Celebrity
Dari Bedcover hingga Kodok Ijo

27 Oct 2014

Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Sejak kecil, Susi Pudjiastuti sudah menyukai ungkapan itu. Belakangan Susi tahu, kata-kata itu adalah salah satu ucapan Bung Karno di buku Sarinah.  Kata-kata mutiara itu yang mendekam di hati, ibarat sihir kehidupan bagi Susi.

“Ada cita-cita saya lainnya ketika kecil, yakni ingin jadi seorang ahli oceanologi, ahli bidang ilmu kelautan!” ungkapnya, serius. Cita-cita yang di mata sang ibu dianggap terlalu muluk. Bu Suwuh, begitu warga Pangandaran biasa menyapa ibunya, memang tak tinggi-tinggi dalam memprediksi masa depan putri sulungnya itu. “Dulu saya membayangkan paling banter ia juga akan bernasib baik seperti saya. Jadi seorang istri, ibu rumah tangga, hidup ayem di rumah sambil ngurus keluarga dan kebun…,” kata Bu Suwuh, yang ditanggapi Susi dengan mengangguk-anggukkan kepala.

Susi sendiri bisa jadi cuma menganggap cita-citanya saat kecil itu sebagai gumaman seorang anak pada umumnya. Buktinya, saat remaja, ia mesti balik kampung –meninggalkan Yogyakarta-- dengan kepala benjol.  Apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis remaja yang cuma drop out SMA?  Leyeh-leyeh di rumah menikmati segala fasilitas orang tua? “Itu bukan watak saya!” kata Susi, tegas. Pergi ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik, seperti banyak dilakukan teman-temannya? Susi bilang, “Emoh (tidak mau) aku….”

Susi ingat,  masa-masa di SMP di kampungnya, ataupun semasa SMA di Yogyakarta, dia suka dagang kecil-kecilan antarteman. Kadang-kadang ia membeli baju atau T-shirt, diutak-atik sedikit dan dijual kepada teman dengan sedikit untung. Jadi pedagang, inilah ‘peluang kerja’ yang disasar Susi untuk jalan ke hari depan.  Ia tak perlu lama berpikir! Ia melihat, kampungnya, khususnya di pesisir pantai, kian berkembang sebagai daerah tujuan wisata. Hotel-hotel tumbuh menjamur. “Saya ambil bed cover dan sarung bantal dari kenalan di Yogyakarta, dan menawarkannya ke hotel-hotel yang ada. Lumayan susah meyakinkan pemilik hotel untuk membeli dagangan saya,” ungkap Susi, tentang masa-masa remajanya yang penuh kerja keras itu.

Sebetulnya, Susi tak harus susah. Kalaupun ia tak bekerja, ia masih bisa makan enak di rumah orang tuanya. “Tetapi,  tak bisa kan kita terus-menerus menyusu dengan orang tua? Hewan saja mengajarkan pada kita, bahwa setelah dewasa ia tak lagi menyusu, dan mencari makannya sendiri. Apalagi kita, manusia, yang diberi akal,” kata Susi. Itu sebabnya, ia punya tekad, mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya, berbuat sesuatu, bekerja cari nafkah, untuk kebaikan dirinya di masa depan.

Belakangan, usaha dagang keliling menjual bed cover ia tinggalkan. Ia tersadar potensi besar dunia maritim yang membentang di sekitarnya. Pangandaran adalah tempat pendaratan ikan yang amat potensial di pesisir selatan Pulau Jawa. Tiap hari ratusan nelayan mendaratkan perahu-perahu jungnya di pantai itu, dengan hasil tangkapan yang melimpah. “Tak jadi ahli oceanologi tak apalah…,” ucap Susi, yang lantas alih profesi menjadi bakul ikan.

Bakul ikan adalah pengepul hasil laut tangkapan nelayan, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Tahun 1983, berbekal Rp750.000 hasil menjual gelang keroncong, kalung, serta cincin miliknya, Susi mulai mengikuti jejak banyak wanita Pangandaran sebagai bakul  ikan. Tiap pagi di jam-jam tertentu, Susi nimbrung bareng yang lain, berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan) yang ada, menjadi peserta lelang. Ia cuma perlu menaksir cepat berapa harga jual ikan-ikan di keranjang yang sedang ditawarkan juru lelang,  memperkirakan kepada siapa ikan-ikan itu akan dijual, dan dengan cepat memutuskan (dengan mengacungkan tangan) untuk membeli ikan-ikan yang dilelang itu.

Tentu tak mudah bagi Susi muda dalam menjalani profesi barunya ini. Di hari pertama misalnya, ia cuma berhasil mendapatkan 1 kilogram ikan saja, pesanan sebuah resto kecil kenalannya. Esoknya, setelah ia agak lebih berpengalaman, setelah ia mulai lebih bisa meyakinkan calon pembeli, ikan yang didapat lebih besar lagi jumlahnya. Tiga kilo, tujuh kilo… begitu seterusnya.  Tak jarang, ia juga salah taksir hingga merugi saat ikan-ikan yang dibelinya harus dijual lagi. Bahkan, tak jarang pula pemesan ingkar, tak jadi membeli ikan dari bakul Susi. Semua itu dinamika kerja bagi Susi, yang mesti dilalui di bidang apa pun.

Cuma dalam tempo setahun Susi bisa menguasai pasar Pangandaran, dan bahkan pasar Cilacap yang bisa ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil dari Pangandaran. Kian maju usahanya, Susi pun mulai mengusahakan perahu untuk disewa nelayan. Hasil tangkapannya ia beli dengan harga yang baik. Dari satu dua perahu, kini ada ratusan perahu di Pangandaran dan Cilacap yang diakui nelayan penggunanya sebagai 'punya Ibu Susi'.

“Produksi ikan nelayan Pangandaran (dan tempat lain di selatan Jawa)  itu amat berlimpah,” kata Susi. Memang, ada bisnis pariwisata yang berkembang di kawasan itu. Tapi, limpahan ikan tiap hari itu tak sebanding dengan daya serap masyarakat sekitar, bahkan walau pasar bertambah dengan makin berkembangnya industri wisata di sana. Tiap hari ada saja ikan segar yang tak terserap pasar, dan solusinya dijadikan ikan awetan, sebagai ikan kering ataupun ikan asin. “Sementara kita tahu, ikan segar jauh lebih mahal harga jualnya dibanding ikan asin,” ungkap Susi.

Entah dapat ilham dari mana, Susi muda pun mulai berpikir membuka pasar di luar Pangandaran dan sekitarnya. Sasarannya, kota besar. Jujur, ia tak memilih Bandung, apalagi Ciamis ataupun Tasikmalaya. Ia menyasar Jakarta, yang menurut perkiraannya penduduknya memerlukan pasokan banyak ikan.  “Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta, dan selalu terserap habis! Intinya, ya, itu tadi… harus segar!” ucap Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul, untuk kemudian meningkat jadi pengepul besar hasil laut.

Segar! Inilah kata kunci yang ditemukan Susi muda dalam melakoni bisnis hasil laut. “Bagaimana membawa ikan ke pasar sesegar saat ikan diangkat nelayan dari laut,” kata Susi, sederhana.  Sementara, ia tahu pasar besar itu ada di luar sana, berpuluh bahkan beratus kilometer jaraknya dari Pangandaran. Bagaimana hasil laut yang dikumpulkannya, hasil tangkapan nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar dalam keadaan segar?

Untuk itu, “Saya mesti bisa berpacu dengan waktu!” ungkap Susi, yang mengaku agak tomboi saat remaja. Solusi untuk mencari kesegaran itu? “Saya mulai mengusahakan mobil untuk mengangkut ikan-ikan yang berhasil saya kumpulkan,” katanya. Dari sekadar menyewa, ia pun lantas membeli truk, dengan sistem pendingin es batu, dan membawa hasil laut ke Jakarta. Dari sekadar membawanya langsung ke pasar-pasar di Jakarta, sampai kemudian ia menemukan ‘orang’ yang mau menerima langsung ikan-ikan yang dibawa truk-truknya. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh beberapa pabrik sebagai pemasok tetap ikan segar untuk ekspor.

“Tiap hari, pukul 15.00, saya berangkat dari Pangandaran. Sampai di Jakarta tengah malam. Mandi dan istirahat sebentar, lalu balik lagi ke Pangandaran,” kata Susi, tentang rutinitasnya. Bertahun-tahun itu dilakukannya. Di mobil, sering ia tak sekadar tidur, istirahat menjaga kesehatan, tetapi juga berpikir bagaimana usahanya bisa berkembang.

“Satu yang saya amati di perjalanan, sepanjang kawasan Cikampek hingga Karawang itu, kalau malam selalu ramai oleh suara kodok,” katanya. Ada banyak pencari kodok di kawasan itu. Kodok hidup laku di pasar Glodok. Bahkan, ada orang yang ingin membelinya untuk diekspor ke Singapura dan Hong Kong. Peluang bisnis yang tak Susi sia-siakan. Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta pun ia tak pernah lupa mampir ke sentra-sentra pengepul kodok itu, membawanya sekalian ke beberapa pasar di Jakarta. Tak heran bila di tempat-tempat itu ia sempat juga dijuluki ‘Susi Kodok’! (f)


HERYUS SAPUTRO


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?