Celebrity
Mencari Companionship

13 Jul 2013


Pendewasaan seorang Raditya Dika tergambar jelas melalui  tiap karyanya. Melalui dua bukunya, Kambing Jantan (2005) dan Cinta Brontosaurus (2005), Dika menggambarkan ‘evolusinya’ dalam memandang cinta. Ada garis merah yang menghubungkan kedua karyanya yang telah dibuat versi layar lebarnya ini, yaitu tentang masalah perbedaan keyakinan dalam memandang cinta.

Kambing jantan mengulas tentang fase cinta remaja yang menggebu-gebu. Maklum, karya ini dibuat ketika ia masih duduk di bangku SMA. Tiap kali jatuh cinta, ia akan menumpahruahkan seluruh rasanya kepada sang pujaan hati. Fase jatuh cinta yang mendalam, ketika semuanya terasa indah, begitu Dika menerjemahkan cinta di masa itu.

Di Cinta Brontosaurus, cara Dika memahami cinta mulai terasah oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan. Kisah cinta yang berulang kali kandas membuat pria ini capek dan pesimistis saat ingin memulai hubungan baru.

 “Saking pesimistisnya, baru berkenalan saja saya sudah bisa membayangkan hubungan ini nanti putusnya akan seperti apa,” ungkap Dika, tertawa getir.

Namun, luka-luka itu telah membentuknya menjadi sosok yang memandang cinta dalam tataran yang lebih tinggi. Ia tidak lagi bicara tentang ‘jatuh cinta yang sejuta rasanya’, tapi lebih kepada keyakinan seseorang terhadap cinta itu. “Apakah selama ini idealisme kita tentang cinta itu benar begitu adanya atau tidak? Ini yang dipertanyakan di Cinta Brontosaurus,” ungkap Dika.

Mirip dengan film Annie Hall yang diperankan sekaligus disutradarai oleh Woody Allen, adegan Cinta Brontosaurus diawali dengan sebuah premis tentang cinta: cinta punya masa kedaluwarsa. “BBC dan televisi ilmu pengetahuan lainnya mengungkap bahwa secara ilmiah romantic love itu hanya bertahan satu tahun saja, setelah itu yang berlaku adalah companionship,” ujar Dika, yang pernah nekat melakukan perjalanan dari Australia ke Jakarta hanya untuk bisa bertemu kekasihnya, meski hanya semalam.

Dengan paradigma baru ini ia akan lebih dahulu mencari material companionship dalam diri calon pasangannya, sebelum sempat dibutakan oleh perasaan cinta. Sebab, ia sadar bahwa untuk menuju fase companionship ini ia harus dapat menerima ‘paket bawaan’, seperti berbagai kebiasaan pasangan, yang bisa membuat dirinya hilang rasa.
“Kebiasaan ngupil, misalnya,” ungkap Dika memberikan contoh ekstrem, lalu tertawa.

Dika mengaku bahwa gara-gara konsep baru ini pula perjalanannya menemukan cinta itu menjadi lebih repot dan kompleks. Makanya, ketika karakter utama dalam film Cinta Brontosaurus bisa menutup cerita dengan bahagia karena menemukan cinta, maka tidak demikian dalam kehidupan nyata Dika. “Sampai saat ini masa pencarian saya terhadap ‘cinta yang tidak kedaluwarsa’ belum berakhir,” akunya, mencoba mengulas senyum. (Naomi Jayalaksana)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?