Foto: 123RF
Ini pertama kali aku berkunjung ke rumah setelah pesta pernikahanku minggu lalu. Selama enam hari aku berada di rumah mertua. Bersilaturahmi dengan sanak kerabat dari pihak mertua. Baru di hari ketujuh aku boleh bersilaturahmi kepada Ayah dan Ibu, juga ke sanak kerabat dari pihak keluargaku sendiri.
Motorku melintasi jalan setapak. Membentur riak sepi. Membabat tanah berkerikil yang di tepinya ditumbuhi rumput dan semak. Sarah, istriku, sangat senang melewati alam pedesaan yang dipayungi kabut-kabut tipis putih.
“Panorama yang indah seperti hati kita, Mas,” bisik Sarah lembut.
“Semoga hati kita menjadi panorama yang selamanya bebas dari polusi,” jawabku, diiringi tawa.
Kebahagiaan kami sebagai pengantin baru makin lengkap. Setidaknya hingga di beranda, sebelum kami melewati pintu. Setelah melewati pintu, ternyata kebahagiaan kami berbenturan dengan kenyataan getir; Ibu terbaring sakit di atas ranjang. Tubuhnya seketika kurus, padahal baru empat hari ia sakit. Dan wajahnya tampak seperti nenek jompo yang hidup dua menit sebelum kematiannya.
Segera Ibu menutup lingkaran lebam hitam pada kulit lengan kirinya dengan kain. Lalu Sarah mencium tangan Ibu. Lekat dan penuh takzim. Hidung mancungnya menyapu kerut keriput kulit tangan Ibu yang memutih. Ibu hanya bisa meneteskan air mata sambil berbaring lemah. Bibirnya gemetar. Tak bisa mengeluarkan kata-kata. Sapa lembut bibir Sarah berpadu isak tangis Ibu dan geletar angin mencampurinya dengan ritme yang halus setelah melintasi sesingkap gorden merah bata di jendela.
Ayah dan Rida, adikku, hanya bisa memandang muram di sisi ranjang. Entahlah. Apakah tangis Ibu adalah tangis haru karena melihat Sarah telah resmi jadi menantunya atau mungkin tangis itu adalah tangis duka karena tiba-tiba ia sakit parah di saat semestinya ia masih turut bersukacita dengan statusku sebagai pengantin baru.
Topic
#FiksiFemina