Celebrity
Satu Dari Seribu

6 May 2014

Dalam sekejap ucapan Lupita Nyong’o (31) itu bergaung dan memantik api semangat di hati jutaan orang di seluruh dunia. Kalimat tersebut ia ucapkan di akhir pidatonya saat menerima Academy Awards untuk Best Supporting Actrees, 2 Maret lalu. Lewat aktingnya, aktris berkebangsaan Kenya dan Meksiko itu meneriakkan pesan yang tak sempat dibisikkan Patsey, budak kulit hitam di Louisiana, Amerika Serikat, pada abad ke-18, yang diperankannya dalam film 12 Years a Slave.

Sebelum film 12 Years a Slave memenangkan Oscar sebagai Best Picture, sebagian besar warga Amerika tak mengenal sosok Solomon Northup (yang diperankan Chiwetel Ejiofor). Pria Afrika-Amerika yang lahir di New York sebagai orang merdeka pada tahun 1808 itu diculik pada  tahun 1841. Ia dijual sebagai budak ke Washington D.C, lalu ke tangan pemilik perkebunan kapas di Louisiana, di mana perbudakan masih dilegalkan saat itu. Northup yang akhirnya dibebaskan pada tahun 1853 menuliskan biografinya dalam sebuah buku yang kemudian diangkat sutradara Steve McQueen ke layar lebar, 160 tahun kemudian.

Patsey adalah wanita sesama budak yang dikenal Northup di perkebunan kapas. Psikopat pemilik perkebunan, Edwin Epps (Michael Fassbender), dengan brutal terus- menerus menganiaya dan memperkosa gadis itu. “Saya sadar bahwa di balik kemenangan saya, ada orang yang saya bawakan kisahnya, yang benar-benar hidup dalam penderitaan. Saya ingin melambungkan penghormatan untuk semangat Patsey yang menuntun saya. Dan untuk Solomon, yang menceritakan kisah Patsey, dan cerita hidupnya sendiri,” ungkap Lupita dalam pidato kemenangannya.

Enam minggu sebelum syuting Lupita melakukan riset untuk mendalami perannya. Ia mengunjungi National Great Blacks, Museum Lilin di Baltimore dan tercengang menyadari begitu banyak hal yang belum ia ketahui. “Di sekolah, kami belajar banyak tentang Holocaust, tapi tidak tahu banyak tentang kisah-kisah seperti Northup,” ungkap warga Kenya pertama yang memenangkan Oscar ini.

“Hati saya remuk. Saya menangis saat menyelami kekerasan seksual yang bertubi-tubi dialami Patsey. Saya tersadar, kesedihan yang saya rasakan hanya sementara. Tapi, luka Patsey tak pernah sembuh. Di sisi lain, ia berusaha tidak merasakan apa pun dan bekerja seperti biasa,” lanjutnya.

Sang sutradara, Steve McQueen, mengungkap betapa sulitnya menemukan orang yang tepat untuk memerankan Patsey. Ia mengaku telah mengaudisi sekitar 1.000 orang. “Jadi, Lupita adalah satu dari seribu,” kata sutradara kulit hitam pertama yang filmnya memenangkan Best Picture di Academy Awards itu.

Setelah mengirim video rekaman aktingnya, Lupita diundang mengikuti audisi di Los Angeles dengan casting director Francine Maisler, yang meminta Lupita untuk berlutut dan meneriakinya, "Mulai dari sini! Kembali lagi! Mulai dari awal!" Di casting kedua, Lupita bertemu langsung dengan McQueen. “Saat melihat dia, seketika saya tahu dialah yang akan memerankan Patsey. Ia terlihat begitu rapuh. Sekaligus di saat yang sama jiwanya seperti menyimpan kekuatan tak terpatahkan,” ucap McQueen, yang kemudian menghubungi Lupita untuk memercayakan peran itu kepadanya.   

Chiwetel, rekan Nyong'o, berpendapat serupa. “Lupita benar-benar merefleksikan Patsey yang digambarkan Northup dalam bukunya. ‘Ia seperti dikelilingi desiran angin di tiap gerakannya. Selubung itu tak dapat dihancurkan oleh perbudakan, keletihan, ataupun siksaan,’” katanya. Adegan demi adegan mencekam yang harus mereka perankan membuat Lupita dan Fassbender, pemeran Epps, mengaku memiliki ritual sendiri sebelum dan sesudah memasuki arena syuting. “Kami saling menatap mata atau berpegangan tangan, tanda saling menguatkan dan menghargai,” kata Lupita.  (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?