Celebrity
Happy Salma: Belajar dari Inggit

29 Jan 2014

Baru-baru ini, Happy Salma (33) kembali tampil memukai melalui karakter Inggit Garnasih, mantan istri Presiden Soekarno, yang dibawakannya secara monolog. Pementasan monolog yang didedikasikan untuk merayakan hari ibu itu mengangkat sisi lain dari wanita yang hidup dengan pemikiran-pemikiran progresif, tapi membumikan kakinya pada tradisi timur yang juga kuat.
   
“Selama ini orang memaknai ibu sebagai wanita yang melahirkan anak biologis. Ibu Inggit tidak bisa melahirkan secara biologis. Tetapi, mungkin hanya dialah satu-satunya wanita dari ranah domestik di masanya yang punya peran kuat menghantarkan Soekarno menjadi seorang negarawan besar. Mungkin negara tidak mengakuinya sebagai pahlawan, tapi bagi saya dia adalah pahlawan Indonesia,” ungkap Happy.
   
Selama 20 tahun mendampingi Soekarno, Inggit belajar bahwa “mencintai adalah melayani.” “Sebagai istri, saya tidak yakin bisa melayani sebesar itu. Terlebih, karena kecenderungan sifat manusia yang selalu ingin dilayani. Tetapi ia mengajarkan saya tentang kesetiaan, dedikasi, komitmen, dan menjadi manusia yang manusiawi,” ungkap Happy yang telah tiga tahun membina biduk rumah tangga bersama Tjokorda Bagus Dwi Santana Kertayasa, pria pengusaha dari garis keturunan darah biru Ubud, Bali.
   
Bagi banyak wanita, menikah dengan pangeran tampan dan diangkat menjadi seorang putrid adalah jelmaan khayalan gadis-gadis di masa kecil. Dalam kenyataannya, menjadi bagian dari keluarga keturunan raja, membuat Happy melihat banyak sisi lain yang tidak terekspos dalam dongeng. “Saya mengapresiasi bahwa menjadi kalangan ningrat itu tidak mudah. Ada tanggung jawab besar sebagai pengayom masyarakat yang jumlahnya begitu luas,” ungkap Happy.
   
Begitupun dalam hal keteguhan menjaga dan menjalankan akar tradisi. Seperti yang dilihat Happy dalam diri suaminya. Meski lahir besar di negara orang, tapi sebagai keturunan raja, ia harus bisa menguasai bahasa dan adat istiadat Bali. Bahkan, harus jauh lebih baik dari rakyat Bali kebanyakan. Begitupun Happy, sejak menjadi warga Puri Ubud, ia juga harus beradaptasi dengan budaya yang ada.
   
Dari yang tadinya dikenal suka mengenakan kain kebaya dalam pementasan teaternya, kini berkain nyaris menjadi bagian dari kesehariannya. “Kalau di dalam Puri, saya harus selalu memakai kain. Rambut tidak boleh diurai. Memakai kainnya juga tidak boleh salah, karena terkait dengan filosofi. Misalnya, ujung kain terakhir harus ada di sebelah kiri, dan tidak boleh mengenakan kain warna menyala seperti merah atau hijau saat menghadiri peringatan Kuningan,” ungkapnya memberi contoh.
   
Kini, masa adaptasi itu berangsur telah terlampaui. Ia bahkan mengaku sangat menikmatinya. Di tengah kesibukannya, yang mengharuskan Happy bolak-balik melakukan perjalanan Bali-Jakarta, ia masih menyempatkan waktu mendampingi suami di berbagai acara adat, dan juga termasuk liburan berdua! “Suami suka liburan yang berbau petualangan, seperti surfing atau berburu di hutan, dan berpanas-panasan. Saya suka membaca buku sambil berteduh di bawah pohon,” ujarnya, terbahak.
   
Segala perbedaan ini tidak menjadi ancaman bagi keduanya. Sebaliknya, mereka punya sisi kuat yang bisa saling melengkapi. “Dia adalah kritikus saya yang paling jujur. Masukan-masukannya bersifat logis dan tidak sok tahu. Bahkan, dia pernah tertidur di tengah pertunjukan saya. Waktu ditanya, dengan polos ia menjawab,’Nggak tahu ya, nggak seru banget.’ Dan memang benar, nggak seru!” ungkap Happy menertawai diri.

Mereka tidak merasa perlu memamerkan kemesraan untuk membuktikan kepada publik tentang kekuatan komitmen cinta mereka. “Dia sudah sangat secure dengan hidupnya, begitupun saya. Ia memberi saya keleluasaan mengekspresikan dan mengembangkan diri. Dia respek terhadap tubuh saya, diri saya, dan pemikiran saya. Ini yang terpenting,” ujar Happy, memuji sang suami.

Tentang masih absennya buah hati di pernikahan mereka yang telah menginjak tahun ke-3, Happy berujar, “Punya anak adalah kebahagiaan yang tidak terkira. Tapi mungkin belum saatnya sekarang. Kalaupun tidak diberi ‘titipan’, hidup ini kan punya banyak tujuan mulia lain. Kami sedang menanti kejutan-kejutan dari ‘Atas’,” ujarnya tersenyum arif.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?