Fiction
1001 Hari di Hong Kong [2]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Bobo Ng, Juni 2004, menuju rumah
Besok hari Minggu.
Aku selalu menanti-nanti kedatangan hari Minggu. Seperti biasa, setiap hari Minggu, anak-anak perempuanku akan datang, membawa cucu-cucuku bermain ke rumah Yau Man. Wenny Yeung, tunangan Yau Man juga datang. Rumah menjadi lebih ramai dan semarak. Tidak sunyi, seperti hari-hari yang biasa kulalui hanya dengan menonton televisi dan mendengarkan kicau burung peliharaan Yau Man.

Kadang-kadang, aku juga berkumpul dengan beberapa teman sebaya di taman di tengah kompleks apartemen, untuk bercakap-cakap, minum teh, atau main mah yong (seperti sejenis kartu dari balok-balok). Tetapi, tetap saja ada perasaan bosan.

Kedua anak perempuanku sudah menikah dan memberiku empat cucu luar (cucu dari garis anak perempuan). Sedangkan, Yau Man, anak lelaki satu-satunya dan anak bungsuku, masih belum mau menikah, meski sudah bertunangan setahun lebih. Padahal, aku ingin sekali mempunyai cucu dalam (cucu dari garis keturunan anak laki-laki) untuk meneruskan marga Ng.

Selain itu, tahun ini aku sudah merayakan ulang tahunku yang ke-59. Sebetulnya, belum terlalu tua. Aku masih segar, bahkan mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, memasak, sampai pergi berbelanja ke pasar. Aku tidak mempunyai penyakit jantung atau diabetes, walau kadang-kadang aku merasa lelah dan pusing. Tetapi, bila aku beristirahat sejenak, pusing dan lelahku akan hilang dengan sendirinya.

Tetapi, bagi orang Cina, usia 59 tahun adalah usia yang cukup membahayakan karena mengandung angka sembilan. Menurut kepercayaan Cina, bila menginjak usia yang mempunyai kelipatan angka sembilan atau berbuntut sembilan, biasanya akan menghadapi banyak kesulitan. Entah itu keuangan, kesehatan, atau apa saja. Karena itu, aku ingin Yau Man cepat-cepat menikah dan memberiku cucu dalam, mumpung aku masih segar.

Tetapi, aku sungguh tidak bisa mengerti jalan pikiran anak-anak muda zaman sekarang. Yau Man sudah mempunyai apartemen dan pekerjaan mapan. Ia juga sudah bertunangan setahun lebih. Aku selalu mendesak Yau Man untuk segera menikah. Apa lagi yang ditunggu? Yau Man sudah berusia 28. Wenny Yeung berusia sudah 25 tahun. Di zamanku, pada usia 21 tahun, aku sudah mempunyai tiga anak.

Jika aku mendesak mereka untuk segera menikah, dengan tenang mereka menjawab, “Nanti saja, buat apa terburu-buru? Sekarang karier Wenny sedang di puncak. Kalau sudah menikah, ia tidak laku lagi sebagai model. Dua tahun lagi menikah juga tidak masalah. Selain itu, pekerjaan di kantor sangat padat. Oplah majalah semakin meningkat. Kami harus banyak mencari berita-berita aktual tentang mode dan gaya hidup wanita muda yang aktif dan dinamis. Waktu terasa sangat sempit karena harus berlomba dengan berita yang naik cetak.”

Yau Man memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia berangkat pagi-pagi dan pulang malam-malam. Jika aku tidak meneleponnya, ia pun tidak meneleponku. Jadi, setiap hari aku menelepon untuk sekadar menanyakan jam berapa ia akan pulang atau apakah Wenny Yeung akan ikut makan malam bersama di rumah.

Calon menantuku cantik sekali. Kulitnya putih bersih. Raut wajahnya campuran antara Gong Li, Zhang Zi Yi, sampai Maggie Chung. Ia memang artis. Ia muncul di majalah-majalah dan televisi sebagai model kosmetik dan sabun mandi yang mahal di Hong Kong. Ia juga sibuk pemotretan di mana-mana.

Sungguh, aku tidak mengerti. Bukan saja tidak mengerti penjelasan tentang kesibukan mereka. Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran mereka.

Apakah pekerjaan itu lebih penting daripada menikah? Apakah popularitas sebagai model lebih berarti daripada membangun rumah tangga dan memiliki anak-anak yang lucu? Bagaimanapun sibuknya pekerjaan, rumah adalah istana yang paling nyaman. Bagaimanapun puncak ketenaran, anak-anak yang sehat, lucu, dan cerdas, adalah harta yang tidak ternilai.

Tapi, semua anakku adalah orang-orang muda yang selalu sibuk.

Anak perempuan pertamaku sibuk mengurus suami, anak, dan mertuanya. Ia tinggal serumah dengan mertuanya karena suaminya anak tunggal. Bagi orang Cina, menantu perempuan wajib merawat dan taat pada mertuanya seperti orang tuanya sendiri. Karena, ketika menikah, ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bagian dari keluarga besar suaminya.

Anak perempuanku yang kedua disibukkan oleh suami dan anak-anaknya yang masih kecil. Ia memang tidak tinggal bersama mertuanya karena ia menikah dengan anak laki-laki kedua. Mertuanya tinggal serumah dengan anak laki-laki pertamanya. Tetapi, kehadiran dua anaknya yang masih kecil itu sangat menyita waktu.

Yang terakhir, Yau Man dan Wenny Yeung, lebih banyak disibukkan oleh pekerjaan mereka masing-masing.

Jadi, aku sering bercerita tentang anak-anakku, cucu-cucuku, kebosananku, tentang harapanku, kepada burung-burung yang kupelihara di rumah. Burung-burung itu setia berkicau, menyela sepi yang setiap hari mengambang di udara. Aku sibuk memberi mereka makan dan minum, serta membersihkan kandang mereka. Kadang-kadang, kupikir, ternyata aku bisa juga sesibuk anak-anakku.

Tetapi, yang paling kutunggu adalah hari Minggu. Karena hari Minggu akan membuatku sibuk dengan anak dan cucuku, bukan sibuk dengan burung-burungku. Setiap Sabtu, aku sudah berbelanja untuk persiapan memasak hari Minggu. Kulkas kupenuhi dengan buah-buahan dan aku selalu menyiapkan kue kesukaan cucu-cucuku.

Seperti saat ini, aku baru pulang dari pasar yang tidak terlalu jauh dari apartemenku. Aku membawa belanjaan cukup banyak. Selain sayur-sayuran dan daging, aku mendapatkan ikan segar yang cukup besar. Kupikir, ikan segar itu pasti lezat bila ditim dengan racikan bawang putih, untuk makan siang.

“Baru dari pasar?” pria yang menjaga pintu lift apartemen menyapaku.

“Hai a (iya),” jawabku, sambil menekan tombol lift.

“Wah, begitu banyak.”

“Besok hari Minggu, anak dan cucuku akan datang,” sahutku.

“Oh, iya…,” jawabnya, sambil tersenyum lebar.

Tidak lama kemudian, pintu lift terbuka.

Aku masuk ke dalam lift, sambil membawa belanjaanku.

Kutekan tombol sembilan. Lift bergerak naik. Nyut…, mendadak aku merasa pusing dan berkunang-kunang. Kupikir, karena terlalu capai berjalan membawa belanjaan yang cukup banyak.

Lift berhenti di lantai sembilan. Aku keluar dan berjalan ke kanan, menuju pintu apartemenku. Kuletakkan belanjaan dan mengeluarkan anak kunci untuk membuka pintu. Aku berpapasan dengan tetangga sebelah. Seorang ibu muda dengan anaknya yang masih kecil. Ia membuatku selalu teringat pada anakku yang kedua.

“Selamat siang, Bobo,” anaknya menyapaku, seraya memamerkan gigi depannya yang masih ompong.

“Halo, selamat siang, baru pulang sekolah?” balasku.

Bocah itu mengangguk.

“Wah… belanjanya banyak sekali. Besok mau pesta, ya?” kata ibu muda itu, sambil memasukkan kunci, membuka pintunya.

“Seperti biasa, besok hari Minggu. Anak-anak dan cucu-cucuku akan datang,” sahutku, gembira.

Tetapi, pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi. Bahkan, jantungku terasa berdebar lebih cepat. Dadaku terasa sesak. Aliran darahku seakan-akan tidak terkendali. Kepalaku seperti akan pecah.

Ah, tidak biasanya aku begini. Aku ingin cepat masuk rumah dan beristirahat sejenak.

“Bobo kelihatannya pucat. Tidak enak badan?” ia bertanya lagi.

“Tidak. Hanya pusing sedikit,” sahutku, sambil memegang pelipisku.

Kenapa darahku seakan terpompa lebih cepat?

“Bobo….”

Aku hanya mendengar samar-samar suaranya memanggilku.

“Bobo….”

Aku hanya merasa tubuhku limbung.

Ambruk.

Selanjutnya, entah bagaimana hari-hari yang akan kulalui setiap hari.

Wenny Yeung, Febuari 2005, pada suatu makan malam
Besok hari Minggu.
Seperti biasanya, setiap malam Minggu, aku dan Yau Man makan malam di rumahnya. Karena, di hari–hari biasa, kami selalu diburu-buru pekerjaan. Sangat sulit mempunyai waktu untuk ngobrol dengan santai. Terlebih lagi, Yau Man termasuk tipe laki-laki workaholic.

Aku juga suka makan malam di rumah Yau Man. Selain punya waktu lebih banyak untuk ngobrol dengan Yau Man, malam Minggu dan hari Minggu, juga kupergunakan untuk berkumpul dengan saudara-saudara dan mama Yau Man.

Terlebih lagi, sudah beberapa bulan ini calon mertuaku terkena stroke dan cuma bisa duduk di kursi roda. Kami semua sibuk menjaga dan merawatnya secara bergantian. Walaupun aku belum resmi menjadi menantunya, ia adalah calon mertuaku. Jika aku menikah dengan Yau Man, ia akan menjadi tanggung jawabku juga.

Ternyata, menjaga dan merawat Mama (aku sudah memanggilnya Mama) tidak semudah yang kukira. Sebelum menderita stroke, Mama adalah orang tua yang tidak bisa duduk diam. Ada saja yang dikerjakannya.

Membersihkan rumah, memasak, sampai membersihkan sangkar-sangkar burung peliharaan Yau Man. Mama juga sangat teliti dan pembersih. Sehingga, ketika ia cuma bisa duduk di kursi roda dan mengeluarkan kata ‘uh… uh…’, rasanya semua yang kami lakukan tidak ada yang benar. Semua salah dan tidak tepat.

Jujur saja, aku tidak tahu, apakah yang kami lakukan itu tidak tepat atau Mama melebih-lebihkan kerewelannya sehingga menjadi seperti anak kecil. Ia sendiri tentunya kesal karena tergantung pada orang lain. Semakin hari Mama semakin rewel. Sementara, kami tidak punya cukup waktu untuk mengurusnya. Kedua kakak perempuan Yau Man sudah berkeluarga dan sudah tidak bisa terus-menerus merawat Mama. Aku sendiri juga tidak mungkin berdiam diri di rumah seharian untuk menjaganya karena jadwal pemotretanku yang padat. Tetapi, tidak mungkin meninggalkan Mama sendirian di rumah.

Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari orang untuk menjaga dan merawat Mama. Tetapi, lagi-lagi tidak bertahan lama. Entah siapa yang salah. Mereka yang terlalu malas menjaga seorang wanita tua yang menderita stroke atau Mama yang terlalu cerewet. Mereka cuma bertahan sebulan.

Sampai akhirnya, sekarang ada gadis ketiga yang bertahan lebih 6 bulan.

Gadis itu lebih muda daripada aku. Ketika kutanya, ia sudah menyelesaikan sekolah menengah. Bahasa Inggrisnya lumayan, meski masih jauh dari bagus. Tetapi, yang paling penting, ia mengerti bahasa ‘uh… uh…’ Mama.

Sekarang setelah lebih dari 6 bulan menjaga dan merawat Mama, kulihat ia sudah banyak berubah. Ia tidak seperti saat pertama kali datang dengan kulit kecokelatan seperti terpanggang. Kulitnya tetap cokelat, tetapi kelihatan lebih halus dan terawat. Ia sudah mengenal lipstik. Aku melihatnya memakai lipstik ketika ia keluar pada hari Minggu. Lipstik merah muda itu membuat ia tampak lebih menarik. Ia juga tampak modis dengan celana jins yang modern serta sweater kuning terang. Warnanya tidak serasi untuk kulitnya yang kecokelatan. Tetapi, bisa dimaklumi, karena ia memang bukan seorang model seperti aku. Toh, setidaknya, ia sudah cukup untuk menarik perhatian. Bahasa Inggrisnya pun mengalami kemajuan pesat, begitu juga dengan Bahasa Canton-nya.

Yang lebih mengejutkan, ia bukan saja menguasai area dapur di rumah Yau Man, tetapi juga sudah menguasai komputer Yau Man di ruang tamu. Jemarinya bukan saja cekatan di atas kompor, tetapi juga lincah menari di atas tuts keyboard komputer.

Aku mengetahuinya ketika Yau Man menyuruhnya memeriksa e-mail yang masuk ke alamat Yau Man.

“Ia gadis yang cerdas. Ia dapat belajar dengan cepat,” begitu kata Yau Man, ketika melihat aku terkejut.

“Kadang-kadang, ia juga membantuku mengedit naskah,” sambung Yau Man.

Aku bingung, tidak tahu apa yang harus kukatakan.


Penulis: Lan Fang
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?