Celebrity
Happy Salma: Tak Bisa Berpaling

23 Jan 2014


Sepertinya hampir semua ranah seni telah dijajaki oleh Happy Salma (33). Berawal dari dunia modeling, ke tarik suara, sinetron, film, teater, dan sastra. Bukan jurus aji mumpum! Wanita kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, ini hanya memilih apa yang lekat di hatinya.

Meminjam istilah perbankan, semua itu adalah “bunga” dari “modal” tabungan cintanya pada dunia seni. Termasuk, bisnis gemerlap dan panggung besar garapannya yang telah menanti di awal tahun 2014. Wanita yang menjadi warga Puri Ubud, Bali, setelah menikah dengan Tjokorda Bagus Dwi Santana Kertayasa, ini bercerita banyak kepada femina.  

Ketika sengat cinta sudah mengalir dalam darah, maka tak ada penawar yang bisa melepaskan seseorang dari jeratnya. Kekuatan cinta membuat setiap orang tak bisa berpaling, dan mendorong diri untuk terus belajar menjadi yang terbaik. Kedalaman cinta seperti ini pula yang dirasakan oleh Happy Salma. Tak hanya di sisi kehidupan pribadinya sebagai seorang wanita, tapi juga profesionalitasnya sebagai pelaku seni.
  
 “Saya tak bisa membayangkan hidup tidak dari dunia seni,” ujar Happy dengan kesungguhan hati. Meski jejak yang dibuatnya di peta seni hiburan tanah air sudah cukup panjang, tapi ia merasa bahwa eksplorasinya terhadap dunia yang satu ini belum final. “Berkesenian itu sangat luas. Sampai mati pun, rasanya saya belum akan tuntas belajar,” lanjut Happy.
   
Kariernya di dunia seni hiburan tanah air bermula saat ia masuk sebagai finalis Gadis Sampul 1995. Dan sedikit yang tahu bahwa ia juga pernah menjajal di dunia tarik suara. Bahkan, membuahkan satu album Tapi Kini yang diproduksi bersama almarhum musisi Franky Sahilatua. “Tetapi, rupanya saya kurang berbakat di dunia tarik suara,” ungkap Happy, berbesar hati.
   
Namanya mulai diperhitungkan orang sejak ia membintangi sinetron Kupu-Kupu Ungu (1998). Mengikuti kemudian berbagai judul sinetron dan FTV, sebelum ia beranjak ke layar lebar dan teater. Di dunia ini lah Happy seolah menemukan “panggung” yang mengapresiasi kecintaannya pada dunia seni.

Lepas dari perannya sebagai Nyai Oentosoroh (dari novel trilogi Pramoedya Ananta Toer) yang menuai pujian, ia kembali dipercaya sebagai pemeran utama di pementasan Ronggeng Dukuh Paruk. Saking totalnya, Happy sampai datang ke tanah asal kesenian ronggeng di Banyu Biru Plana, Banyumas. Monolog yang diambil dari novel berjudul sama karya Ahmad Tohari ini bahkan manggung sampai ke Bern-Swiss, dan Belanda.

Di layar lebar, totalitasnya juga terbayar. Perannya sebagai Yanti, wanita penghibur, di film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (2010) membuahkan penghargaan piala citra sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia 2011. Begitu juga dengan perannya sebagai ibu tunggal di film Air Mata Terakhir Bunda (2012), menang sebagai Audience Choice Award for Best Feature di Festival Film Balinale 2013.

Sekarang, wanita yang sudah cukup lama menjajal berkreasi di balik layar sebagai sutradara dan produser film ini tengah sibuk mempersiapkan “kelahiran buah hatinya” – yaitu sebuah pertunjukan akbar yang mengawinkan seni wayang orang dengan konser musik rock. Dengan tata panggung yang menggabungkan antara panggung tradisional dan teknologi hologram serta multimedia.
“Ini adalah pementasan terbesar pertama yang saya produseri. Saya mengumpulkan rocker di Indonesia di satu panggung untuk bermain wayang orang,” ujar Happy, tentang pertunjukan yang akan digelar di lapangan Tennis Indoor Senayan 15 Maret nanti. Drama musikal yang dibintangi oleh Sophia Latjuba, Jopie Item, Stevy Andra & The Backbone, Otong Koil ini akan melibatkan grup dan musisi rock, di antaranya rif/, Netral, The S.I.G.I.T, dan Leonardo Ringo.    
Lewat pertunjukan ini, ia ingin membawa warisan budaya Indonesia lebih dekat kepada generasi muda. Makanya, selain musik rock yang lekat dengan ekspresi kebebasan, dialog-dialog dalam pertunjukan ini nanti pun dibuat “gaul”, dengan gaya “ber-gue” dan “elo”.

 “Saya ingin berbuat sesuatu bagi bangsa ini. Tapi, saya bukan anggota dewan, yang suaranya bisa berdampak besar bagi negara ini,” ungkapnya. Setidaknya, melalui setiap proyek seninya, ia bisa menularkan semangat nasionalismenya ini ke banyak orang. Seperti ketika ia menyutradarai film Kamis Ke 300, yang dilatari peristiwa tragedi kemanusiaan Mei 1998. Film “gotong royong” yang akan diputar di kampus-kampus pada 18 Januari 2014 ini dibuat sebagai penghargaan bagi para pejuang kemanusiaan.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?