Trending Topic
Makananmu, Identitas Kelas Sosialmu

15 Jun 2018


Foto : 123RF

Menurut antropolog Dr. Jajang Gunawijaya, M.A, Antropolog Universitas Indonesia sejak dahulu kala orang memperlakukan makanan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Kalaupun untuk memenuhi kebutuhan fisik, kita tidak harus makan makanan yang cita rasanya tinggi, karena yang penting mengenyangkan saja. Tak semata-mata untuk mengenyangkan perut, makanan memiliki banyak fungsi.
 
Di antaranya adalah sebagai bentuk relasi emosional, sarana membina bisnis, hingga untuk memenuhi tujuan prestisius. “Makanan atau tempat makannya saja adalah simbol penyampaian hubungan sosial-emosional dengan lawan bicara. Jika tempatnya romantis atau kondusif, bisa membina hubungan dengan lawan bicara menjadi lebih baik,” ujarnya.
 
Makanan sudah sejak lama difungsikan sebagai alat untuk memenuhi tujuan prestisius. Pada zaman kolonial, masyarakat dari kelas ningrat akan makan menggunakan garpu dari bahan perak. Sementara, untuk era modern sekarang ini, tempat makan atau restoran menjadi media afirmasi kelas sosial di masyarakat.
 
“Walau makanannya mungkin terasa biasa saja, jika makan di tempat bergengsi atau mengonsumsi makanan jenis tertentu, mereka akan mendapatkan kepuasan sosial. Dengan kata lain, makanan adalah bentuk afirmasi atas status sosial seseorang,” ujar Jajang.
 
Contoh sederhana, tentu orang akan mendapatkan rasa puas yang berbeda ketika menikmati kopi di warung kopi pinggir jalan dengan kedai kopi yang bertebaran di pusat perbelanjaan yang harga per gelas dipatok berkali-kali lipat mahalnya. Walau tidak terlalu mengenyangkan atau rasanya sama saja, minum kopi di kedai kopi mahal dapat memenuhi kepuasan sosial atau gengsi.
 
Apalagi media sosial memudahkan siapapun untuk melakukan afirmasi kelas sosialnya. Kita hanya tinggal mengunggah foto dessert yang sedang jadi tren atau makan malam mewah di  restoran bintang lima di media sosial. Makin banyak orang yang melihat unggahan tersebut, orang makin percaya dan mengasumsikan bahwa kita memang berasal dari kelas sosial tersebut.
 
Kecenderungan masyarakat modern ini membuat pengamat sosiologi pangan Sitta Manurung, M.Si., khawatir. Pasalnya, mereka yang berusaha menunjukkan kelas sosial A dari cara mereka makan, belum tentu berasal dari kelas sosial tersebut. “Makanan memang bisa menunjukkan kelas sosial. Tapi pertanyaannya, apakah itu kelas sosial yang sebenarnya?” ujar Sitta. Ia prihatin, jika kita larut dalam hal ini, akan membuat kita tidak sadar dengan kelas sosial dan
kemampuan ekonomi kita yang sebenarnya.
 
Dengan kata lain, hidup dalam kepalsuan demi mengejar status sosial tertentu. Namun, semuanya kembali pada bagaimana kita ingin menikmati makanan. Ada yang mengejar cita rasa, ada pula yang telah terbiasa dengan hidangan berpenampilan menarik. Tidak ada yang salah, juga tidak ada yang benar. Selama kita menikmatinya dengan sukacita dan hati senang, lakukan saja. (f)

Baca Juga:

Mengapa Masyarakat Indonesia Gemar Cerita Sedih? Ini Kata Pakar
Fenomena Cucu Diasuh Nenek, Alasan Pragmatis Warga Perkotaan
Sudah Menikah, Tak Kunjung Mandiri. Potret Pasangan Muda Millennial?

 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?