Travel
Warna-Warni Cinque Terre

14 Feb 2014

Impian saya, Fabiola Lawalata, menikmati panorama deretan rumah warna-warni yang dibangun di atas batu karang di pinggiran Laut Mediterania, akhirnya terwujud. Cinque Terre yang berada di daerah  Liguria, barat laut Italia, kerap disebut sebagai desa terindah. Berenang di pantainya yang biru kehijauan, menyusuri ‘jalan cinta’, atau menyesap anggur lokal di kafe tepi laut meninggalkan kesan tak terlupakan bagi saya.

Menuju Desa di Tepi Jurang

Cinque Terre yang dalam bahasa Italia berarti 5 desa, mengacu pada Desa Monterosso, Vernazza, Corniglia, Manarola, dan Riomaggiore, yang menjulur dari utara ke selatan. Dahulu, desa-desa ini sangat terisolasi, hanya bisa dicapai lewat laut. Bangunan di desa ini berdiri di atas batu karang. Barulah setelah dibuka jalur kereta yang membelah gunung, pada tahun 1870-an, akses menuju tempat ini terbuka.
    
Saya memulai petualangan mewujudkan mimpi menuju Cinque Terre dari Kota Pisa. Di kota ini terdapat bandara internasional yang menghubungkan banyak kota Eropa lainnya, dari Pisa menuju La Spezia, kota besar sebelum Cinque Terre yang berjarak sekitar 80 km atau kurang lebih 2 jam dengan kereta api.

Cara paling mudah dan murah untuk tiba di Cinque Terre adalah dengan membeli Cinque Terre Card seharga 12 euro, yang dapat dibeli di loket tiket stasiun La Spezia. Tiket terusan ini sudah termasuk tiket untuk semua transportasi dan tiket masuk taman nasional serta  museum-museum di Cinque Terre. Menggunakan kereta memang tepat, sebab jalan-jalan di Cinque Terre  tidak bisa dilalui mobil karena sempit dan terjal.

Desa pertama yang saya datangi adalah desa yang terletak paling utara, yaitu Monterosso. Tiba di sini, asinnya udara Laut Mediterania  langsung menyapa. Monterosso memiliki pantai berpasir. Walaupun musim gugur,  air laut  tampaknya  masih terasa hangat karena saya melihat beberapa orang masih berenang di sana. Saya memilih untuk menyusuri pinggir pantai sambil memperhatikan deretan kedai kopi kecil yang homy.

Harum kopi yang diseduh seperti memanggil saya masuk ke dalamnya. Saya pun tak dapat menolak untuk tidak memesan secangkir cappuccino dan sepotong roti focaccia, lalu menikmatinya di teras kedai kopi yang memiliki pemandangan ke laut lepas. Letak kedai kopi ini bersebelahan dengan kapel mungil. Saat menyeruput cappuccino, sayup-sayup terdengar puji-pujian indah untuk pemilik kehidupan ini.
Monterosso dibagi menjadi 2 area, yaitu kota tua dan kota baru. Kota tuanya didominasi oleh reruntuhan kastil, sedangkan kota yang lebih baru penuh dengan restoran, hotel, dan fasilitas untuk para wisatawan.

Dari Monterosso, Anda bisa menyusuri foot path yang telah disediakan menuju desa-desa berikutnya. Ini adalah salah satu kegiatan favorit turis. Bahkan disediakan jasa tur dan pemandu untuk kegiatan ini. Waktu yang diperlukan  untuk berjalan kaki dari satu desa ke desa yang lain rata-rata satu jam. Ada dua jalur yang ditawarkan, lewat jalan dekat laut atau atas bukit yang cederung mendaki dan menantang stamina.

Anda juga bisa menggunakan kereta api yang menghubungkan antardesa ini, seperti yang saya lakukan. Tiketnya sudah termasuk dalam terusan Cinque Terre Card yang saya miliki. Ternyata, walau musim puncak turis (yaitu musim panas) sudah lewat,  Cinque Terre tetap dibanjiri wisatawan. 

Untuk naik kereta, saya harus berdesakan dengan rombongan wisatawan senior asal Amerika. Saya pun harus merelakan kursi yang saya duduki untuk mereka yang lebih tua. Tapi tak masalah, perjalanan kereta dari Monterosso ke Vernazza tak lama, tak sampai 5 menit.

Cara lain adalah menggunakan kapal feri. Pengalamannya tentu beda. Desa-desa di atas karang itu tampak makin menawan dilihat dari laut. Warna-warni bangunannya tampak kontras dengan birunya laut dan langit.


Menapaki ‘Jalan Cinta’

Sampai di stasiun Vernazza, jantung saya mulai berdegup tak santai. Di desa inilah tumpukan rumah warna-warni di atas karang berada. Selangkah lagi saya menuju salah satu bucket list saya. Well, kenyataannya bukan selangkah, namun beribu langkah. Karena faktanya, untuk menuju dan menikmati bangunan rumah warna-warni itu saya harus menanjak ke atas bukit yang lebih tinggi. Untungnya, saat itu  awal musim gugur sehingga udara lumayan bersahabat. Entah apa jadinya jika pada saat musim panas.

Saya mengatur napas baik-baik, juga langkah saya ketika menanjak. Jika ada orang yang lewat dari berlawanan arah, salah satu harus mengalah dan menepi. Namun, peluh keringat dan pegalnya betis terbayar dengan panorama yang sulit saya deskripsikan. Karang terjal yang dikikir dijadikan tempat tinggal yang memiliki daya seni tinggi. Tiap bangunan rumah mereka cat dengan warna kuning, merah, biru, hijau, dikelilingi oleh hijaunya ladang yang ditanami pohon anggur dan birunya Laut Mediterania.

Vernazza dan Monterosso adalah surga untuk bersantai. Namun, pada Oktober 2011, kedua desa ini sempat terkoyak duka. Hujan lebat mengakibatkan banjir dan longsor yang parah. Vernazza dan Monterosso bagaikan dikubur lumpur setinggi 4 meter dan puing-puing. Puluhan orang meninggal  atau hilang pada saat kejadian. Sekarang, mereka cepat berbenah.

Saat saya berada di sana di awal musim gugur tahun ini, sebagian besar toko, restoran, dan hotel di Vernazza dan Monterosso kembali menyambut pengunjung. Hasil dari proses pemulihan yang luar biasa. Sepanjang musim dingin dan musim semi tahun 2012, pemerintah Italia, penduduk lokal, dan bala bantuan bekerja sama untuk membersihkan sisa-sisa lumpur dari kedua kota itu. Jalan-jalan dan sistem saluran pembuangan pun sudah  diperbaiki.

Di beberapa toko yang saya masuki, tampak foto-toko mereka saat musibah  terjadi. Sungguh mengenaskan. Pada dinding toko gelato tempat saya menikmati es krim pistachio dan vanilla, tergantung foto yang diambil saat toko gelato itu luluh lantak tertimbun lumpur tebal. Sambil menikmati es krim, saya mencuri pandang  ke arah pemiliknya. Seorang pria berumur yang bersahaja, ramah, dan terlihat sangat mencintai pekerjaannya. Tak bisa saya bayangkan, apa yang dirasakannya saat bencana itu datang menghabisi usahanya ini.

Di antara kelima desa di Cinque Terre, yang  menarik perhatian para pemuja romantisisme adalah Desa Manarola dan Riomaggiore. Alasannya, di antara kedua desa terdapat La Via de’ll Amore (lovers pathway), jembatan penghubung dua desa yang di kanan kirinya dipenuhi aneka gembok yang tertulis nama pasangan. Sebagai simbol cinta sejati yang tidak terpisahkan, kunci gembok lalu dilempar ke laut, mirip dengan jembatan cinta Ponts des Arts di Paris.

Konon, La Via de’ll Amore ini dibuat untuk menghubungan para pasangan yang tinggal terpisah di dua desa itu. Ketika jembatan ini selesai dibuat, para pasangan pun berbahagia karena memudahkan mereka untuk saling berjumpa. Ah, Italia memang surga pemuja cinta.


Tip
  • Saat terbaik kunjungan: musim semi atau permulaan musim panas, yaitu antara bulan April – Juni. Pada musim panas, Juli - Oktober, desa ini terlalu sesak oleh wisatawan. Harga akomodasi pun akan melonjak naik dan dipastikan Anda akan mengantre lebih lama jika ingin masuk ke museum atau spot wisata lainnya. Cuaca pun bisa sangat panas pada bulan-bulan tersebut.
  • Penerbangan ke tempat ini bisa menggunakan Alitalia:  Jakarta – Roma – Pisa, atau dengan Air France: Jakarta – Paris – Pisa.
  • Untuk pergi ke tempat ini, Anda butuh visa Italia (atau Schengen).



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?