Celebrity
Lian Gogali: Dongeng Panjang Perdamaian

6 May 2015

Rentang waktu konflik yang cukup panjang di Poso telah menanamkan kesan mengerikan pada daerah ini. Nama Poso seolah identik dengan bayangan masa lalu yang sarat konflik dari pemberitaan media-media arus utama. Namun, ada yang tertinggal. Di berbagai forum, baik nasional, maupun internasional, Lian menemukan adanya kekagetan publik saat mendengar kisah tentang bagaimana warga Poso berusaha begitu keras menyelesaikan konflik, membangun ulang komunikasi, kepercayaan, dan bekerja bersama-sama demi perdamaian.

Berawal dari tesisnya tentang politik ingatan, Lian meneruskan misi untuk mengingatkan bahwa kaum wanita melakukan hal yang sangat penting dan berdampak sangat masif dalam upaya membangun perdamaian di Poso. “Sekolah Perempuan ada tidak hanya untuk menggali bahwa Poso pernah punya sejarah yang terlupakan warga, tapi sejarah itu justru harus diingat sebagai akar perdamaian yang diusahakan dengan penuh risiko,” tegas Lian.

Hal ini penting mengingat dalam proses pembuatan kebijakan pascakonflik tidak menyentuh dua hal: tidak melibatkan wanita dan tidak menyentuh kepentingan kebutuhan sehari-hari orang yang berada di situasi konflik. Aktivitas Sekolah Perempuan berusaha membangun jaringan kuat antarwanita Poso agar mereka bisa saling menguatkan pascakonflik.

Akar-akar perdamaian muncul dari kisah-kisah pilu warga. Ibu Sarmini seorang Kristen, dengan berani menumpang truk malam tanpa hirau akan bahaya demi mengabarkan akan  ada penyerangan kepada kerabatnya di desa lain. “Tanpa peringatan ini, bisa jadi warga desa itu akan tewas,” tegas Lian. Kali lain, Ibu Gianti, seorang muslim memberikan jilbab kepada saudaranya yang Kristen, dan memasukkan mereka ke masjid saat sedang dikejar oleh kelompok Islam. “Ini adalah saudara kami,” katanya pada kelompok Islam.
   
Di era konflik, wanita juga berada di lini depan. Mereka tidak hanya mempertahankan perdamaian, tapi juga menjaga kehidupan dengan melakukan aktivitas ekonomi, seperti menjadi buruh cuci atau buruh tanam saat kaum pria sibuk berperang. Sayangnya, pascakonflik wanita dikembalikan ke ranah domestik dan kehilangan suara mereka di tanah Poso. Pengambilan kebijakan pembangunan kembali ke tangan pria. Karena itu, Sekolah Perempuan juga menjadi tempat berbagi informasi dasar tentang kesetaraan dan memperjuangkan keadilan, termasuk menuntut anggaran untuk fasilitas yang peka gender, seperti fasilitas kesehatan. “Saya bisa memuji ibu-ibu Sekolah Perempuan, mereka lebih paham bedanya seks dan gender dibandingkan dengan anggota dewan!” Lian tergelak.

Para ibu juga dilatih tentang keterampilan berbicara dan bernalar agar mereka bisa mengemukakan pendapat di dalam forum dan harus berhadapan dengan pembuat kebijakan. “Ternyata para ibu ini sangat kreatif, hanya selama ini tidak diberi ruang untuk bicara,” kisah Lian. Kemampuan bernegosiasi itu juga ternyata dimanfaatkan oleh para ibu saat berada di ranah domestik sebagai istri.

Dengan rendah hati, Lian menyebut dirinya aktivis pendatang baru. Ia mengembangkan Sekolah Perempuan berdasarkan pertanyaan sederhana dari para ibu, seperti rencana-rencana yang ingin dilakukan untuk desa mereka. Keyakinan yang kuat sejak awal membuatnya berhasil melewati banyak tantangan.

Semangat para ibu menjadi sumur energi yang tak ada habisnya bagi Lian yang merasa berutang dari kisah-kisah mereka yang ia tampilkan sebagai bahan tesisnya, dan telah membukakan banyak kesempatan untuk dirinya. Sekolah Perempuan menjadi bagian dari perjalanan spiritual Lian. “Di Sekolah Perempuan, bertanya lebih penting daripada menjawab. Kami selalu menemukan hal yang baru,” kata Lian, bijak.

Sekolah Perempuan yang dibangun sejak 2010 kini telah memasuki angkatan ketiga. Tiap angkatan memiliki fokus berbeda yang mengikuti perkembangan isu terkini di Poso. Di angkatan ketiga ini, Sekolah Perempuan menyoroti isu keterlibatan wanita dalam pengambilan keputusan, terlibat dalam pembangunan, dan mengawasi pembangunan desa. Ia berusaha membuka mata dan pikiran para ibu  bahwa dunia tidak hanya Poso. Bahkan, bukan seperti Poso yang mereka bicarakan. “Saya berani bilang, jika kini saya berteriak ‘Perempuan Poso!’ di depan kelas yang sedang sibuk sekalipun, mereka akan spontan menjawab, ‘Maju, berjuang, bergerak!’" ujarnya dengan berapi-api.
   
Mengelola 16 kelas di 32 desa di Poso membuat jadwal Lian sangat padat. Dalam satu bulan, ia berkeliling desa-desa tersebut tanpa henti selama sepekan. Ia berusaha sebisa mungkin menyisakan hari untuk bersama putri semata wayangnya, Sophia (7). Nama sang putri juga ia abadikan dalam proyek perpustakaan warga di Poso, Project Sophia.
Memilih jalan hidup sebagai ibu tunggal di lingkungan yang sangat patriarkat dan feodal menjadi tantangan tersendiri bagi Lian. “Modal saya adalah kepercayaan dari para ibu yang mau terus belajar tanpa mempermasalahkan status pribadi saya.”

Sophia yang akrab dipanggil Opi, tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berkembang bersama aktivitasnya di Sekolah Perempuan. Kadang-kadang, Lian mendapati Sophia begitu cepat menyerap banyak hal di sekitarnya, termasuk bisa membaca dan berhitung tanpa ia ajari. “Sebagai ibu, saya tidak tahu harus bahagia atau sedih karena dia dewasa sebelum waktunya. Saya merasa kehilangan momen untuk mengajari dia,” ujarnya lirih.
Secara tidak langsung, Sophia juga ikut melayani masyarakat seperti ibunya. Dalam pendampingan korban kasus pemerkosaan anak (4-12 tahun), Sophia selalu jadi kunci dan berperan sebagai pendamping pertama. “Di Rumah Aman, Sophia akan mengajak si anak mengobrol dan bermain. Baru setelah itu, kami bisa mengajak korban bicara,” kisah Lian.

Ancaman atau teror dari pihak luar sudah bukan tantangan lagi bagi Lian. Sekarang, tantangannya cuma satu: fisik. “Saya tidak boleh terlalu lelah, karena kaki saya tidak kuat,” kata Lian seraya menunjukkan parut-parut luka dari kecelakaan yang ia alami pada tahun 2009 di awal membangun Sekolah Perempuan.

Lian mengaku tak lagi memiliki banyak keinginan pribadi. “Saya hanya sangat ingin punya banyak waktu menuliskan perjalanan saya bersama Sekolah Perempuan.” Selain itu, sebagai ibu, Lian juga ingin memberikan akses pendidikan yang cukup baik untuk Sophia.  “Di Poso, akses pendidikan masih sangat terbatas dan sangat patriarkat.”  Meski demikian, Lian tak memungkiri, desa telah menjadi laboratorium hidup terlengkap bagi dirinya. “Teori sangat penting lahir dari bacaan kita terhadap masyarakat. Bukan dari teori yang kita terapkan di masyarakat,” tandasnya.

Rahma Wulandari








 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?