Celebrity
Pernah Dipecat

9 Mar 2015


Sejak pertama kali diselenggarakan, pada tahun 1955, baru dua tahun belakangan muncul penghargaan untuk penata busana terbaik. Dua kali berturut-turut penghargaan piala Citra itu jatuh pada Retno Ratih Damayanti (42) untuk kreativitas dan kerja kerasnya dalam film Habibie & Ainun (2013) dan Soekarno (2014). Kepada femina, ia menuturkan susah payah perjalanan profesional yang harus dilaluinya untuk tiba di titik pencapaian ini.

Pernah Dipecat
Kebahagiaan dan rasa bangga jelas terpancar dari raut wajahnya. “Akhirnya penata busana diapresiasi dan dianggap sebagai bagian yang penting dalam film,” ujar wanita yang akrab dipanggil Eno ini.

Kepada femina, ia mengaku jadwal kerjanya selama tahun 2015 ini sudah terisi penuh! Seperti saat diwawancarai femina, ia tengah sibuk menggarap kostum para pemain Ayat-Ayat Adinda, sebuah film tentang Islam yang damai di era modern, arahan Hanung Bramantyo, di Yogyakarta.

Bukan sekali dua kali Eno bekerja sama dengan Hanung dalam sebuah produksi film. Kalau soal menerima pekerjaan, ia memang mengaku agak pilih-pilih. Dua penghargaan yang ia terima tak hanya menjadi berkah, tetapi juga beban baginya untuk lebih selektif, supaya kualitas kerjanya tidak menurun.

    “Hal yang pertama saya tanyakan adalah seperti apa cerita filmnya dan siapa sutradaranya. Saya tak ingin bekerja sekadar mencari uang, tapi juga mendapat pengetahuan dan kepuasan saat mengerjakannya,” jelas lulusan Sastra Prancis Universitas Gajah Mada ini.

    Bekerja sama dengan seorang sutradara yang sejalan dengan idealismenya untuk membuat tampilan yang sedekat mungkin dengan kenyataan adalah  harga mati untuk Eno. Itu salah satu alasan mengapa ia hampir tidak pernah terlibat dalam sebuah sinetron.

“Dulu… sekali pernah. Tapi, baru satu episode, saya sudah dipecat. Mungkin sutradaranya tidak tahan karena saya terlalu ngeyel,“ ceritanya, sambil tergelak. Dalam benaknya,  seseorang yang baru bangun tidur tidak akan terlihat rapi, seperti baru berdandan. Dan seorang pengemis, harusnya benar-benar terlihat kumal.

“Saya memang selalu berusaha menata kostum dan riasan yang realistis, semirip mungkin dengan kondisi aslinya,” tegasnya. Idealismenya ini tidak sejalan dengan sutradara sinetronnya kala itu yang ingin agar semua pemain terlihat cantik dan tampan.

    Keterlibatan Eno dalam urusan kostum dan tata rias film tak lepas dari kecintaannya pada dunia teater sejak masa SMA. Pernah bergabung dengan Teater Garasi di Yogyakarta semasa kuliah, Eno sudah tertarik memperkuat karakter lewat tata rias dan kostum yang tepat. Alhasil, ia pun dipercaya untuk menangani kostum Teater Garasi.

    Hasratnya yang besar dalam mendandani karakter lewat tata kostum ini mulai menemui jalannya sejak ia digandeng untuk menangani proyek-proyek FTV yang disutradarai oleh Hanung.  Keduanya memang telah saling mengenal sejak masih sama-sama aktif di dunia teater di Yogyakarta.

Debutnya di layar lebar dimulai saat ia diminta Garin Nugroho menangani film Opera Jawa. Sebuah pengalaman yang membuat Eno makin yakin dengan pilihan profesinya. Sifatnya yang detail dan senang belajar membuatnya sangat tertantang menangani film berlatar belakang sejarah.

“Adrenalin saya jadi lebih terpacu, karena saya harus melakukan riset sejarah untuk benar-benar memahami detailnya,” ungkap Eno.  Saat melakukan riset untuk film Sang Pencerah yang berlatar belakang tahun 1800-an di daerah Kauman, Yogyakarta, ia menemukan bahwa pada masa itu para ulama mengenakan sorban dari batik, bukan kain putih seperti saat ini.

Ketika mengerjakan film HOS Tjokroaminoto, ia juga menemukan bahwa di era akhir tahun 1800-an hingga 1920-an menjadi salah satu masa keemasan fashion Indonesia. Demikian juga saat mengerjakan film Soegiya, ia terkagum-kagum pada indahnya jubah yang dikenakan uskup pada tahun 1940-an. Entah apa yang akan ia temui saat nanti meriset film tentang Kartini dan Buya Hamka, dua proyek terbarunya yang sudah menanti.

Hal-hal semacam itu memberi keasyikan tersendiri bagi Eno, karena secara tak langsung ia mempelajari sejarah fashion Indonesia dan kaitannya dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Ia merasa kerja kerasnya berhasil ketika penonton bisa segera menangkap setting waktu dan membaca karakter tokoh dalam film sesegera setelah melihat kostum yang mereka pakai.

Namun, lucunya, hingga saat ini Eno mengaku masih menolak untuk terlibat dalam film bergenre horor. “Saya memang penakut,” katanya. “Saya pernah menangani film horor berjudul Lentera Merah. Itu juga karena ceritanya tidak biasa, tapi ada muatan politiknya. Sutradaranya pun Hanung. Tapi, cukup itu saja. Soalnya saya jadi suka ngeri sendiri selama syuting,” lanjutnya. (Nuri Fajriati)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?