Fiction
1001 Hari di Hong Kong [7]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ngatinah, November 2004, mimpi
Ini entah sudah hari keberapa aku di Hong Kong.
Sungguh seperti suatu mimpi aku bisa menjejakkan kaki di negara yang tidak pernah berani kumimpikan. Lalu, tiba-tiba saja, aku sudah berada di negara yang penuh gedung-gedung menjulang dan begitu banyak orang berjalan kaki dengan tergesa-gesa. Semua berjalan seperti hanya dalam kerjapan mata. Seperti sebuah tidur lelap ketika aku terlalu lelah berdiri di depan bilik panggangan roti kering di rumah Pak Min. Lalu, ketika aku terbangun, membuka mata, aku sudah berada di tengah gedung-gedung pencakar langit.

Aku gemetar ketika menjejakkan kaki di negara kecil yang megah ini. Sungguh jauh berbeda dari desa kecilku yang sederhana. Di sini tidak ada senyum-senyum ramah karena semua sibuk berjalan cepat, mengejar kereta dan bus. Di sini tidak ada halaman luas. Tidak ada anak-anak bermain petak umpet. Yang ada cuma flat-flat dengan dinding yang saling menempel. Di sini aku juga harus terbiasa untuk antre ketika berbelanja di pasar dan ketika membayar di kasir supermarket. Aku tidak boleh sembarangan membuang sampah, harus belajar mengerti bahasa Kanton. Tapi, itu belum seberapa. Ada yang lebih sulit.

Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya, aku harus berada di sebuah rumah, yang semua penghuninya seakan-akan bisu. Sungguh jauh berbeda dari rumah di desaku, yang penuh suara adik-adikku yang riuh rendah.

Pemilik rumah ini adalah seorang pria muda, yang setiap pagi hanya berpesan agar aku memberi makan burung-burung peliharaannya, lalu pergi, dan pulang kembali, hanya untuk makan malam dan bekerja di depan komputernya.

Yang seorang lagi adalah seorang nenek yang duduk di kursi roda dan cuma bisa mengucapkan ‘uh… uh…’ bernada tinggi, lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya dengan kasar. Aku tidak pernah mengerti apa yang diinginkannya. Semua yang kulakukan salah dan tidak pernah ada yang sesuai keinginannya.

Rumah mereka memang tidak terlalu besar. Tidak sulit untuk membersihkannya. Tapi, sangat banyak peralatan yang tidak kumengerti. Kompor mereka tidak sama dengan kompor Ibu di desa. Mereka juga tidak mengepel lantai, tetapi menggunakan sebuah tabung untuk mengisap debu, sehingga rumah mereka selalu bersih. Kemudian, ada sebuah mesin untuk mencuci pakaian dengan banyak tombol yang membingungkan. Aku harus memisahkan pakaian-pakaian yang berwarna dari yang putih, yang katun dari yang wool. Bukankah mencuci pakaian cukup dengan tangan?

Belum lagi untuk memasak. Memasak bubur untuk nenek tua itu harus dengan ukuran air yang sudah ditentukan. Menumis sayur tidak boleh terlalu asin, karena nenek tua itu menderita tekanan darah tinggi. Lalu, ada sebuah kotak yang bisa memanaskan makanan dengan cepat, hanya dengan menekan tombol. Tentang kompor, aku tidak boleh lupa menutup tombolnya karena bisa menyebabkan kompor itu meledak. Dapur pun harus selalu bersih.

Tapi, aku tidak bisa bertanya pada siapa pun tentang bagaimana aku harus melakukan semua tugas itu. Karena, tidak ada satu orang pun yang bisa kuajak bicara. Pria muda itu sudah pergi pagi-pagi. Kalaupun aku bertanya padanya, ia akan menjawab dalam bahasa Inggris dengan tergesa-gesa. Padahal, ia tahu, bahasa Inggris-ku hanya seadanya.

Nenek tua itu lebih memusingkan. Sepanjang hari, ia duduk di kursi roda dan mengamati semua yang kulakukan dengan cemberut. Karena, menurutnya, tidak satu pun yang kulakukan benar. Walaupun ia cuma mengeluarkan suara ‘uh… uh…’, aku tahu bahwa ia mengomel panjang lebar. Lalu, apakah aku harus bertanya pada burung-burung di dalam sangkar itu? Padahal, burung-burung itu juga sama memusingkannya. Kepak-kepak sayap mereka riuh rendah dan suara mereka menjerit, bila aku terlambat memberikan biji-biji jagung.

Itu belum termasuk meladeni si nenek itu.

Pagi-pagi, aku sudah harus menyiapkan air hangat untuk menyeka tubuhnya. Jika terlalu panas atau terlalu dingin, ia akan mengeluarkan ‘uh… uh…’ panjang dengan mulut yang cemberut. Membantunya berganti pakaian dan memapahnya ke toilet. Kupikir, aku harus membantunya sampai ke dalam toilet. Tapi, ia pernah membanting pintu toilet dengan keras. Sejak itu, aku membiarkan ia sendiri di dalam toilet, sampai ia memanggilku lagi.

Nenek itu sangat suka makan ikan. Tapi, sudah pasti, ia tidak bisa memisahkan sendiri duri-duri ikan itu. Jadi, aku akan memisahkannya dan meletakkan daging ikan itu di mangkuk nasinya. Itu sudah biasa kulakukan ketika aku menyuapi adikku yang kecil. Tapi, nenek itu pernah menyemprotku dengan ‘uh… uh…’ yang keras, ketika aku langsung memilah-milah daging ikan, tanpa mencuci tanganku lebih dahulu. Ia juga sempat melotot kepadaku, ketika aku membersihkan butir-butir nasi di sudut mulutnya. Sejak itu, aku selalu berusaha untuk mencuci tangan, setiap kali aku hendak melayaninya makan. Aku tidak berani lagi membersihkan butir-butir nasi di sudut mulutnya. Aku hanya mengangsurkan sebuah lap, lalu ia akan membersihkan mulutnya sendiri.

Nenek tua ini bukan saja cerewet ketika pagi dan siang hari. Malam pun ia tidak kalah rewelnya. Ada saja yang dimintanya ketika kantuk menyerangku. Dalam semalam, ia bisa berulang kali memanggilku untuk memapahnya ke toilet. Lalu, membangunkanku hanya untuk meminta segelas air hangat, atau sekadar menyuruhku menggaruk punggungnya yang gatal.

Sebetulnya, pekerjaan ini tidak berat. Bagiku, semua pekerjaan sama saja. Di rumah aku juga mencuci pakaian, merebus air panas untuk mandi adikku yang kecil (karena air di desa kami sangat dingin), menanak nasi, membersihkan rumah, menggendong dan menyuapi adik-adikku yang masih kecil. Setelah itu, aku berdiri sepanjang hari di depan bilik oven Pak Min, sambil menjaga bara api oven itu agar tetap panas. Bila hendak turun ke kota, aku harus berjalan kaki melalui jalan terjal berbatu sejauh lima kilometer.

Di Hong Kong, semua pekerjaan rumah tangga yang kulakukan dibantu oleh tombol-tombol. Tidak ada jalanan terjal berbatu. Yang ada justru jalanan rata, yang penuh oleh bus dan kereta yang tepat waktu. Rumah pun tidak berisik oleh suara anak-anak kecil.

Tapi, aku tidak kerasan. Aku tidak tahan hanya berhadapan dengan wajah cuek pria muda itu, yang selalu berbicara pendek-pendek. Bila aku tidak mengerti ucapannya, ia memandangku dengan pandangan jengkel, kemudian menggerutu dalam bahasa Kanton. Sedangkan nenek tua itu hanya mengeluarkan suara ‘uh… uh…’ yang tidak kumengerti. Bila yang kulakukan tidak sesuai keinginannya, ‘uh… uh…’ itu akan makin tinggi, dengan mata melotot dan tangan kiri yang digerak-gerakkan.

Aku ingin pulang saja. Ingin tidur di istana rumbiaku, lalu berbagi kehangatan dengan celoteh adik-adikku. Ingin kurasakan becek dan licinnya jalan berbatu yang terjal di desaku. Di sepanjang tebingnya, aroma rumput liar menguap. Ingin membiarkan panas bara dari bilik oven Pak Min menerpa wajahku sepanjang hari. Aku ingin pulang!

Tapi, aku sudah menandatangani kontrak kerja. Aku bahkan dianggap berutang banyak pada agen yang memberangkatkan aku ke Hong Kong sebagai ongkos pelatihan kerja dan ongkos pesawat. Padahal, kalau hanya sekadar membersihkan rumah dan memberi makan pada burung-burung, aku tidak membutuhkan pelatihan. Itu sudah kulakukan sehari-hari di desa.

Seharusnya, pelatihan yang diberikan adalah bagaimana aku bisa mengerti bicara orang-orang itu dalam bahasa Kanton, supaya aku tidak dipelototi dengan pandangan jengkel oleh semua orang, seakan-akan aku bodoh sekali. Atau, aku harus melakukan perintah mereka berulang-ulang seperti seekor keledai dungu. Juga, kerap aku hanya memakai gerakan tangan, menunjuk-nunjuk seperti orang bisu. Setidaknya, jika aku mengerti apa yang mereka katakan, mereka pasti akan bersikap lebih ramah padaku.

Dan, yang paling penting, seharusnya agen juga memberikan pembekalan agar aku bisa mengerti bahasa ‘uh… uh…’ nenek tua yang duduk di kursi roda karena menderita stroke itu.

Menurut Bulik Katmi, aku harus bertahan setidaknya tujuh bulan, sejak aku bekerja, untuk membayar utang pada agen yang memberangkatkanku. Tapi, tentu saja bukan itu alasanku harus bertahan. Aku punya mimpi-mimpi yang ingin kuwujudkan. Aku ingin membelikan Ibu sebuah sepeda motor, supaya tidak usah bersusah payah lagi bila ingin keluar menuju jalan raya. Aku ingin membelikan adik-adikku baju baru. Aku juga ingin membelikan Ibu kompor, seperti di Hong Kong ini, sehingga Ibu cukup menekan tombol, bila ingin memasak. Juga, aku ingin membangun istana rumbiaku!

Hanya impian-impian yang sederhana, bukan?

Tapi, untuk impian-impianku yang sederhana itu, aku harus menebusnya dengan setangkup rasa.

Entah berapa hari lagi aku bisa bertahan.


Penulis: Lan Fang
Pemenang Sayembara Mengarang Cerber femina 2005



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?