Celebrity
Lian Gogali: Desa, Laboratorium Hidup Saya

6 May 2015

Poso memang sangat berwarna, dengan warga lokal yang menganut Protestan dan Katolik, serta komunitas imigran muslim. Laporan Human Rights Watch (2002) mencatat, akar konflik antaragama di Poso dipicu oleh insiden penikaman warga pada Desember 1998, dan apinya terus membesar hingga tahun 2001. Meski ikrar perdamaian warga tertuang di Deklarasi Malino pada tahun 2001,   konflik masih terus muncul dan menanamkan kesan ngeri pada nama Poso.

Lahir sebagai warga asli Poso, Lian Gogali (34)  berusaha mengubah citra tersebut dengan mengembalikan ingatan masyarakat tentang sejarah mereka. Lewat pendidikan peka gender, pemberdayaan ekonomi melalui bank sampah, hingga mendorong wanita untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan, ia percaya dapat memulihkan Poso.

Awal Maret lalu, ia baru saja menerima penghargaan sebagai salah satu Indonesian Women of Change dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Ini menambah deretan penghargaan yang diterimanya atas sepak terjangnya bersama Institut Mosintuwu dan Sekolah Perempuan, sebuah pusat belajar warga yang ia dirikan pada tahun 2010 di Poso, Sulawesi Tengah.

Layar televisi di ruang tunggu menayangkan berita tentang Poso yang disinyalir menjadi target sarang baru dari kelompok-kelompok militan. Wajah Lian sontak berubah serius saat menanggapi pertanyaan seputar hal tersebut. Menurut Lian, isu keamanan di Poso menjadi salah satu fokus kritik Sekolah Perempuan kepada aparat keamanan. Ia melihat, justru ada dua lembaga aparat yang sedang berkompetisi untuk mendapatkan hak untuk memberi jaminan keamanan kepada masyarakat Poso. “Konflik komunitas Poso yang sebenarnya sudah berakhir pada tahun 2005. Setelah itu, bisa dibilang konflik berlanjut karena ada kepentingan lain di dalamnya,” tegas Lian.

Belum lama ini, ia bersama anggota Sekolah Perempuan mengadakan Aksi Seribu Lilin untuk merespons kasus mutilasi, penembakan, dan hilangnya warga yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menamakan diri kelompok militan atau ISIS. Di balik aksi ini, mereka menemukan fakta mengejutkan, para saksi mengatakan pelakunya adalah remaja laki-laki (15-18 tahun). Sekolah Perempuan merespons hal ini dengan menginisiasi gerakan #ComingBackHomeMySon untuk para ibu agar mengajak putra mereka untuk tidak bergabung ke kelompok militan, dan menanamkan kesadaran bahwa mereka bisa menyusun masa depan yang lebih baik.

Tidak heran jika kaum muda menjadi target perekrutan kelompok militan. Jika ditelusuri, dendam berlapis dalam diri warga yang muncul pascakonflik Poso bukan hanya hanya berasal konflik agama, tapi juga terhadap aparat keamanan karena operasi-operasi militeristik dilakukan di depan anak-anak. “Orang tua mereka diseret, dipukul, lalu belakangan baru tahu kalau itu salah tangkap. Bagaimana mereka tidak trauma dan marah?” papar Lian.

Di sisi lain, operasi militer semacam ini tidak memberikan rasa aman, justru masyarakat merasa lebih diteror. Konflik juga menyulitkan situasi perekonomian.“Dalam situasi konflik, semua pihak bermain karena punya kepentingan. Film dokumenter karya sahabat saya, Sue Useem, Which Way to The War? tentang konflik Poso cukup gamblang menampilkan hal tersebut.”

Rahma Wulandari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?