Karya Anda
Buku Bu Purbo

5 Nov 2015

Penulis: Rina Susanti, Tangerang


Naluri berburu buku saya langsung tergerak setiap kali melihat kios atau lapak buku bekas.  Beberapa buku yang saya buru adalah komik Nina, buku-buku Enid Blyton dan seri Laura Inggels Wilder. Walaupun edisi terbaru buku ini (kecuali komik Nina) terdisplay manis di sejumlah toko besar,  saya lebih suka membeli yang seken dengan tahun terbit jadul karena ada kenangan manis masa kecil di sana. Buku-buku yang sebenarnya sudah saya baca dulu saat saya duduk di bangku sekolah dasar dari hasil meminjam.
Kenangan seorang ibu  setengah baya berperawakan kurus dengan rambut  sebagian memutih, yang  duduk di hadapan kami dengan sabar, menunggu kami, anak-anak  kampung yang beberapa  belum mandi - membuka, memilih dan meminjam buku koleksi anaknya.
Ruang tamunya yang lapang, setiap minggu di sulapnya menjadi perpustakaan untuk anak-anak. Kami penyebut perempuan itu Ibu Purbo. Ibu Purbo tidak hanya di kenal di kalangan anak-anak juga orangtua kami, karena keramahannya jika lewat di gang depan rumah kami.  
Letak rumahnya terletak sekitar 1  km dari rumah kami yang terletak berderet di sepanjang gang selebar dua motor. Berbeda dengan tempat tinggal kami, rumah ibu Purbo terletak di pinggir jalan besar, tepatnya di jalan Kidang Pananjung daerah Dago di Bandung, tak jauh dari sebuah restoran eksklusif yang cukup terkenal di sana.
Kami, yang  tidak mengenal majalah dan buku selain buku pelajaran sekolah dan dongeng daerah, jadi tahu, menikmati membaca dan keliling dunia melalui buku.
Hari minggu yang selalu saya tunggu, bergegas mandi pagi, setelah sarapan dan berpakaian rapih membawa dua buku pinjaman  minggu lalu untuk di tukar pinjam dengan buku baru. Kadang kami datang kepagian, dan menunggu pintu  rumah itu buka dengan duduk-duduk di terasnya yang bersih dengan tanaman yang tersusun rapih dan terawat.
Diam-diam saya dan teman-teman mengagumi rumahnya yang bagus dan besar.Keramiknya yang bersih dan halus dan terutama mengagumi ratusan buku yang berderet di beberapa rak setinggi  empat tingkat dan majalah di beberapa keranjang. Ada begitu banyak ragam buku yang membuat saya kagum dan ternganga. Seri biografi para ilmuwan, tipis dengan jilid berwarna seterang warna kertas scotlight, seri ilmu pengetahuan alam, tumbuhan dan hewan, majalah anak-anak, komik Nina, Deni manusia ikan dan masih banyak lagi. Saya mengagumi Bu Purbo, yang telah berbaik hati meminjami kami secara cuma-cuma dan tidak ada denda.
Saya selalu tergoda untuk tidak mengembalikan buku-buku yang saya pinjam karena ingin memiliki buku tapi saya tahu jika itu dilakukan selain dosa juga tidak bisa meminjam buku lagi di sana. Suatu kali saya begitu tak tahan ingin memiliki satu lembar saja halaman majalah anak-anak yang saya pinjam. Ya, satu lembar saja, di mana di sana terdapat potret penulis favorit saya pada masa itu Enid Blyton. Berhari-hari saya menimbang, untuk menyobek halaman itu.
Minggu berganti saya masih takut untuk merobek halaman itu, akhirnya majalah itu saya kembalikan dengan perasaan tak tenang. Ya, bagaimana kalau majalah itu di pinjam anak-anak lain dan tidak kembali. Karena setahu saya banyak anggota perpustakaan ini yang tidak datang kembali setelah beberapa kali meminjam buku dan otomatis buku tidak di kembalikan.
Puluhan tahun telah berlalu tapi saya tidak pernah melupakan kebaikan bu Purbo dengan buku-bukunya.
Setelah saya menikah dan pindah tempat tinggal di Jakarta, saya membawa buku-buku bekas dan jadul dari rumah ibu di Bandung. Suami mengerutkan kening melihat tumpukan buku lusuh, malah beberapa buku jilidnya sudah robek.
“Buat apa?” tanyanya.
“Koleksi, sekalian buat Zahra nanti.” Zahra adalah nama si sulung kami.
Suami mengerutkan kening,”Bisa bikin batuk debunya. Lagipula itu bacaan anak esde, masih lama.”
“Nggak berdebu kok, sudah di bersihkan memang sudah lusuh aja karena jadul,” saya membela diri.
Di hari lain, saya membawa setumpuk buku jadul, hasil berburu di kios buku bekas. Entah kenapa ada perasaan malu kalau terlihat suami, malu karena membeli buku bekas dan hanya untuk mengoleksinya.  Saya pun menyimpannya di rak buku bagian belakang.
Sampai saat kami pindah rumah beberapa bulan lalu dan suami membantu mengepak buku-buku koleksi saya, dia berkomentar.
“Ini kepake nggak sih, jual saja ke tukang barang bekas atau sedekahkan.”
Saya terdiam, teringat Ibu Purbo dan deretan bukunya  yang membuat saya berani bermimpi melewati batas kemampuan finansial orangtua saya, yaitu menuntut ilmu hingga jenjang kuliah dan terwujud. Saya ingin seperti Ibu Purbo.  

*****
Writing Competition BTPN-Femina.

Komentar:  Kebaikan kecil juga bisa memotivasi orang lain dan membuatnya menggapai mimpi.


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?