True Story
Teror Saraf Itu Bernama Fibromyalgia

15 May 2018


Haruskah Berhenti Bekerja?

Dengan tekad untuk sembuh dan sedikit keberanian, saya mengajukan cuti sementara kepada atasan. Saya sadar kondisi kesehatan saya jadi beban teman-teman tim produser. Setelah dua atau tiga hari kerja, saya selalu tak bisa bangun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi pun sambil menahan sakit.

Dokter sempat meresepkan obat penenang agar saya bisa tidur lelap. Saking sakitnya, saya hanya bisa tidur dalam posisi tengkurap. Berminggu-minggu saya tak bisa keluar kamar, terkadang saya meminjam tongkat ibu untuk berjalan.

Rasa tidak puas dan penasaran mengusik saya, saya pun pergi ke rumah sakit ketiga untuk mencari diagnosis. Karena sakit yang utama di daerah kaki, dokter umum mengirim saya kepada profesor bedah tulang, ia mengonfirmasi saya terkena fibromyalgia karena tak ada keanehan yang ditemukan dari rontgen kaki.

Beliau mengirim saya ke dokter saraf yang kembali melakukan pemeriksaan fisik di 18 titik nyeri. Setelah mendengar cerita kronologis saya, dokter itu mengirim saya untuk melakukan test EMG, hasilnya saya mengalami Spasmofilia Grade 4. Apa pula itu?

Dokter saraf seperti enggan menjelaskan lebih jauh dan hanya mengatakan kalau saya tipe orang yang mudah panik, dan itu karena faktor keturunan. Ia tidak bisa berbuat lebih jauh dan mengirim saya untuk berkonsultasi dengan psikiater.

Sebetulnya saya merasa marah, kenapa ia tak menjelaskan lebih jauh dan terkesan melempar saya ke psikiater? Saya juga tidak merasa sebagai orang yang gampang panik. Bahkan teman-teman yang kenal baik saya selalu menilai saya sebagai pribadi yang santai dan sering meminta saran untuk jalan keluar masalah.

Memang terkadang persiapan saya untuk menghadapi hal tertentu agak sedikit lebih dibandingkan orang lain, saya terbiasa memiliki rencana A,B ataupun C terutama untuk pekerjaan. Sebagai penyiar, reporter dan produser televisi saya diharuskan memenuhi tenggat waktu yang sangat singkat, jadi saya dituntut untuk selalu berfikir cepat, terutama jika ada kendala teknis maupun cuaca. Apakah itu termasuk dalam kondisi yang disebut panik? Pertanyaan yang tak terjawab hingga saat ini.

Dengan ogah-ogahan saya menemui psikiater yang ditunjuk. Saya mencoba berpikir positif, mungkin karena kali ini saya menggunakan fasilitas BPJS bukan asuransi perusahaan seperti di rumah sakit sebelumnya, inilah prosedur yang harus saya jalani. Maka bismillah, saya hilangkan rasa malu dan menemui psikiater yang ternyata seorang wanita itu.

Setelah satu jam mendengarkan cerita saya, ia menyatakan bahwa saya lelah secara fisik dan mental, ditambah kurang istirahat. Bertahun-tahun menjadi caregiver orangtua yang sakit sambil mengurus dua balita sekaligus sudah cukup menguras energi dan pikiran saya. Ditambah lagi pekerjaan saya yang menuntut waktu kerja saat istirahat.

Jadi selain meresepkan berbagai vitamin, termasuk vitamin untuk otak, saya dianjurkan untuk berhenti bekerja. Hati saya sedih sekali mendengar rekomendasinya, dan memang bukan yang pertama. Namun ia menggenapi rekomendasi tiga dokter sebelumnya yang menyarankan saya untuk berhenti bekerja.

Hanya ada satu orang yang menyarankan saya untuk tetap bekerja yaitu shinse akupunktur sekaligus pelatih taichi saya. Menurutnya, kurangnya pemasukan finansial akan menjadi masalah baru dalam hidup saya. Entahlah, saya berada dalam dilema berbulan-bulan. Saya selalu menyempatkan diri untuk shalat istikharah, meski seringkali dalam kondisi duduk.

Selanjutnya: Hikmah di Balik Dilema Berkepanjangan
 


Topic

#fibromyalgia, #penyakitsaraf, #truestory

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?