True Story
Teror Saraf Itu Bernama Fibromyalgia

15 May 2018


Energi Hidup Para Spoonie

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, resolusi saya pada tahun 2018 hanyalah untuk sembuh. Saya sudah terbiasa dengan rasa sakit yang saya rasakan sepanjang waktu, selama 24 jam, sepanjang minggu. Namun saya benci dengan terbatasnya energi saya akibat kelelahan kronis.

Saya sudah memperbaiki pola makan saya dengan yang lebih sehat dan tanpa pewarna, perasa, penyedap serta pengawet. Saya juga sudah mengubah pola tidur saya dari 3 jam sehari menjadi 8-12 jam sehari. Wow banget ya? Semua pasti mengira tubuh akan segar ketika bangun dari tidur selama itu.

Sayang sekali jauh panggang dari api. Meski tidur seharian penuh pun, saya bangun dengan kondisi tubuh kelelahan seperti habis lari maraton. Untuk mengatasi kondisi ini saya menjalani terapi pijat serta transfer energi dari seorang terapis yang berdomisili di Cianjur. Beruntung ia mau dipanggil ke rumah sekaligus memijat ayah saya yang terkena stroke.

Tiga bulan lamanya kami berusaha pijat setiap minggu. Jika terapis berhalangan dan tubuh saya tak sanggup menahan sakit, saya pergi ke klinik fisioterapi dekat rumah. Meski tidak bergelar dokter, namun terapis ahli madya kedokteran yang menangani saya adalah orang pertama yang berhasil menganalisis penyakit saya. Semua rekomendasinya juga sesuai dengan yang disampaikan dokter kemudian.

Ia juga yang mengatakan saya tidak boleh membuang-buang energi, karena energi penderita penyakit kronis sangatlah terbatas. Melalui media sosial saya mengetahui tentang spoon theory, orang sehat digambarkan memiliki 10 sendok energi sementara para spoonie, termasuk saya bisa jadi hanya memiliki 2-4 sendok setiap harinya.

Satu sendok menggambarkan jumlah energi yang digunakan untuk beraktivitas. Sebagai gambaran, jika nyeri yang saya alami begitu hebat, saya hanya memiliki 2 sendok, yakni untuk makan dan ke kamar mandi, artinya.. seharian itu saya tidak mungkin mandi ha ha ha.

Dalam kondisi terbaik saya masih bisa bersosialisasi, tentunya dengan persiapan. Misalnya jika harus menghadiri undangan pernikahan saudara atau teman, maka saya harus menabung energi 3-4 hari sebelumnya dengan tidak pergi ke luar rumah. Tentu saja dengan risiko harus tetap tinggal di rumah dalam 2-3 hari setelah acara tersebut. Ribet ya? Begitulah  kualitas hidup saya sekarang.

Saya pernah mencoba keluar rumah 3 hari berturut-turut, namun hari keempat saya tak sanggup bangkit dari tempat tidur. Akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang saya cintai pada bulan Maret 2018.

Berpisah dengan rutinitas sebagai jurnalis yang sudah 16 tahun saya jalani, dan hidup tanpa penghasilan sama sekali untuk pertama kalinya sejak kuliah. Berat memang, namun untungnya saya memiliki anak-anak sebagai obat dan penghibur saya.

Meski jurnal kesehatan menyatakan belum ada obat untuk fibromyalgia, saya percaya jika saya lebih mendengarkan apa yang tubuh saya coba sampaikan pada saya ketimbang mendengarkan pikiran saya, suatu saat saya akan sembuh sepenuhnya.

Salah satu upaya saya untuk mencapai kesembuhan, sekaligus menyebarkan fibromyalgia awareness, saya membuat akun Instagram @fibrowarrior.id. Saya mendapatkan banyak cerita, dukungan dan suntikan semangat dari penderita lain di seluruh dunia sehingga saya tidak merasa sendirian.

Harapan saya, masyarakat di Indonesia akan lebih paham dan menyadari kalau nyeri yang kami alami adalah hal yang nyata dan mengetahui kalau kami memiliki keterbatasan yang tidak kasat mata. Pain is real, so does hope. (f)

Alya Thamrin (Kontributor – Jakarta)
Editor: Rahma Wulandari
 


Topic

#fibromyalgia, #penyakitsaraf, #truestory

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?