Health & Diet
Pengobatan Medis Fungsional, Tren Penanganan Kesehatan dengan Pendekatan Holistik dan Personal

20 Nov 2017


Foto: 123RF

A falling leave may just be the symptom of problems at the trunk and root of a big tree.” Analogi ini kerap dikutip untuk menggambarkan definisi functional medicine,   pendekatan medis yang tidak hanya berhenti pada mengobati atau menghilangkan gejala penyakit yang muncul dan terlihat, tapi menelisik penyebabnya hingga jauh ke akar masalah.

Redaktur Senior femina, Naomi Jayalaksana, hadir di Amazing Thailand Health and Wellness Tourism Showcase 2017, di Bangkok, Thailand, dan bertemu para praktisi medis di bidang functional medicine. Berikut ulasan mereka tentang pendekatan medis yang sedang menjadi tren global ini.
 
LAIN ORANG, LAIN PULA OBATNYA
Terlalu sibuk, tapi lapar? Fast food saja! Mau olahraga? Tak ada waktu! Ingin liburan? Pekerjaan menggunung! Ingin bepergian? Macet dan polusi!

Gaya hidup serba cepat yang penuh tuntutan ini seolah telah menjadi makanan harian manusia urban modern di abad ke-21. Akibatnya, rasa lelah, stres, dan gangguan fisik mulai berdatangan menyerang sistem pertahanan tubuh yang melemah.

Beragam penyakit kronis yang cukup kompleks berkembang pesat dalam angka dan jenis kasus, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, penyakit kejiwaan, dan gangguan autoimmune. Tren penderita yang berusia muda juga ikut meningkat. Minum obat kerap kali tak bisa secara tuntas melenyapkan gangguan kesehatan. Sebaliknya, sakit yang sama terus berulang, bahkan  makin parah. Apa penyebabnya?

“Kita harus tahu apa ketidakseimbangan yang terjadi dalam tubuh, dan apa penyebabnya,” tegas dr. Worawit Kitisakronnakorn, saat membawakan topik Functional Medicine di ajang Amazing Thailand Health and Wellness Tourism Showcase 2017.

Functional medicine telah dikembangkan sejak sekitar 20 tahun lalu yang dasarnya adalah pengembangan dari pengobatan holistik yang dipadu dengan penggunaan teknologi modern. Di Indonesia, praktik penanganan masalah kesehatan dengan  pendekatan functional medicine juga sudah mulai diterapkan, terutama untuk penyakit-penyakit kronis dan degeneratif.

Pendiri Thai Institute of Functional Medicine (TIFM), sekaligus Direktur RS Better Being Hospital (RS BBH) ini mengungkap bahwa gangguan kesehatan pada sebagian tubuh atau  sistem organ terjadi akibat adanya ketidakseimbangan pada proses dasar fisiologi dan biokimia di dalam tubuh.

Berdasarkan pemahaman ini, maka  tiap orang memiliki kekhususan  sendiri berdasarkan perbedaan gaya hidup, pola makan, tingkat aktivitas, hingga faktor keturunan atau genetis. Hanya mengandalkan obat yang dijual di pasaran belum tentu memecahkan masalah. Kebanyakan hanya bersifat meredakan gejala penyakit, tapi tidak mengobati akar penyakitnya.

Obat yang sama, jika dikonsumsi oleh orang yang berbeda, bisa jadi tidak memberikan kesembuhan. Bahkan, jika tidak hati-hati, bisa menyebabkan keracunan atau reaksi alergi yang berbahaya! Di sinilah functional medicine mengambil peran sentral.

Tidak hanya fokus pada gejala penyakit, para praktisi kedokteran fungsional akan melakukan investigasi menyeluruh terhadap segala kemungkinan yang menjadi faktor pemicu munculnya gejala-gejala tersebut. Apakah itu dari riwayat penyakit, atau interaksi antara faktor genetis, lingkungan, dan gaya hidup. Tubuh tidak dilihat per bagian, tapi menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan saling terhubung.

Functional medicine seharusnya tidak lagi dianggap sebagai alternatif, tapi sebagai jalan menuju model perawatan medis efektif masa depan bagi berbagai penyakit kronis,” ungkap dr. Worawit. Seperti fenomena puncak gunung es, penyakit kronis ini hanyalah sedikit saja yang terlihat dari permasalahan kesehatan yang lebih besar, dan menjadi penyebab utamanya.

Oleh sebab itu,  tiap praktisi kedokteran fungsional akan menanyakan dua hal ini kepada pasiennya. Pertama, apakah pasien mengalami defisiensi atau kekurangan sesuatu, dan membutuhkannya dalam jumlah besar agar kondisinya membaik? Kedua, apakah dalam tubuh pasien terdapat sesuatu yang mengganggu keseimbangan dinamika tubuh, misalnya keberadaan senyawa beracun dalam tubuhnya.

Dokter Warowit mencontohkan kasus yang terjadi pada salah satu pasiennya, seorang gadis cilik usia 9 tahun asal Jerman. Di usianya yang masih belia, ia mengalami kerontokan rambut hingga nyaris botak. Menerapkan pengobatan medis fungsional, terapi steroid yang pernah dijalani dan berisiko buruk pada kesehatannya diganti  dengan terapi mengatur pola makan.

Rupanya, ada beberapa makanan tertentu yang membuat tubuhnya sangat sensitif, sehingga ia mengalami gangguan pencernaan dan ketidakseimbangan bakteri baik dan jahat dalam tubuhnya. “Hasil analisis rambutnya mengungkap bahwa ia kekurangan asam amino, sehingga kami memberi asupan asam amino serta beberapa vitamin lainnya. Ditambah pola makan tinggi protein dan rendah gula, dalam waktu tiga bulan, kondisi kesehatannya membaik. Rambutnya pun kembali tumbuh dengan lebat,” jelas dr. Warowit.(f)


Baca juga:
Obat Herbal Lebih Baik Dari Obat Kimia, Benarkah?
Perawatan Langsung ke Rumah dan Pengembangan Pengobatan Tradisional untuk Masa Depan Indonesia yang Lebih Sehat
Hari Penyakit Langka: Perjuangan Panjang Mendapatkan Obat Penyakit Langka


Topic

#functionalmedicine

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?