Tanggal 26 Desember 2004, gempa tektonik skala besar mengguncang perairan di ujung barat laut Sumatra, menimbulkan gelombang tsunami dahsyat, Bantuan kemanusiaan mengalir, bahkan dari berbagai penjuru dunia. Tetapi, bantuan udara menumpuk di Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh. Puing-puing kerusakan menghambat arus bantuan. Banyak kawasan terisolasi. Jangankan membawa kotak obat ataupun makanan, bahkan para relawan SAR pun sulit menembus lokasi.
Salah satu kawasan yang hancur lebur adalah Meulaboh. Kota itu terputus dari dunia luar, puluhan ribu warga yang selamat amat membutuhkan bantuan air minum dan makanan. Tak ada pesawat yang berani mendarat di landasan yang rusak parah. Ada memang pesawat fix-wing internasional yang nekat terbang rendah, untuk menjatuhkan bantuan pangan. Tetapi, bantuan sering jatuh ke tempat yang tak mudah dijangkau tangan masyarakat yang haus dan lapar, bahkan mubazir karena rusak saat dijatuhkan.
Saat itu, cuma sekitar 2 hari setelah tsunami, terbetik berita: ”Mbak Susi dari Pangandaran berhasil mendarat di Meulaboh,” lapor seorang relawan lewat komunikasi radio dari sebuah posko bencana.
Belakangan kita tahu, yang dimaksud adalah Susi Pudjiastuti yang dengan suaminya berhasil mendaratkan Cessna-nya, membawa bantuan obat-obatan dan pangan seharga ratusan juta rupiah. “Sumbangan yang dititipkan dari banyak teman pada saya,” ungkap Susi. Sejak itu namanya nyaris identik dengan kiriman bantuan ‘pertama’ di berbagai daerah yang terkena gempa. Ini dimungkinkan karena Susi memiliki Cessna, pesawat ringan yang lantas menjadi inspirasi pihak lain untuk juga menggunakannya sebagai kargo udara ke daerah bencana.
Ada cerita lucu yang selalu dikenang Susi. Suatu siang di Bandara Iskandar Muda, Susi sedang istirahat sejenak setelah balik dari mengirim bantuan ke sebuah tempat di Nanggroe Aceh Darussalam itu. Ketika itu, ia melihat seorang pria relawan dari Eropa wara-wiri di apron bandara, celingukan memandangi runway, seraya berkali-kali berucap, “Susi…! Susi, where are you…?”
Merasa namanya disebut-sebut, Susi datang menghampiri si pria sambil bilang, “Anda mencari Susi? Saya ini, Susi…!” katanya. Tetapi, si pria geleng-geleng kepala seraya berucap, “Maaf, bukan. Bukan kamu. Saya mencari Susi… Susi Air. Di mana perwakilan kantornya di sini?” Susi ngikik. “Tidak ada Susi Air, Sir…! Apalagi kantornya...! Yang ada cuma Susi, ya, saya ini…!” Si pria terperangah, terlebih saat menyebut bahwa dirinya punya sebuah Cessna. Si pria balik tertawa. “Oke, oke…! Kamu, Susi… punya Cessna? Good…! Bisa bantu nge-drop logistik kami, bantuan ke…?”“Boleh saja, nanti… setelah pesawat saya itu balik lagi ke bandara ini. Tetapi, Anda harus ganti minyaknya, ya….” “Ya, ya… tentu…! Kami bayar, kami sewa!”
Susi tak mengungkap lebih jauh, siapa pria itu dan berapa banyak uang sewa yang ia terima saat itu. Yang pasti, inilah asal-mulanya ia menjadikan pesawatnya sebagai pesawat sewaan. Dari satu orang, berita meretas ke mana-mana. Secara getok-tular pesawat Cessna-nya pun kerap disewa pihak-pihak internasional yang membantu pemulihan NAD pascatsunami.
Istilah Susi Air pun lahir dari para penyewa awal itu. “Tadinya, sih, ingin diberi nama brand yang keren, nama-nama burung yang gagah, gitu…! Tetapi, karena orang-orang itu selalu mencarinya Susi, Susi…Air… ya, sudah, saya kasih saja nama Susi Air,” kenang Susi, tertawa lepas. (f)
HERYUS SAPUTRO
FOTO: DOK FEMINAGROUP