiriannya. Seorang manusia yang punya hati. Seorang manusia yang ditenun sebagai wanita dengan kecantikan yang lahir dari perpaduan antara janin dan jiwa. Bukannya wanita yang kecantikannya hampir luntur karena termakan usia. Bukan pula wanita dengan porsi tubuh yang tak pernah tercantum dalam kamus wanita-wanita ideal ala Indonesia. Bukan pula manusia yang selalu hidup dalam sendiri.

“Kita jalan lagi, Fe,” sapaan Bu Rasti terasa lembut menghampiri gendang telinganya. Dan, ia bersyukur karena ia tidak meninggalkan Bu Rasti. Melihat Bu Rasti dengan binatang-binatang liar itu adalah salah satu cuplikan cerita kecil dalam hari-harinya, yang akan terukir sepanjang masa dalam lembaran kehidupannya. Fe cuma salah satu dari segelintir orang yang tetap mensyukuri hal-hal kecil yang ia alami dalam hidupnya. 

Keheningan kembali menyapa. Tetapi, kali ini terasa ada gaung akrab yang menjadi jembatan antara Fe dan Bu Rasti. 

“Pagi ini, entah kenapa, saya ingin ditemani seseorang,” kata Bu Rasti.

Fe mendengarkan setiap kata yang diucapkan.

“Sepanjang hari saya merasa sendiri. Setiap pagi, saya menyusuri jalan sendirian.” Bu Rasti menghentikan langkahnya dan menatap Fe.

Tanpa sadar, kaki Fe pun berhenti melangkah. 

“Saya ingin bersama kamu. Saya tidak tahu mengapa. Kamu mengingatkan saya pada seseorang yang saya cintai, tapi tak pernah sempat ada dalam pelukan saya.”

Fe terpaku menatap mata bening Bu Rasti, yang memandang sayang padanya. Selama beberapa saat, ia mengira ia berhadapan dengan ibunya.

“Saya ada di sini, jika Bu Rasti membutuhkan saya,” kata-kata itu keluar dari mulut Fe, tanpa ia sadari. Tapi, Fe tahu, ia mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Muncul karena rasa simpati dari relung hati yang terdalam.

Wanita setengah baya itu tersenyum. “Saya tahu kamu akan mengatakannya. Terima kasih. Bolehkah saya memelukmu? Saya tahu tangan saya kotor. Tapi, setelah itu, saya berjanji tidak akan mengusikmu di sepanjang sisa pagi ini.”

Fe kembali mengangguk tanpa sadar dan membiarkan dirinya dipeluk oleh wanita yang baru saja ia kenal kembali pada hari itu. Tidak peduli dengan tangannya yang kotor dan bau. Bahkan, tangannya ikut merangkul tubuh Bu Rasti dan merasakan tetesan air di atas kain bajunya.

Bu Rasti melepaskan pelukannya. Tak terlihat sama sekali bahwa ia baru saja menangis. Padahal, Fe berani bersumpah, wanita itu sempat menangis dalam pelukannya.

“Terima kasih, Fe.”

Kata-kata Bu Rasti memang cuma itu. Tapi, Fe tahu, riak-riak dalam aliran airnya mulai menjauh dan membiarkan airnya kembali mengalir seperti biasa. Karena itu, Fe hanya bisa melambaikan tangan dan mengirimkan senyum manisnya, sebelum meninggalkan Bu Rasti sendiri di pinggir jalan itu.

Fe jadi rindu pada mamanya.

Fe menyisir rambut dengan jemarinya sebelum masuk ke gedung kecil tempat ia bekerja.

“Selamat pagi, Mbak Fe. Jalan kaki? Rajin, ya?” sapa Pak Dodo, satpam kantor paling senior, yang umurnya hampir berkepala enam. Tapi, pelupanya sama dengan orang yang berumur delapan puluh. Ia sudah ada sejak kantor tempat Fe bekerja berdiri, hampir tiga puluh lima tahun.

Sekali lagi Fe tersenyum. Hanya, kali ini senyum maklum. Sejak dia bekerja di kantor majalah wanita ini, dia selalu pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Rupanya, rutinitas Fe tidak sempat menginap sehari pun dalam ingatan Pak Dodo. Karena, setiap kali bertemu Fe di pagi hari, ia selalu mengomentari Fe dengan hal yang sama.

“Pak Dodo juga rajin,” sahutnya.

Pak Dodo tersenyum lebar. Hidungnya kembang kempis karena dipuji. Jelas sekali hampir tak ada orang di kantor itu yang mau memuji laki-laki tua seperti dirinya, seperti yang dilakukan Fe.

“Saya masuk dulu, ya, Pak.”

“Mari, Mbak.”

Fe melangkahkan kakinya lagi. Satu hal yang ia sukai dari kantornya ini adalah ia tidak perlu menulis di buku absensi pukul berapa ia datang dan pulang. Bu Nana, pemimpin redaksinya, lebih menekankan kualitas kerja mereka. Asalkan pekerjaan beres dan selesai tepat waktu dengan hasil memuaskan, mereka boleh sesekali datang agak terlambat. Hanya, sanksi tegas tetap diberlakukan di kantor ini. Sering terlambat dengan alasan yang tidak jelas, atau absen dengan alasan yang tidak masuk akal, bisa mendapat teguran keras dari Bu Nana. Hukuman itu sudah lebih dari cukup dibandingkan hukuman potong gaji.

Fe sendiri punya aturan jam kerja yang ia buat. Ia menikmati masuk kantor tepat waktu, meskipun kadang-kadang saat deadline mengejar, ia harus bekerja lebih dari yang seharusnya. Baginya, pekerjaannya sekarang ini sudah seperti hobi, yang ditekuni sejak masih kuliah di fakultas sastra. 

“Fe!”

Fe menoleh begitu namanya disebut. Sovie, temannya yang paling akrab di kantor ini tampak terengah-engah. Entah mengapa, ia selalu masuk kantor pagi-pagi dengan napas tersengal-sengal. Mungkin, menurutnya, ia akan tampak lebih keren kalau terlihat terburu-buru masuk kantor. Biar terlihat bersungguh-sungguh hendak mulai bekerja. Padahal, belum ada dua jam ia duduk di kursinya, ia sudah mulai membuka-buka novel dan katalog kosmetik yang ia bawa dari rumah. 

“Kau lari dari rumah?”


                                                               cerita selanjutnya >>


Penulis: Jessie Monika
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?