Celebrity
Setia di Jalur Musik

2 Jul 2014

Takjub rasanya melihat penampilan Ita Purnamasari, lady rocker tahun ‘80-an ini. Waktu seolah berhenti menggerus usianya. Pada usia yang hampir menginjak 47, selain suaranya yang merdu, nyaris tak ada yang berubah dari penampilannya saat populer dulu. Poni yang menutup dahi, tahi lalat di bawah mata kiri, lengkap dengan kalung choker, setia menemani penampilannya. Bahkan, berat badannya pun sama.
   
“Dengan tinggi 158 cm, berat badan saya selalu di kisaran 45, 46, dan 47 kg. Saat hamil sempat naik 8 kg. Tapi, begitu melahirkan, langsung turun,” katanya, dengan logat Jawa Timur yang tetap kental.
Hanya sedikit yang berubah dari dirinya. Jika dulu tampil boyish dengan topi baret, kini ia lebih feminin dengan memakai bandana atau bando. “Tak tahu kenapa, kepala saya rasanya nyaman kalau mengenakan sesuatu di atasnya, entah topi atau bandana,” ujarnya, tertawa.

Kerutan di wajah yang menjadi musuh para wanita yang sering kali tak bisa dilawan pun, hampir tak ada. Tak heran jika ia sempat dikira kakak dari putra semata wayangnya, Muhammad Fernanda Dharmawan (17). “Anak-anak seusia putra saya mana kenal saya. Suatu hari saya ke sekolah Nanda, eh teman-temannya malah bilang, ‘Nanda, katanya kamu anak tunggal, kok, itu ada kakak kamu?’” cerita Ita, tertawa. Karenanya,  kalau sedang jalan di mal, Nanda tak mau jalan berdampingan, apalagi digandeng Ita. “Takut dikira pacarnya,” tambah Ita, yang masih senang mengenakan rok jeans mini ini.
 
Ita memang kini jarang tampil di layar kaca, tapi ternyata aktivitas Ita di dunia tarik suara sesungguhnya tetap tinggi. Paling tidak dua kali dalam sebulan ia tetap manggung, meski bukan di Jakarta, melainkan di daerah seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. “Kalau saya berani menembus daerah yang lebih pelosok, jadwal manggung ini jauh lebih banyak lagi. Tapi, saya ngeri kalau harus menempuh daerah yang memakai speedboat hingga pedalaman. Padahal, mereka berani membayar honor komersial cukup tinggi,” ujarnya.

Bersama suaminya, musikus Dwiki Dharmawan (48), Ita sering diundang menghadiri acara seni dan budaya. “Selain lagu-lagu daerah, lagu-lagu hit saya seperti Penari Ular, Cintaku Padamu, dan Selamat Tinggal Mimpi, selalu diminta untuk dinyanyikan,” katanya.
Sekarang, namanya memang tidak melejit seperti dulu. “Tiap popularitas itu ada periodenya masing-masing. Untungnya saya bukan tipe orang yang takut jika ketenaran itu hilang. Dari dulu saya menganggap saya ini biasa-biasa saja,“ ujar wanita yang termasuk tokoh yang mengangkat Kota Surabaya ini, merendah.

Sejak dulu Ita menyadari karier menyanyi tak selamanya bisa dijadikan sandaran hidup. Walau begitu, ia enggan melirik karier di luar musik. Dengan wajah cantik dan tubuh yang proporsional, sesungguhnya mudah bagi Ita untuk menambah titel karier dan pundi-pundi dengan menjadi aktris film atau sinetron. Tapi, Ita tak tertarik. ”Dulu saya pernah menjajal akting dalam film Selembut Wajah Anggun. Waduh, enggak kuat rek. Saya bukan tipe orang yang sanggup menunggu berjam-jam untuk take action. Kalau sinetron, saya tak kuat dengan jadwal ketat kejar tayang. Salut, deh, dengan pesinetron yang bisa pergi pagi-pagi buta dan pulang sampai menjelang pagi.”

Dengan Dwiki, ia lebih memilih berbisnis dalam bidang musik. Sejak pacaran, menurut Ita, ia dan Dwiki sudah bercita-cita mendirikan sekolah musik. Mimpi itu terwujud ketika mereka membeli Lembaga Pendidikan Musik (LPM) Farabi atau Farabi Music School,  tahun1997. Sekolah musik itu sudah dirintis gitaris Roelly Boediono dan kemudian oleh almarhum musikus jazz Jack Lesmana pada akhir tahun ‘70-an. Sekolah pun dibenahi dari nol. Semua mereka rombak. Dari interior, kurikulum, hingga pengajar. Kami menggandeng musikus yang juga akademisi.

“Alhamdulillah, dari 5 murid, sekarang sudah ribuan. Sekolah musik Farabi sudah berdiri di 9 wilayah dari 4 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Denpasar,” kata Ita, yang menjabat sebagai direktur artistik, bangga. Apalagi lulusan sekolah ini banyak yang   eksis di berbagai band ternama di Indonesia.

Mendirikan sekolah musik di Indonesia tidak mudah. Persaingan cukup tinggi. Apalagi, menurutnya, sang suami sangat idealis dalam mendirikan sekolah musik ini. Mencari keuntungan nomor sekian. Namun, berkat pergaulan di dunia musik, mereka bisa menggandeng musikus yang punya minat sebagai akademis. “Pertemanan Mas Dwiki dengan musikus asing membuat LPM Farabi sering dijadikan tempat workshop jika mereka ke Indonesia. Ini menjadi nilai lebih Farabi,” ungkap Ita.

LPM Farabi juga menggandeng Depdikbud menyediakan beasiswa untuk melanjutkan sekolah musik ke luar negeri, seperti ke Amsterdam School of Music, Rotterdam School of Music, dan Berklee School of Music. “Kami melakukan seleksi, rekomendasi dan pengaturan prosedurnya, sedangkan biayanya dari Depdikbud,” ujar Ita.
Kesibukan berbisnis tak membuat Ita --yang juga direktur artistik di Musikita Production--  absen menciptakan karya. Main piano dan menyanyi juga masih menemani kesehariannya. Paling tidak 20 menit dalam sehari ia berlatih. Penyanyi yang telah merilis lebih dari 20 album dan single sejak tahun 1987 ini memang rajin menulis  lagu sendiri.

“Menyanyi sudah menjadi bagian kehidupan saya. Rasanya susah untuk berpaling,” kata  peraih the Best Selling Pop Album BASF Awards 1991 dan 1993 ini. Pada Juni tahun ini, ia akan meluncurkan album religi yang salah satu syairnya ditulis oleh penyair Taufik Ismail.
Lantas ia pun beranjak ke grand piano yang menghias ruang tamunya. Lalu denting piano mengiringi vokalnya yang masih terdengar lantang dan jernih. (f)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?