Profile
Seni Lintas Batas Bagi Tintin Wulia, Wakil Indonesia di Venice Art Biennale 2017

23 Oct 2017


 
Pengalaman seni tidak membutuhkan kata-kata, membawa kita terbang pada imajinasi dan interpretasi pikiran. Lewat karya-karya seni kontemporer, Tintin Wulia (44) mengajak siapa saja memasuki dunianya. Dunia yang berisi hubungan yang kompleks, saling terikat, dan melewati batas, seperti karya terbarunya yang tampil di paviliun Indonesia, di Venice Biennale Arte 2017.

Memasuki awal musim panas, cuaca Kota Venesia, Italia, di pertengahan Juni lalu terasa hangat. Matahari bersinar terang, menghasilkan refleksi bayangan yang sangat nyata dari deretan bangunan tua di kompleks Arsenale.

Di sinilah ajang seni kontemporer internasional terkemuka, Venezia Biennale Arte, digelar 
tiap dua tahun sekali. Sejak tahun 1895, ratusan karya seni kontemporer dari artis-artis berbagai negara dikurasi dengan sangat ketat oleh kurator- kurator internasional.

Suatu pagi di pertengahan Juni lalu, femina bertemu dengan Tintin di apartemennya, yang letaknya tidak jauh dari kompleks Arsenale. Dia sudah menempati apartemen ini sejak beberapa bulan terakhir, sejak harus bolak-balik Australia – Venesia untuk mempersiapkan pamerannya.

Siang itu ada yang istimewa, ia akan tampil sebagai pembicara di Tavola Aperta (Open Table), salah satu program acara di Venezia Biennale Arte 2017. Tiap hari, Open Table menampilkan artis-artis dari berbagai negara yang karyanya tampil di Le Biennale, mengupas proses seni di balik karya mereka.

Menampilkan karya seni instalasi bertajuk 1001 Martian Homes di paviliun Indonesia di Venezia Biennale Arte 2017, Tintin bercerita tentang pola berulang dalam sejarah perpindahan manusia melintasi waktu, tempat, dan ruang untuk memikirkan kembali tentang konektivitas.

Dengan waktu persiapan, yang diakui Tintin, cukup singkat, hanya beberapa bulan, 1001 Martian Homes merefleksi pada kehidupan keluarganya yang harus ulang-alik di antara dua rumah, Bali dan Cina, serta kenyataan sama yang ia lakoni sepuluh tahun belakangan ini, antara Australia dan Indonesia.

Wanita yang menetap di Australia sejak mengambil program PhD (Art) di RMIT University Australia  ini mengimajinasikan sebuah masa depan lewat tiga pasang instalasi yang saling terhubung. Ketiga pasang instalasi ini berdiri di dua paviliun Indonesia yang nyaris identik, yang terletak di dua lokasi berbeda, yaitu di Arsenale, Venesia dan di Senayan City, Jakarta.

Unik, karena konsep ini menjadikan paviliun Indonesia menjadi satu-satunya sekaligus yang pertama, yang memiliki dua ruang pameran dan salah satunya berada di luar Venesia. Instalasi pertama, Not Alone, berupa mesin kembar berbentuk kubah setengah lingkaran yang mampu merekam partisipasi pengunjung di dua paviliun tersebut. Koneksi internet menjadi elemen sentral. Pengunjung dapat melihat refleksi pengunjung lain di kota berbeda.


Instalasi kedua, berupa video 1001 Martian Homes yang terdiri atas susunan wawancara-wawancara yang dijalin ke dalam narasi berlatar masa depan. Beberapa tokoh dalam video ini adalah eks tahanan politik yang menarasikan kembali pengalaman mereka secara simbolis.

Instalasi ketiga, Under The Sun, menampilkan tangga menuju ruang tersembunyi di lantai atas dengan pintu terkunci. Hanya ada satu lubang intip. Di baliknya, terdapat sebuah ruang kerja kecil acak-acakan dengan aneka sketsa. Gambar mata pengunjung di Jakarta dan Venesia yang terekam dari lubang intip di pintu, ditayangkan kembali di lingkaran-lingkaran aneka ukuran yang terdapat di sepanjang dinding tangga.

Di acara Tavola Aperta, dengan penampilan sederhana berupa atasan kuning cerah berpotongan minimalis dipadu bawahan hitam, Tintin bercerita bagaimana ia mengimplementasikan gagasannya dalam sebuah instalasi seni.

Tidak dipungkiri, latar belakang keluarganya yang berasal dari etnis Tionghoa dan beberapa tragedi yang melibatkan etnis Tionghoa, seperti peristiwa ‘65 dan kerusuhan ‘98, telah menginspirasi karyanya. “Kenyataan bahwa kakek saya hilang pada tahun 1965 dan cerita ini menjadi sejarah yang tidak pernah diceritakan secara terbuka di keluarga,” ungkapnya, terbuka.

Pengalaman keluarga dan kisah beberapa orang dekat inilah yang kemudian dirangkai Tintin dalam sebuah video narasi tunggal. Tanpa menyebut nama dan cerita asli dari tiap tokoh yang tampil, sebenarnya mereka ini adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang sama dengan dirinya dan keluarganya.

“Cerita sepotong-sepotong yang saya dapat dari keluarga, juga  pengalaman beberapa teman yang saya dengar ceritanya. Sejarah ini akan hilang, jika tidak terdokumentasi. Saya  lalu membuat proyek untuk mengumpulkan cerita-cerita tentang 1965. Tim media sosial menyebarkan di Facebook. Dari situ ada tanggapan, lalu mulailah beberapa orang merespons dan bersedia memberikan testimoni mereka,” cerita Tintin, yang kemudian menggunakannya sebagai salah satu bagian dari video instalasinya di 1001 Martian Homes.  
 


 

Faunda Liswijayanti


Topic

#wanitahebat, #profil, #seni

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?