Career
Perlukah Personal Branding Diaudit?

9 Feb 2018


Foto: 123RF

Istilah personal branding dikenal juga dengan self-branding. Artinya, yang dipasarkan adalah diri seseorang. Yang membedakan self-branding dengan product branding adalah konteksnya, tetapi secara prinsip filosofinya sama, yaitu dalam
 koridor ilmu branding.

Namun secara umum, branding masih dikaitkan dengan mengiklankan dan membuat sebuah brand menjadi terkenal. Ini adalah miskonsepsi terbesar dalam branding. Mengiklankan saja dan menjadikan produk terkenal tidak cukup untuk
membuat sebuah brand terpilih dan terpilih lagi.

“Pekerjaan dalam branding yang utama adalah memastikan bahwa terjalin ikatan emosional antara ‘konsumen’ atau ‘audience’ dengan brand tersebut. Brand yang baik akan direkomendasikan kepada audience lainnya dan lebih penting lagi, pada saat brand tersebut dikatakan negatif, akan dipertahankan dan dibela,” jelas Amalia E. Maulana, Ph.D, Brand Consultant & Ethnographer Director Etnomark Consulting.

Ia menambahkan, miskonsepsi yang masih luas terjadi dalam produk branding bertambah bila kita kerucutkan dalam konteks personal. Karena selain dikaburkan dengan kegiatan beriklan, personal branding selalu dikaitkan dengan kegiatan mencitrakan yang berlebihan dan di luar apa yang bisa dikerjakan dengan baik oleh seseorang.

Miskonsepsi lainnya adalah menyangka bahwa target personal branding adalah untuk menjadi seseorang sempurna. “Miskonsepsi ini perlu dikikis karena tidak ada manusia yang sempurna dan bukan jadi target. Yang penting bagi pembinaan personal branding adalah saat kekuatan seseorang lebih diingat dibandingkan dengan keburukan/kelemahannya,” kata Amalia.

Baca juga:
Personal Branding Harus Sejalan dengan Profesionalitas, Ini Alasannya
Stop Asal Posting! Ini Alasan Penting Anda Perlu Menjaga Reputasi Online

Dalam persaingan antar tenaga kerja profesional yang kompetitif, personal branding menjadi sesuatu yang tidak bisa dilewatkan. Harus ada usaha khusus untuk mengelola agar brand diri berjalan sesuai dengan arah dan dalam koridor yang ditetapkan.

Pengelolaan personal branding dimudahkan dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi memungkinkan untuk menghubungkan satu orang dengan para stakeholders-nya, di sinilah kehadiran seseorang secara digital menjadi penting.

Pada kenyataannya, masih banyak profesional yang merasa tidak membutuhkan untuk hadir sama sekali di dunia digital, terutama dari kalangan generasi X. Mereka merasa kurang nyaman berada di alam baru, dan karena posisinya di perusahaan sudah terlalu tinggi sehingga merasa kurang pas jika berinteraksi secara luas dengan yang jauh lebih muda usianya.

Di sisi lain, menurut Amalia, ada juga orang (bisa dibilang sebagian besar) yang sudah menggunakan media sosial tetapi tidak memedulikan sejauh mana content di dalamnya bisa mempengaruhi citra dirinya. Mereka menggunakan media komunikasi sosial ini secara impulsif saja dan tidak melihat dampaknya akan memperkuat atau melemahkan brand diri.

“Persoalannya tidak sederhana, karena apa yang ditulis di media sosial itu tercatat secara online dan terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat historis percakapan di dalamnya. Siapapun bisa menjumpai semua kalimat yang pernah ditulis dan foto yang ditayangkan (kecuali akun privat),” kata Amalia.

Akumulasi ini tidak bisa hanya di satu dunia saja, melainkan gabungan antara interaksi online dan offline. Kehidupan seseorang dan interaksi dengan stakeholders-nya selalu terintegrasi antara face-to-face dengan via online. Apabila terdapat
ketidaksaman antara citra secara online dan citra secara offline, hal tersebut akan dirasakan oleh audiensi yang berinteraksi dengannya. Tidak adanya konvergensi dan sinergi, membuat citra diri tidak solid.

Itu sebabnya, Amalia menyarankan agar secara berkala melakukan ‘audit’ personal brand khususnya yang ada di dunia digital untuk menyadarkan pemilik brand tentang berada di mana brand-nya saat itu di mata audience-nya.

“Komponen riset ini yang jarang dikerjakan -umumnya orang lebih sibuk posting di media sosial atau WhatsApp group dan berbicara dengan teman-temannya di dunia digital - dan lupa bahwa setelah sekian lama berjalan, harus berhenti dulu dan evaluasi,” ungkap Amalia. (f)

Baca juga:
Ini Tiga Kata yang Paling Banyak Muncul di Profil LInkedIn Para Profesional Indonesia
Ini Cara Mengenali Emosi Dominan Anda untuk Mendorong Semangat Kerja
5 Trik Berkata ‘Tidak’ Kepada Atasan

 

Faunda Liswijayanti


Topic

#personalbranding

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?