Profile
Joko Widodo: “Banyak yang Salah ‘Membaca’ Saya, Itu Biasa”

22 Jun 2018


Dok: Femina
 
Sulit untuk membantah kalau Joko Widodo saat ini menjadi orang tersibuk di negeri ini. Memenangkan kursi RI 1 lewat proses Pemilihan presiden langsung, semua harapan masyarakat kini tumpah di pundaknya. Pria berusia 53 tahun ini menerima femina di Balai Kota. Di luar, antrean tamu mengular, termasuk serombongan warga sebuah kampung yang mengadu tanah mereka tergusur proyek jalan tol.

Selama kurang lebih satu jam, Jokowi menjawab pertanyaan dengan gayanya yang khas: kalimat-kalimat yang diucapkan lambat-lambat dan disertai candaan yang memancing tawa. Ia pun dengan senang hati ber-selfie dengan kami. Ia memang tak membentang jarak!
 
“LIHAT WAJAH SAYA”
“Sebetulnya wawancara saya itu gampang, tempel saja saya tiap hari ketika turun ke lapangan, pasti saya akan menjawab semua pertanyaan,” ujarnya, membuka percakapan. Turun ke lapangan, blusukan bertemu langsung dengan masyarakat, memang menjadi ciri khasnya, baik saat menjadi Wali Kota Solo (dua periode) maupun semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta. Karena dia, blusukan menjadi kosakata yang populer saat ini.
 
Apa resep bapak untuk menjaga stamina?
Resepnya satu: enggak ada beban kepentingan. Saya tidak keinginan apa pun, bekerja saja. Dengan demikian, mau kerja dari pagi Sampai pagi, ya, kuat. Jam kerja saya memang tidak jelas. Pulang dari kantor pukul 4 sore, tapi saya ke mana-mana dulu. Ke kampung, perteuan dengan masyarakat, atau mengecek yang perlu dicek pada malam hari karena ketika dicek siang tidak ada.
 
Tidak lelah?
Lihat wajah saya, lelah tidak? Ha…ha…ha… Ya, capek. Saya kan manusia normal.
 
Seperti apa dukungan keluarga?
Anak-anak saya tinggal di Solo. Kadang-kadang mereka yang datang ke sini, kadang-kadang saya yang pulang ke Solo. Berangkat malam, lalu keesokan paginya balik ke Jakarta. Mereka sudah dewasa, jadi sudah mengerti kondisi ini.
Memang, dulu semasa saya masih menjadi wali kota, mereka sempat protes pada kesibukan bapak-ibunya. Makum, sebelum jad wali kota, ke sekolah diantar, pulang dijemput, mau liburan juga bebas bisa kapan saja. Awalnya memang sulit, tapi lama kelamaan mereka mengerti juga.
 
Kalau dengan ibu, bagaimana mengatur waktunya?
Kalau istri kan di sini dengan saya terus. Cuma ketemunya juga enggak jelas kapan ha…ha…Ketika saya pulang dan istri sudah tidur, ya, ketemu besok paginya. Tapi kami sering barengan hadir di suatu acara. Selama kampanye lalu, anak dan istri selalu ikut. Meskipun tidak ikut teriak-teriak di atas panggung, mereka hadir.
 
Ada komentar mereka tentang pilpres lalu?
Mereka bilang: “Ternyata Bapak kerjanya berat sekali.” Baru mengerti mereka…
 
Konser 2 Jari di GBK dulu dipenuhi massa. Perasaan Bapak waktu itu?
Saya tidak memperkirakan penonton sebanyak itu juga. Ketika masuk ke gerbang stadion, sempat terdiam sejenak, kaget!
 
Bapak mengantisipasi massa akan sebanyak itu?
Sebelumnya saya smapaikan ke Abdee SLANK (penggagas konser 2 Jari - Red) bahwa kalau tidak bisa memenuhi GBK, tidak usah diadakan saja. Karena, nantinya bisa menurunkan persepsi masyarakat, bahwa kita tidak ada yang mendukung. Tiga hari sebelumnya Abdee menyatakan sanggup karena setelah dicek banyak yang mau hadir. Kenyataannya yang datang melebihi kapasitas.
 
Dalam kampanye Bapak banyak melibatkan anak muda. Apa yang Bapak lihat dari mereka?
Saya pikir kampanye sekarang sudah berubah, dan itu belum banyak disadari (oleh politikus lain). Sekarang pendekatannya bukan lagi product centric atau customer centric, tapi human centric. Karena itu, sentuhannya bukan lagi orasi di panggung. Sekarang ini sentuhannya adalah dari hati ke hati.
 
Apakah ini akan menjadi ciri Bapak dalam memimpin?
Dari dulu saya sudah seperti ini. Saya sudah melihat, saat ini eranya sudah horizontal, bukan vertikal lagi. Masyarakat sudah tidak ingin dijadikan objek. Mereka ingin diajak berperan, dijadikan teman, diajak diskusi, dijadikan partner. Ini yang tidak banyak disadari.
 
Apa yang membuat Bapak bisa membaca itu?
Karena tiap hari saya bergaul. Blusukan itu cara saya bergaul dan mendengarkan. Ke bantaran sungai saya mendengar, bertemu anak muda saya mendengar, ke kampung-kampung  saya mendengar. Ooo..keinginan mereka itu seperti ini.
 
Bagaimana proses implementasi persoalan yang didapatkan dari blusukan?
Turun ke bawah itu kan ingin melihat dan mendengar fakta langsung. Dari situ dibuat sebuah perencanaan, design policy. Lalu design policy itu dilaksanakan. Babak selanjutnya, ketika kita turun lagi ke lapangan, itu sudah proses managemen pengawasan, pengontrolan apakah program berjalan, apakah uangnya betul-betul sampai ke bawah. Memang ada orang yang membacanya berbeda (ada kritik bahwa blusukan Jokowi tidak bermanfaat - Red). SYa, itu salahnya orang yang ‘salah baca’ itu. Karena ndak mungkin ada sebuah design policy bisa tepat sasaran kalau kita tidak pernah mendengar, dan tidak pernah datang ke lapangan.
 
Meski untuk itu butuh energi lebih?
Kalau saya pergi ke suatu tempat, itu pasti karena sudah ada informasi, bahwa di sana ada masalah yang tidak umum, menarik, dan berbeda. Itu kita datengi. Pasti sudah ada Tim advance yang datang terlebih dahulu. Ada orang yang senang keliahatan, ada yang senang tidak kelihatan. Kalau saya senang yang tidak kelihatan. Pengawalan saya juga ndak perlu berlebihan.
 
Akan tetap blusukan setelah jadi RI 1?
Sama saja, tidak ada yang berbeda. Hanya skalanya memang lebih luas. Ya, nanti ada beberapa yang pakai e-blusukan. Kenapa tidak? Misalnya pakai Skype. Tinggal dikombinasi dengan datang langsung. Karena sisi human-nya harus disentuh juga.

Baca Selanjutnya: MEMPERBAIKI SISTEM
 


Topic

#Jokowidodo

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?