Bagi warga Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Nurhayati (42) merupakan seseorang yang membawa perubahan. Ia adalah wanita kepala desa pertama yang dipilih secara langsung pada tahun 2007 di desa yang terdiri dari 581 kepala keluarga dengan jumlah penduduk hampir mencapai 2.000 jiwa itu.
Berbagai terobosan telah ia lakukan untuk meningkatkan taraf hidup warganya. Nurhayati mendorong tiap wanita agar aktif mengeluarkan pendapat. Ia membangun kepercayaan diri dengan menggelar rapat-rapat terpisah khusus wanita agar lebih berani bersuara. Ia mendapat penghargaan khusus dari Bupati Pangkep sebagai Pelopor Perempuan Pesisir pada tahun 2012 dan menjadi 1 dari 3 finalis Anugerah Saparinah Sadli 2014.
Mandirikan Wanita
Sebagai kepala desa, Nurhayati tak hanya duduk manis di kantor desa. Ia juga memiliki gaya blusukan dengan mendatangi tiap warganya minimal 2 kali tiap dusun per minggu. Mencari tahu keluhan-keluhan, mengajak berdiskusi, memberi solusi akan masalah yang dihadapi, serta menjadi penyemangat bagi warganya.
Selain gemar blusukan, untuk mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi, ia pun menggagas program pengembangan potensi desa. Pada tahun 2011, ia membentuk kelompok Pita Aksi (Pitusunggu Beraksi). Kelompok kerja ini bertugas untuk meningkatkan taraf hidup anggotanya yang terdiri dari para ibu rumah tangga di desa yang terdiri dari 3 dusun.
Mereka mengolah makanan berbahan dasar ikan dan rumput laut. “Pita Aksi telah memiliki empat unit usaha, yakni pengolahan abon ikan bandeng, ikan gabus, presto, dan sayuran organik,’ ungkapnya.
Mereka mengelola unit usaha tersebut secara bersama-sama dan hasilnya pun dibagi rata. Dari kelompok usaha ini, warganya dapat menikmati keuntungan yang cukup besar. Jika produksi tiap minggu 30 kilogram abon bandeng saja, tiap anggota dapat mengantongi Rp400.000 per bulan.
Pemasaran abon yang memiliki berbagai macam rasa itu tidak hanya sebatas di pasar-pasar Kabupaten Pangkep, tetapi sudah berhasil merambah pasar-pasar di Makassar dan Surabaya. “Sebelumnya, para ibu rumah tangga di desa ini tidak memiliki pendapatan yang mandiri. Mereka selalu menggantungkan hidup dari para suami mereka yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu,” katanya.
Awalnya cukup sulit bagi wanita berperawakan mungil ini untuk meyakinkan kaum wanita di desanya untuk mengolah ikan menjadi abon. Sebabnya, para ibu tersebut tidak yakin akan adanya pasar yang akan membeli produksi mereka.
Nurhayati pun melakukan strategi pemasaran yang cukup ampuh dengan mendekati dan mendatangkan para pejabat Kabupaten Pangkep untuk membeli abon. Dari sanalah para wanita di Pitusunggu mulai terpacu untuk mengolah ikan. Saat ini, kelompok yang awalnya hanya 12 orang, bertambah menjadi 97 orang dengan 6 kelompok terbagi dalam beberapa unit usaha, termasuk produk makanan dengan bahan dasar rumput laut, seperti dodol dan sirop.
Untuk abon ikan, mereka mampu memproduksi hingga 120 kilogram per bulan dengan nilai penjualan sekitar Rp12 juta. Dengan begitu, para ibu rumah tangga di desa itu sudah mampu menopang perekonomian keluarga sehingga tidak hanya bertumpu pada pendapatan suami mereka saja.
Baru-baru ini, jerih payahnya mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Pangkep yang kemudian mengucurkan modal kerja sebesar Rp100 juta. Bantuan ini dimanfaatkan untuk membangun tempat serta pengadaan alat-alat produksi. Wanita kelahiran Ujung Pandang, 4 Maret 1972, ini mempunyai impian besar: ia ingin menjadikan Pangkep sebagai sentra penghasil bandeng terbesar di Indonesia. “Semoga Pangkep, khususnya Desa Pitusunggu, dikenal seperti Semarang sebagai daerah penghasil bandeng terbaik,” ujarnya, berharap.
Walau berbagai terobosan telah ia ciptakan untuk meningkatkan perekonomian warganya, terkadang Nurhayati dirundung sedih kala sebagian warga justru terlalu menggantungkan harapan kepadanya. “Mungkin karena saya terlalu perhatian, sehingga mereka selalu mengharapkan bantuan dari saya. Padahal, tidak banyak yang bisa saya perbuat untuk mereka. Harusnya merekalah yang mengubah hidup mereka sendiri. Kehadiran saya hanya sebagai pemberi solusi,” katanya, sedih.
Di bidang pendidikan, Nurhayati juga ikut mengentaskan buta aksara di desanya dengan menjadi pengajar. Tiap sore ia mengajar muridnya yang berjumlah sekitar 60 orang secara bergantian. Usia mereka pun beragam, mulai dari 13-49 tahun yang sebagian besar adalah wanita. “Saya bahagia bila melihat warga saya senang,” katanya.
Aktif Sejak Remaja
Apa yang diraih Nurhayati saat ini adalah buah dari kerja yang ia lakukan sejak remaja. Kegemarannya adalah bergaul dengan para ibu di desa itu. Saat masih tercatat sebagai siswa di SMEA Negeri 13 Pangkep, ia aktif sebagai kader posyandu. Waktu itu ia ikut menemani dan membantu bidan desa yang ditugaskan di desanya yang berasal dari Flores bernama Damaris.
Walau berdarah Bugis, saat itu Nurhayati kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Bugis. Sebab, sejak usia kanak-kanak, ia tinggal di Jayapura dengan ibunya, Hajjah Ramlah, beserta kakak dan adiknya. Waktu itu, kedua orang tuanya bercerai dan si ibu memboyong anak-anaknya merantau ke bumi Papua. Nurhayati bersaudara pun tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, Haji Yaman, yang masih menetap di kampung halaman.
“Karena ibu bidan Damaris juga tidak bisa berbahasa Bugis, jadilah kami belajar bersama-sama,” kenangnya, sembari tertawa. Nurhayati kembali ke kampung halamannya di Pitusunggu tahun 1987 untuk menemani neneknya yang mulai menua.
Di matanya, sang ibu adalah sosok yang kuat. Dialah yang mencari biaya sekolah untuk Nurhayati dan dua saudaranya. Tiap hari, ibunya bangun sejak dini hari untuk membuat kue, lalu diantar ke toko-toko di Kota Jayapura.
Saat Nurhayati tiba di Pitusunggu, kondisi desa masih sangat terbelakang. Untuk ke sekolah saja harus melewati jalan berlumpur. Padahal, sebenarnya desa yang berada di sekitar pantai tersebut mempunyai potensi yang besar.
Semangat Nurhayati untuk memajukan desanya begitu besar. Ia mengajak para wanita untuk bangkit. Ada yang menanggapi sinis, ada juga yang menuduhnya terlalu bebas berbicara.
Selama menjadi kader posyandu, tantangan demi tantangan terus ia hadapi. Banyak bapak-bapak yang melarang istrinya ikut penyuluhan KB. Bahkan, ia dituduh sebagai pembawa penyakit bagi anak-anak.
Nurhayati tak mau menyerah. Dengan pendekatan dan komunikasi yang baik, makin lama makin banyak ibu rumah tangga yang mau ia ajak untuk menghadiri sosialisasi KB. Ia juga mengusulkan kepada para ibu untuk menciptakan usaha rumahan, seperti membuat kue kering dan aneka kegiatan lain yang bisa menambah penghasilan keluarga. “Wanita juga bertanggung jawab untuk memajukan desa, sama seperti pria,” katanya, tegas.
Setelah menamatkan sekolahnya di bangku SMEA pada tahun 1991, di tahun yang sama ia menikah dengan Mukhlisin (47), yang saat itu berprofesi sebagai petani tambak ikan. Walau sudah menikah dan tanpa gaji, keaktifannya sebagai kader posyandu tak pernah berhenti. Ia terus berbuat untuk desa, salah satunya ikut memperjuangkan pembangunan jalan.
Wujud nyata perjuangannya mulai dirasakan oleh warga Desa Pitusunggu pada tahun 2004 lalu. Jalan sepanjang sekitar 1 kilometer untuk menuju desa berhasil dibangun dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor.
Karena dianggap cukup berjasa untuk desanya, pada tahun 2007 para pemangku adat di desa tersebut mengusulkannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Tawaran itu langsung diterima. Ia pun bersaing dengan dua calon lainnya yang semuanya pria. “Saya mendapat dukungan 500 suara dari 800 wajib pemilih saat itu,” katanya, senang.
Sebagai kepala desa, ia merasa lebih mudah dalam menjalankan programnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Di tahun 2013, ia kembali mencalonkan diri sebagai kepala desa untuk periode ke-2. Dari 5 calon, ia pun kembali terpilih.
Merasa pendidikan penting, maka di tahun 2004 ia pun menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Pepabri Makassar. Dengan segala kemampuan yang ada, ia pun berhasil menyelesaikan kuliah selama 6 tahun, tepat pada tahun 2010 lalu, setelah berhenti selama 2 tahun karena kesibukannya sebagai kepala desa.
Hari-harinya memang penuh dengan kesibukan, namun tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga tidak ia abaikan. Beruntung, suaminya selalu mendukung aktivitasnya. Mukhlisin yang kini bekerja sebagai sekretaris desa di Desa Padang Lampe, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, juga rela berbagi peran dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. “Sebelum berangkat bekerja, saya selalu memasak, mencuci, dan mempersiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anak saya,” tuturnya.
Nurhayati dan Mukhlisin dikaruniai 3 anak: Muhammad Ali Akbar (22), Ade Irma (19), dan Khavita Nirwana (14). Ketiganya ia dorong untuk mengajar cita-cita melalui bangku sekolah. Anaknya yang pertama tercatat sebagai mahasiswa semester akhir di Jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar, anak kedua sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan YAPMA Makassar, dan si bungsu saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP. “Mereka adalah masa depan yang saya harapkan untuk memajukan Pitusunggu, meneruskan cita-cita saya kelak,” kata alumnus SMP Negeri 2 Polimak, Jayapura, ini.(DESIYUSMAN MENDROFA)