Travel
Xi’an yang Syahdu

8 Aug 2014


Di awal musim gugur lalu, saya, Ida Ahdiah, mengunjungi Museum of Qin Terra Cotta Warrriors and Horses Terracotta, ‘surga alam baka’ yang dibangun 2000 tahun silam di  Xi’an, Ibu Kota Provinsi Shaanxi, salah satu kota tertua di Cina. Di sini pernah berkuasa 13 dinasti antara lain dinasti Qin, Ming, Han, Tang, dan dinasti Yuan dengan 73 kaisar. Lalu, saya menikmati delima Lintong dan menghabiskan senja di Muslim Quarter sambil menikmati hidangan dan suasana yang islami.

Menggali Sejarah

Patung para prajurit itu berdiri di depan kuda dan di belakangnya berbaris para tentara yang membawa panah atau pedang yang siaga dan siap bertempur, menghadap ke timur. Pakaian yang melekat di tubuhnya disesuaikan dengan pangkatnya. Patung-patung seukuran manusia itu menggambarkan pria Cina, berwajah bulat, mata sipit, rambut panjang yang ditarik ke atas dan digelung. Beberapa di antaranya memiliki kumis tipis. Patung yang berupa pasukan infantri dan kavaleri ini berada di ruang penggalian yang disebut Pit 1 di Museum of Qin Terra Cotta Warrriors and Horses yang berada di Lintong, 1 jam perjalanan dari Xi’an.
   
Saya berdiri di tepi pagar menikmati salah satu keajaiban dunia ini dari atas  sebuah gedung yang menyerupai hanggar pesawat antibocor. Ada sekitar 6.000 patung prajurit dan kuda di dalam tanah tempat ditemukannya pertama kali. Semua patung itu  ditempatkan di bawah kedalaman 5 meter dengan tembok-tembok pemisah di ruangan sepanjang sekitar 250 meter dan luas 68 meter. Beberapa di antaranya tampak masih berupa serpih-serpih gerabah yang menunggu waktu untuk disusun.
   
Di Pit 1 inilah, di musim panas tahun 1974, Yang Zhifa, seorang petani yang sedang menggali sumur, merasakan cangkulnya membentur leher patung tanpa kepala dan sebuah tembikar berbentuk mangkuk di dekatnya. Kemudian paculnya membentur dada, kepala, lalu patung-patung berpakaian prajurit. Yang merasa temuannya menyimpan misteri. Ia pun segera memanggil teman-temannya untuk mengangkat  benda-benda  tersebut dengan 3 kereta kayu ke Museum Lintong. Untuk temuannya itu ia dibayar 10 yuan untuk tiap kereta. Temuan Yang ternyata merupakan pembuka jalan ditemukannya  peninggalan kolosal dari  dinasti Qin yang berkuasa 2.000 tahun silam!
   
Situs yang tahun 1987 dipilih oleh UNESCO sebagai warisan dunia ini masih belum seluruhnya terungkap. Di malam hari, setelah jam turis selesai, para arkeolog masih terus bekerja untuk menyatukan kepingan-kepingan patung tembikar yang dibuat di masa dinasti Qin Shi Huang yang berkuasa dari 259 BC – 210 SM, kaisar pertama di Cina yang memegang takhta di usia 13 tahun. Kaisar ini terkenal ambisius, cerdas, pemberani, dan imajinatif. Dialah yang menyatukan Tiongkok, membakukan tulisan Cina, mata uang, dan membakukan ukuran.
   
Bagi Kaisar Qin, kematian bukan akhir dari kekuasaannya. Maka, ia pun menciptakan ‘surga’ dengan mengerahkan ribuan orang, yang konon terdiri dari para seniman, pesakitan, dan orang-orang yang tidak bisa mengembalikan  utang untuk membuat pasukan perang dari tanah liat yang terdiri dari para jenderal dan anak buahnya, lengkap  dengan senjata seperti pedang dan panah juga kuda dan kereta. Ia berharap di tanah kuburan seluas 90 km itu para prajurit  bisa  menemani dan menjaganya di alam baka kelak. Ia percaya, saat mati kelak, musuh-musuhnya akan tetap menyerangnya.     
   
Di musim liburan saat itu, dibutuhkan waktu sekitar 1½ jam lebih untuk berpindah-pindah, mengamati dan mengagumi peninggalan klasik di ketiga tempat secara leluasa. Namun, semua pengunjung hanya bisa melihat peninggalan Kaisar Qin itu tanpa bisa menyentuhnya. Sebagai pelipur lara, pihak museum menyediakan ruangan dengan replika patung prajurit agar bisa berfoto di dekatnya dengan membayar 10 yuan per orang yang diminati banyak orang. Ini  terlihat dari antreannya yang mengular.
   
Kunjungan saya ke museum ini diakhiri dengan sebuah kejutan yang menyenangkan. Saya bertemu Yang Zhifa! Petani yang kini berusia 75 tahun itu duduk di toko suvenir. Senyum ceria memancar dari wajahnya saat orang memintanya berfoto bersama dengan membayar 10 yuan. Sejak temuan patung besar-besaran, pemerintah  memindahkan Yang dan penduduk lainnya ke Desa Qinyong, berjarak 6 km dari museum.


Mencari Si Merah Delima

Akhirnya, kesempatan untuk menikmati delima Lintong pun terpenuhi. Delima merah yang besarnya tak tertampung dua telapak tangan itu berkulit tipis. Deretan bijinya bagai kumpulan kristal bersemu merah. Rasanya manis dan segar. Pantaslah jika delima disebut-sebut sebagai buah khas Kota Xi’an, yang kepopulerannya melampaui batas provinsi.

Sejak tahun 1991, pemerintah setempat menyelenggarakan Festival Buah Delima,  tiap pertengahan September, awal musim gugur, saat delima tengah  ranum dan siap dipanen. Pengunjung bisa menikmati sensasi rasanya yang manis dengan biji  mudah dikunyah dari  berbagai variasi delima yang tumbuh di kaki Gunung Lishan itu.

Di pertengahan Oktober kala itu, saya masih bisa menyaksikan buah delima yang merah segar, tertimpa sinar matahari, bergelantungan di pohonnya yang berdaun kecil, rimbun dan rendah, di tepi kanan kiri jalan menuju Lintong. Para wanita menjajakannya dalam keranjang jinjing berisi 8 delima, di tempat-tempat wisata. Bahkan di antaranya ada yang menawarkan jasa untuk memeras delima menjadi jus. Kandungan vitamin C pada buah yang manis segar itu 2 kali lipat dibanding apel atau pir.
   
Selain bernilai ekonomi, masyarakat  Lintong  juga memanfaatkan bunga, daun dan biji delima untuk pengobatan. Bunganya dipercaya bisa menghentikan mimisan dan daunnya untuk obat mata.


Senja di Muslim Quarter

Gerimis sore itu tak menghalangi para pelancong dari dalam dan luar negeri untuk mengunjungi Muslim Quarter. Di bawah payung yang melindungi dari hujan dan jaket yang menghangatkan dari  embusan angin dengan suhu 10 derajat, mereka menyesaki  jalan sepanjang 500 meter yang di kanan kirinya dipenuhi bangunan bergaya Dinasti Ming dan Qing, yang dijadikan toko suvenir atau restoran.
   
Distrik yang  letaknya tak jauh dari pusat kota ini memang menawarkan atmosfer yang berbeda dibanding daerah lain di  Kota Xi’an pada umumnya. Para wanitanya banyak yang mengenakan jilbab aneka motif dan warna. Kaum prianya mengenakan kopiah putih dan beberapa di antaranya membiarkan jenggot dan jambangnya panjang terpelihara. Wajah mereka bulat, kulitnya putih dengan mata kehijauan atau kebiruan.
   
Dahulu kala, tempat ini merupakan titik pertemuan para pedagang dari Timur dan Barat yang melewati Jalur Sutra, jalur perdagangan melalui Asia yang menghubungkan antara Timur dan Barat. Istilah Jalur Sutra pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman, Ferdinand von Richthofen, di abad ke-19, karena komoditas dari Cina banyak berupa sutra. Banyak pedagang Arab dan Persia yang singgah di tempat ini kemudian menikah dengan wanita setempat dan memilih bermukim di Xi’an.
   
Saat ini, ada sekitar 60.000 muslim yang bermukim di tempat tersebut. Mereka memiliki  tempat ibadah bernama The Great Mosque, yang dibangun pada masa dinasti Ming, tahun 1393. Masjid tanpa kubah ini dibuat menyerupai kuil dengan sentuhan arsitek Cina dan elemen kaligrafi Arab. Konon, masjid ini dibangun oleh Laksamana Cheng Ho, yang dikenal piawai membasmi bajak laut di Laut Cina Selatan. Perjalanannya keliling dunia, termasuk Nusantara, membuat namanya dikenang dan diabadikan menjadi nama masjid, salah satunya  Masjid Cheng Ho dengan arsitek gaya Cina di Palembang. Namun, tidak mudah untuk menemukan The Great Mosque yang bisa menampung 1.000 jemaah ini, apalagi saat gelap mulai turun. Sebab, letaknya berada di jalan kecil, yang dipenuhi pedagang pashmina, karpet, lukisan, dan kerudung.

Di kawasan yang penduduknya mayoritas berasal dari Suku Hui ini, aneka jenis makanan halal, yang merupakan paduan kuliner Cina dan Islam dengan aroma yang menggugah selera dan mata, dijajakan di tepi jalan. Semangkuk biangbiang, mi pipih dengan lebar sekitar 1 cm, disajikan dengan irisan daging domba dan saus wijen, saya pilih untuk makan malam. Rasanya lembut dan ringan. Untuk minumnya, saya memilih sebotol jus plum segar yang manis dan asam. Makanan khas lain yang bisa ditemukan di sini antara lain sheng zhi wang  (mi dingin dengan saus wijen) dan  rou jia mo (hamburger Cina) dengan isi irisan daging domba atau sapi.
   
Sambil menyusuri jalan yang  makin malam  makin riuh itu, saya menikmati kacang kenari hangat yang baru diangkat dari mesin penyangrai, yang tampak digunakan oleh beberapa pedagang. Kulitnya yang keras besar itu dibuka dengan mudah. Dagingnya yang kering bergerigi, renyah dan gurih saat dikunyah.   Pistachio dan aneka kue manis seperti kue bulan juga tak kalah menggoda untuk dicoba atau dijadikan buah tangan.
   
Oh, ya, aneka macam suvenir khas Xi’an seperti magnet untuk kulkas, pensil atau cangkir, juga bisa dibeli di sini. Harganya bisa saja ditawar. Karena kemampuan bahasa Inggris mereka sangatlah terbatas, gunakan bahasa tubuh saat menawar. Jika masih mengalami kesulitan, manfaatkan gadget. Terjemahkan kata yang dimaksud ke dalam huruf  Mandarin. Tunjukkan hasilnya di gadget kepada mereka. Cara ini saya buktikan cukup berhasil.


Tip
  1. Beberapa maskapai melayani penerbangan dari Jakarta ke Xi’an dengan transit di Beijing atau Shanghai.  Saya mencoba memilih penerbangan roundtrip Singapore Airline menuju Shanghai dan kembali ke Jakarta dengan maskapai penerbangan yang sama dari Beijing. Dalam waktu 8 hari saya bisa menikmati 3 kota besar di Cina dengan leluasa.
  2. Dari Shanghai ke Xi’an dan Xi’an ke Beijing, saya memilih naik kereta api. Jadwal keberangkatan kereta tersedia dari pagi hingga sore. Kereta cepat high speed bullet dari Xi’an ke Beijing sejauh 1.200 km, misalnya, ditempuh hanya dalam waktu 5½ jam dengan harga tiket  500 - 800 yuan (1 yuan = Rp1.900).  Saya sendiri memilih kereta api biasa di kelas soft sleeper, yang menyediakan empat tidur dalam satu ruangan. Waktu tempuhnya 12 jam untuk jarak 1.200 km, dengan harga tiket 399 yuan.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?