Profile
Wawancara Wregas Bhanuteja: Kekuatan Wanita di FIlm Prenjak

11 Jun 2016


Foto: FIC

Kemenangannya di Cannes Semaine de la Critique 2016 lalu, membuat namanya langsung melejit. Wregas Bhanuteja lahir pada tanggal 20 Oktober 1992. Film Prenjak yang berdurasi 12 menit, bukanlah karya pertamanya. Sebelum berhasil menang dan lolos di festival Cannes, tahun lalu, film Wregas yang berjudul Lembusura juga masuk nominasi Berlinale 2015.  Film lainnya, The Floating Chopin masuk Hongkong International Film Festival 2016.
Anak muda asal Yogyakarta ini membagi cerita tentang karyanya, dan rencana berikutnya setelah kemenangannya di Cannes.
 
Menurutmu, kenapa film Prenjak bisa menjadi pemenang di Cannes?
Sebenarnya saya tidak tahu juga kenapa juri memilih film ini. Saya juga tidak pernah menyangka bisa menang. Menjadi finalis dari 1500 judul film sedunia sudah lebih dari cukup. Dalam satu kesempatan, saya sempat menanyakannya pada salah satu juri. Lalu, dia bilang, konsep tentang korek api untuk melihat alat kelamin itu belum pernah mereka dengar. Saat menonton film ini, para juri semua tertawa-tawa. Begitu melihat ending-nya, mereka kaget. Film ini bercerita tentang kesedihan, tapi orang lain bisa melihatnya dengan tertawa-tawa. Mungkin karena itulah, film ini dianggap puitik. Menurut saya, itu filosofi yang sangat Jawa. Setiap kesedihan dianggap pastilah bisa terlewati.
 
Bagaimana kesan setelah pemutaran film Prenjak di Cannes? 
Setelah pemutaran film Prenjak, seorang penonton menghampiri kami dan menyatakan kekagumannya pada film itu yang ia nilai sederhana namun menakjubkan. Bagi saya, itulah apresiasi tertinggi. Saya juga bertemu sutradara lain dalam satu kompetisi dengan saya. Melihat film mereka dan ngobrol bareng mereka sangat membuka mata saya karena mereka punya pandangan luar biasa terhadap sinema, berani bereksperimen dan berkarya dengan tulus. Pengalaman ini membuat saya makin semangat untuk terus berkarya.   

Boleh diceritakan tentang proses di balik film-film pendek karyamu?
Berkuliah di sekolah film, membuat saya banyak mendapat tugas untuk membuat film setiap semesternya. Di film Senyawa, pengalaman saya membuat film seluloid. Susah luar biasa. Sekarang sudah tidak ada lagi film yang menggunakan seluloid, semua sudah digital. Film Lembusura yang berkisah tentang legenda penjaga gunung Kelud, saya buat tak sengaja. Saat di Yogya mengalami hujan abu, saya rekam peristiwa itu. Belum tahu mau diapain, lalu saya ketemu teman saya, dan terpikir untuk dibuat film. Saya minta teman saya menari, tarian apa pun. Karena teman saya ini fans JKT48, dia malah menarikan tarian JKT48. Film The Floating Chopin, dari dulu saya mengagumi Chopin, saya membuat video film tanpa skenario dengan tambahan footage yang saya ambil di makam Chopin di Paris. Semua serba spontan. Film Lemantun adalah film tugas akhir saya. Harus melalui proses pembimbingan dan krunya banyak, hingga 30 orang. Para pemainnya semua orang-orang hebat, sutradara dan aktor teater senior.  
 
Yang mana film karya favoritmu?
Dari semuanya, favorit saya adalah film Lemantun.  Sebab, film ini adalah cerita tentang keluarga saya, dari kejadian Lebaran tahun 2011. Cerita tentang nenek saya yang membagi warisan berupa lemari kepada para Pakdhe dan Budhe saya. Ketika saya memperlihatkan film ini pada Pakdhe saya yang tinggal di Solo yang merawat nenek, dia senang, dia jadi lebih berusaha, hidupnya tidak hampa dan dia bisa mendapatkan makna hidupnya.
 
Darimana ide untuk membuat film Prenjak ini?
Itu berdasarkan cerita teman sekolah di Yogyakarta. Dulu, di alun-alun Yogyakarta, ada penjual wedang ronde yang berjualan sebatang korek api seharga Rp1000. Ternyata mahalnya sebatang korek itu karena si penjual memperlihatkan kemaluannya ke pembeli di kolong meja. Lalu, untuk karakter Diah, saya  teringat pada kisah teman SMP saya yang hamil saat kelas 3 SMP.  Ketika saya dan teman-teman lain masuk SMA, teman saya ini sudah harus berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kenapa teman saya ini harus mengalami nasib seperti itu, masih terus tersimpan di benak saya. Dari situlah, ada ide untuk membuat film yang menggambarkan kekuatan seorang wanita dalam mempertahankan anaknya, dan tercetuslah karakter Diah. Diah menawarkan pada temannya, Jarwo untuk membeli korek api seharga Rp10 ribu. Lewat satu batang korek itu, ia membolehkah Jarwo untuk melihat alat kelaminnya.  

Di film Prenjak ini digambarkan, ketika Diah menyalakan api, dia masih mengalami trauma sehingga dia tidak mau melihat alat kelamin pria. Dan kenapa akhirnya dia mau melihat, karena jauh di dalam hatinya ada kerinduan terhadap sosok lelaki itu. Saya merasa, anak Diah adalah sosok anak yang harusnya ditanggung berdua. Ketika salah satu orang tua pergi, pihak yang ditinggal harus bekerja lebih keras.
 
Semua film pendekmu berbahasa Jawa, kenapa begitu?
Bahasa Jawa adalah bahasa ibu. Walaupun sudah kuliah di Jakarta, sampai sekarang, saya merasa lebih nyaman dengan bahasa ibu. Entah kenapa bahasa Indonesia belum bisa menggantikan bahasa ibu. Terlebih karena semua setting film saya di Yogyakarta, di sana, bahasa yang sehari-hari digunakan, ya bahasa Jawa. Jarang sekali Bahasa Indonesia kecuali untuk acara formal.  Saya membuat film dari apa yang saya tahu benar. Film-film saya semua dari pengalaman yang sederhana saja. Tidak perlu lebay. Makanya, saya pilih penyampaian dengan Bahasa Jawa.
 
Proyek berikutnya, berniat membuat film panjang?
Banyak orang yang bilang, ini sudah saatnya. Ayo, sekarang buat film panjang. Saya sih, mau. Yang penting semangatnya dulu ajalah. Tapi, sementara ini, nikmati dulu apa yang ada di depan mata. Jalan-jalan dulu. Saya juga belum tahu mau membuat film apa. Nanti kalau sudah ada ide. Buat saya, story is everything. Penyutradaraan, teknik, dan yang lainnya itu jadi nomor dua. (f)
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?