Health & Diet
Benarkah Media Sosial Bikin Lapar?

15 Jun 2018


Foto: 123RF

Stefanie Kurniadi, wanita di balik kesuksesan bisnis kuliner Warunk Upnormal dan Bakso Boedjangan, mengakui bahwa kebiasaan belanja online yang sangat kuat di masyarakat modern saat ini membuatnya harus menghadirkan representasi brand yang baik juga di dunia maya. banyak, maka foto dengan gaya tersebutlah yang paling disukai atau cocok dengan target pasar,” jelasnya.
 
Meski sejauh ini, belum ada penelitian yang membahas bagaimana perubahan kecenderungan perilaku makan yang dipengaruhi oleh keberadaan media sosial, tapi menurutnya, konten atau foto yang menarik masuk kategori berhasil jika mampu membuat orang yang melihat do action. “Asumsi saya, melihat antusiasme anak zaman sekarang terhadap makanan yang kerap diekspos di media sosial, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka tak lagi peduli pada rasa makanannya, yang penting tampilannya terlebih dahulu,” kata Manda.
 
Praktisi kuliner dan pengamat sosiologi pangan, Sitta Manurung, M.Si, mengatakan bahwa media sosial membuat kita hidup dalam hiperrealitas, yaitu kondisi ketika kita tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang maya.
 
“Gambarnya yang menggiurkan atau karena komentar orang-orang di kolom komentar, sering mendorong kita untuk mencobanya. Namun, ternyata ketika makanan sudah ada di depan mata, kelihatannya tidak semenarik seperti yang dilihat di Instagram.
 
Berdasarkan pengalamannya berbisnis kuliner, Stefanie menyadari bahwa foto sangat penting. Saat menyusun konten atau menentukan foto seperti apa yang ingin tampilkan, harus memastikan terlebih dahulu tujuannya, kemudian pesan yang ingin disampaikan dari foto tersebut.
 
“Hal ini bisa diketahui seiring berjalannya waktu. Misalnya, ketika mengunggah sesuatu untuk promosi, bila mendapat respons paling bahkan rasanya tidak seenak seperti yang digambarkan. Ini yang disebut hiperrealitas. Media sosial membuat ekspektasi kita melebihi kenyataan,” jelas Sitta.
 
Hiperrealitas berpengaruh pada terjadinya distingsi selera. Misalnya saja, selera kita sesungguhnya menyukai makanan yang pedas, tapi karena kita mengikuti akun food buzzer di
Instagram yang kerap menampilkan makananmakanan manis, lambat laun akan membuat kita ikut-ikutan dengan selera orang lain. Secara tidak langsung, hal ini juga mengubah cara kita mendefinisikan rasa enak. Sama seperti bagaimana media sosial mengubah persepsi kita mengenai socially acceptable dan socially unacceptable.
 
Menurut Manda, sebenarnya definisi enak itu adalah sesuatu yang sangat subjektif. Tapi,subjektivitas itu juga dipengaruhi oleh pengalaman, apa yang biasa kita lihat dan kebiasaan-kebiasaan lain. Jika kita terbiasa dengan makanan yang bentuknya cantik karena referensinya adalah fotofoto di Instagram, mungkin ini akan jadi definisi ‘enak’ buat kita,” paparnya. (f)

Baca Juga:

2 Cara Sederhana Cegah Diabetes
8 Fakta Pembantah Mitos Diet dan Kesehatan
Jangan Lewatkan Sarapan, Ini Alasannya


Topic

#mediasosial

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?