Ketika saya mulai belajar main drum umur 18 tahun, alat musik ini bukanlah alat musik yang populer untuk wanita. Entah kenapa, drum sangat identik dengan maskulinitas. Sepertinya, alat musik itu hanya boleh dimainkan oleh kaum adam. Padahal, menurut saya, alat musik tidak bisa dikotak-kotakkan secara gender. Misalnya, biola yang terkesan sebagai alat musik yang feminin. Tapi, banyak juga pemain biola pria. Sama seperti profesi lainnya, chef contohnya. Urusan dapur dan masak-memasak kan juga identik dengan wanita, tapi banyak sekali chef pria di dunia ini.
Mungkin menggebuk drum dianggap sebagai dunianya pria karena memainkannya membutuhkan energi tinggi. Memang, drum tidak bisa dimainkan dengan penuh kelembutan, seperti piano atau biola. Agar gebukan drum bisa menghasilkan bunyi yang ‘mantap’, dibutuhkan power yang cukup besar, dan pria dinilai memiliki power yang lebih besar dari wanita.
Setiap kali bermain drum, saya selalu tampil secantik mungkin. Saya ingin menunjukkan bahwa drum bukan hanya milik pria. Tapi, mainnya tetap nggak boleh kebawa feminin, dong. Tak banyak yang mengenal saya sebagai pemain drum. Padahal, saya sangat eksis di dunia ini, terutama untuk genre musik jazz karena saya sering bermain di event jazz di Indonesia, seperti Java Jazz, Jak Jazz, dan Ambon Jazz Festival. Saya main film awalnya juga karena ‘dipaksa’ Djenar (Djenar Maesa Ayu, red.) main di Mereka Bilang, Saya Monyet (2007). Sejak saat itu, publik baru mengenal nama saya, sebagai aktris pula, bukan sebagai drummer.
Meski saya bermain drum, profesi utama saya di musik adalah sebagai movie scoring director. Karena, dulu saya kuliah di jurusan film scoring di Institut Musik Daya Indonesia (IMDI). Jadi, meski sekarang saya menjalani peran sebagai aktris, musik tetap menjadi dunia yang tidak akan pernah saya tinggalkan."
Eka Januwati