Travel
Tersihir Pesisir Wakayama

27 Mar 2015



Atas undangan Garuda Indonesia dan JNTO, Desember lalu, Redaktur Eksekutif femina, Rully Larasati, menikmati keindahan alami kota-kota kecil Jepang yang mungkin belum banyak diulik oleh turis asing.

Jika kebanyakan turis langsung menuju utara untuk berkunjung ke Kota Osaka atau Kyoto, ketika tiba di Bandara Kansai Osaka, saya memilih arah sebaliknya, yaitu ke selatan. Tepatnya di prefektur Wakayama.  Di sepanjang jalan menuju Kota Wakayama, mata ini dimanjakan oleh deretan pohon jeruk yang berbuah lebat, hamparan sawah menghijau, juga kebun sayuran yang siap dipanen. Ya, saya sedang mengunjungi sebuah desa di Jepang. 

Kucing Kepala Stasiun

Buah-buah jeruk ranum yang berwarna kuning cerah, kontras dengan warna hijau daun, tampak menggoda untuk segera dipetik.  Tetapi, saya harus mengabaikan keinginan tersebut karena tak ingin ketinggalan naik kereta kucing yang berangkat dari Stasiun Idakiso, Wakayama.  
Kereta kucing? Sebenarnya ini bukan kereta untuk kucing, melainkan kereta listrik untuk penumpang biasa. Yang membedakan adalah seluruh rangkaian keretanya berhiaskan ornamen kucing, termasuk tempat duduk dan perpustakaan mini yang berisi buku-buku tentang kucing yang ada di gerbongnya.  Saat memasuki Stasiun Idakiso, mata saya terpaku pada kandang kaca berisi seekor kucing anggora yang gemuk berwarna putih dengan bercak hitam dan cokelat, lengkap dengan topi warna hitam, layaknya petugas stasiun.  Ternyata, kucing yang terlihat sedang bermalas-malasan itu adalah… sang kepala stasiun!

Yamaki, PR Manager Ryobi Group, menjelaskan satu kisah yang boleh dipercaya atau tidak, untuk menjawab rasa penasaran saya tentang penugasan si kucing gendut di stasiun. Pada tahun 2006, saat pembukaan Wakayama Electric Railway Kishigawa Line, beberapa toko di area tersebut harus digusur, termasuk satu toko yang letaknya bersebelahan dengan Stasiun Kishi. Si pemilik meminta kepada direktur kereta listrik tersebut, karena itu berarti kucing-kucing yang sudah dari dulu berdiam di sana tidak memiliki tempat tinggal. Sebagai jalan tengah, kepala stasiun mengizinkan salah satu kucing, yaitu Tama, untuk tetap tinggal di sana, asalkan mau ‘bekerja’ sebagai kepala Stasiun Kishi.

Yamaki kemudian menyodorkan kertas yang berisi CV si kucing Tama, lengkap dengan sederet prestasi yang diraih oleh kucing menggemaskan ini. Mulai dari menerima Super Stationmaster Award, Top Runner Award, hingga dipromosikan menjadi Ultra Stationmaster karena prestasinya meningkatkan jumlah turis asing di Stasiun Kishi sebanyak 240%!

“Kucing yang ada di Stasiun Idakiso bukanlah Tama, melainkan Nitama. Hari ini Tama, yang berada di Stasiun Kishi, sedang tidak bertugas karena dia mendapatkan libur seminggu 3 kali,” ujar Yamaki, sambil mengajak saya berkeliling stasiun dan menunjukkan kereta Ichigo (kereta bertema stroberi), Omocha (kereta bertema mainan), dan tentu saja kereta Tama (kereta bertema kucing). 

Saya menjajal naik salah satu kereta yang dioperasikan oleh Wakayama Eletric Railway Kishigawa Line ini. Jalur kereta ini  sepanjang 14,3 km, dari Wakayama menuju Kishi, melewati 12 stasiun, yang ditempuh total selama 30 menit. Hanya 10 menit dari Stasiun Idakiso, saya tiba di Stasiun Kishi. Melihat desain stasiun yang menyerupai kepala kucing  sambil menikmati susu cokelat hangat di Kafe Tama, yang lagi-lagi berhiaskan kucing di sana-sini dan menjual  pernak-pernik bergambar si kucing Tama yang menggemaskan. Serasa berada di dunia kucing!   


Ikan Segar, Langsung Makan! 

Kuroshio Ichiba atau Pasar Kurishio di Marina City Wakayama menjadi tujuan saya berikutnya. Setelah satu jam berkendara dari Stasiun Kishi, bayangan tentang pasar yang biasanya amis dan kotor, lenyap ketika melihat deretan potongan ikan tuna segar, abalone, lobster, cumi, kerang, dan olahan hasil laut lainnya, berjajar rapi di gerai-gerai terbuka. Bersih dan sama sekali tidak tercium bau amis atau anyir.

Yang mengasyikkan, pengunjung mengolah langsung pilihan ikan atau hasil laut yang dibelanjakan hari itu, dengan metode BBQ dan bisa langsung disantap di pinggir pantai. Saya beruntung bisa menyaksikan atraksi pemotongan ikan tuna segar, yang hanya berlangsung tiga kali sehari. Ikan tuna seberat 40 kg terpajang di atas meja. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkimono hitam mengeluarkan pisau tajam dari balik meja, mengasahnya beberapa kali, mengelapnya, dan siap beraksi.

Pertama, ia memotong buntut maguro alias ikan tuna, lalu melanjutkan dengan mengiris bagian kepala dan sirip, dan meletakkan potongan kepala ikan tuna, dengan mulut menghadap ke atas. Sambil bercanda, ia membolehkan jika ada pengunjung yang mau memakai kepala ikan tuna itu sebagai topi.

Ia lalu membalik ikan dan memosisikannya secara mendatar, kemudian membelah setengah bagian ikan menjadi dua. Satu kali, dua kali, hingga sekitar lima kali irisan panjang. Ia meletakkan pisau, dan langsung mengangkat potongan ikan yang sangat bersih, tanpa tulang yang menempel! Dengan cekatan ia melanjutkan mengiris ikan tuna, dan kurang dari 10 menit seluruh bagian ikan tuna sudah menjadi irisan-irisan rapi siap santap.

Usai pertunjukan pemotongan tuna, para penonton langsung menyerbu gerai yang menjual potongan ikan tuna tersebut.  Tanpa buang waktu, saya langsung memasukkan potongan ikan tuna mentah yang baru dipotong ke dalam mulut. Hmm… kesegaran ikan yang ditangkap satu malam sebelumnya di perairan selatan Wakayama itu terasa begitu juicy! Empuk-empuk basah. Di potongan kedua, barulah saya mencelupkannya ke dalam soy sauce dan mencocolkan wasabi. Kenikmatannya berlipat ganda!

Toko besar bergambar jeruk yang terletak persis di seberang pasar lagi-lagi menggoda saya untuk memasukinya. Masuk di Pasar Buah Kinokuni ini saya tidak hanya mendapatkan aneka jeruk segar berwarna kuning oranye, tetapi juga hasil produksi buah-buahan lokal lainnya, seperti kiwi, persik, beserta olahannya.  Menurut Kumiko Shimamoto, guide yang menemani saya hari itu, beda musim, beda pula buah-buahan yang dijual. Karena saya datang di pertengahan Desember, maka buah jeruk mandarinlah yang paling banyak tersedia. Stoberi menjadi hasil terbanyak di musim semi, persik di musim panas, dan anggur hijau dan ungu di musim gugur.

Kumiko lantas mengajak saya ke perkebunan jeruk Don Don Hiroba milik Shimada, sekitar 15 menit berkendara. Sambil tersenyum ramah, Shimada mengajak saya berkeliling di kebun jeruknya, kemudian mengajari saya bagaimana memetik jeruk yang benar. “Pilih jeruk yang ukurannya tidak terlalu besar dan pori-pori kulitnya kecil, karena itu menandakan   jeruknya manis,” ujarnya, sambil menyodorkan jeruk yang baru ia petik dan meminta saya untuk mencicipinya. Pilihannya tepat. Kesegaran jeruk yang terasa manis itu bermain-main di lidah saya.

Ia menyerahkan gunting dan plastik kecil, dan mengizinkan saya untuk mengambil jeruk sebanyak yang saya mau. Bak anak kecil yang diberi mainan baru, saya langsung berpindah dari satu pohon ke pohon lain, mempraktikkan ilmu dasar dari Shimada dalam memilih jeruk. Hanya dalam hitungan menit, belasan jeruk sudah memenuhi kantong plastik yang saya pegang. Seperti belum puas, tangan dan mulut saya juga masih sibuk mengupas dan mengunyah jeruk yang belum saya masukkan ke dalam plastik. Kesegaran jeruk manis yang baru dipetik ini rasanya tak bisa dibandingkan dengan jeruk-jeruk yang sudah dipajang di pasar!










Mengintip Bajak Laut

Keesokan harinya, saya meneruskan perjalanan ke selatan dari Kota Wakayama. Pemandangan laut lepas Samudra Pasifik  yang tampak tak berujung, menemani sepanjang perjalanan saya menuju Gua Sandanbeki, yang terletak di Kii Peninsula.  Konon, gua ini merupakan tempat persembunyian bajak laut Kumano pada era Heian (794-1185).

Saat pikiran melayang-layang membayangkan harus berjalan jauh dan lelah untuk memasuki gua yang berada sekitar 36 meter di bawah permukaan laut itu (atau sekitar gedung 12 lantai), di lokasi, lagi-lagi saya terkagum-kagum dengan kehebatan Jepang membangun infrastruktur yang memadai dan nyaman bagi para pengunjung tempat wisata. Hanya dengan menekan tombol di lift, dalam waktu 24 detik lift membawa saya menembus perut bumi, menuju gua persembunyian bajak laut.

Tatsumi Yoshihiro, Deputy Manager Sandanbekidokutsu, menemani saya menyusuri isi gua yang berkelok-kelok. Suara ombak bergemuruh dan memukul-mukul karang, menambah suasana mencekam selama berada di dalam gua. Saya harus memperhatikan  tiap langkah yang saya ambil, agar tidak terpeleset karena dasar gua yang cukup licin dan becek. Genangan air laut di sana-sini.

Area pertama yang saya lewati adalah kuil kecil, dengan patung Dewi Benzaiten sebagai fokus utamanya. Pemujaan Dewi Benzaiten yang memegang pedang oleh para bajak laut bukannya tanpa alasan. Ia adalah dewa dari segala hal yang mengalir, seperti air, kata-kata (termasuk ilmu pengetahuan), bahasa, dan musik, serta penghalau kekuatan jahat. Wangi hio samar-samar melewati hidung, dan beberapa pengunjung menggerakkan lonceng dan khusyuk berdoa.

Saya mengambil gayung kecil, menyendokkan air laut yang mengalir dalam gua dan menyeruputnya. Glek… tenggorokan dan perut seketika terasa hangat. Tatsumi bilang, air laut ini bagus untuk kesehatan perut. Saya kembali menyusuri gua dan mendapati replika tempat tinggal para bajak laut, lengkap dengan alat masak serta pakaian berupa bulu binatang. Terbayang bagaimana kehidupan mereka selama bersembunyi di balik gua yang dingin itu. Suara ombak dan angin menderu, terus-menerus terdengar selama saya menyusuri gua, hingga kami sampai di ‘dermaga’, yang menjadi pintu masuk kapal bajak laut menuju gua karang. 

Sambil menunjuk dinding batu karang di ketinggian, Tatsumi mengajak saya menebak bentuk apa saja yang ada di sana. “Jika Anda cukup jeli, Anda bisa melihat bentuk serigala, wajah manusia, tikus, dan spinx dari batu-batuan itu. Ayo, gunakan imajinasi Anda.”  Selama kurang lebih 40 menit  di dalam gua, Tatsumi menyudahi kisah bajak laut dengan mengatakan bahwa dibutuhkan 15 tahun untuk membangun infrastruktur yang mumpuni ini, serta biaya 150 juta yen untuk renovasi lift agar para turis mendapat kemudahan  menikmati tujuan wisata ini. Luar biasa!      

Kumiko kemudian mengajak saya berkunjung ke situs suci di Pegunungan Kii yang mendapatkan warisan cagar budaya dari UNESCO.  Total perjalanan sekitar tiga jam berkendara. Mengingat matahari sudah  makin tinggi, saat melewati Kota Kii Katsuura, Kumiko mengajak saya makan siang di sebuah restoran mungil, Café Amaai. Turun dari bus, saya mengamati kota yang seperti tidak ada penghuninya. Sepanjang jalan kosong, tak tampak orang berlalu-lalang, begitu pula kendaraan.

“Di jam-jam sekarang ini, penduduk kota kebanyakan melaut atau beristirahat. Kalau kita tiba di sini dini hari, kita bisa melihat aktivitas lelang ikan di pasar,” ujar Kumiko, sambil menunjuk atap bangunan berwarna biru di pinggir pantai. 

Hari  makin siang. Setelah setengah jam naik minibus, saya harus berganti mobil yang lebih kecil untuk naik ke daerah pegunungan karena minibus kemungkinan besar tidak bisa menanjak.  Mr. Izumo mengendarai mobilnya dengan sangat hati-hati, menyusuri jalanan yang berkelok-kelok dan sampailah di Kumano Kodo Daimon-zaka, yaitu gerbang pertama menuju kompleks kuil yang memiliki lima kuil besar, yaitu Kumano Hongu Taisha, Kumano Hayatama, Kumano Nachi Taisha, Nachisan Seiganto-ji, dan Fudarakusan-ji. 

Hati saya langsung ciut melihat bebatuan anak tangga menuju kuil, dengan pohon cemara berusia 800-an tahun di kanan dan kirinya. Jaraknya hanya sekitar 600 meter, tetapi agak menanjak dan bisa ditempuh dengan satu jam berjalan kaki.  Beruntung, hari itu saya diperbolehkan tidak menempuh jalan biasa untuk para peziarah, melainkan melalui jalan pintas menggunakan mobil.

Tiba di lapangan parkir kompleks kuil, kali ini saya tidak bisa berkelit. Saya harus menaiki puluhan anak tangga menuju kompleks kuil yang merupakan perpaduan antara penganut Shinto dan Buddha. Segala kelelahan sirna saat berhasil menginjakkan kaki di tangga teratas. Saya diminta untuk membasuh tangan dan wajah sebelum memasuki kuil, dan diizinkan untuk berdoa.

Setelah melemparkan koin, saya mengatupkan kedua tangan, membungkukkan badan tiga kali, dan membunyikan lonceng raksasa yang berada di depan kuil. Angin semilir, bunyi gemerisik daun-daun, serta dentingan lonceng menciptakan ketenangan dan suasan mistis tersendiri.

Saya dan Kumiko kembali berjalan kaki menuju air terjun tertinggi di Jepang, Naiichi Falls. Lagi-lagi anak tangga batu yang terjal menanti untuk dilalui. Melihat sekelompok kakek- nenek berziarah, yang dengan tenang menapaki anak tangga satu per satu, langsung menyentil ego saya. Masa saya kalah? Sambil mengatur napas dan melangkahkan kaki perlahan-lahan, akhirnya saya sampai di air terjun yang memiliki ketinggian 133 meter itu. Mendengarkan suara air yang tumpah dari ketinggian, sambil memandang keindahan alam yang menakjubkan, mampu mendinginkan pikiran dan hati. Walaupun saya bukan penganut Buddha atau Shinto, perjalanan saya kali ini memberikan pengalaman spiritual yang tak mungkin saya lupakan.     


TIP
Berendam Santai
    Di musim dingin, prefektur Wakayama terkenal sebagai tujuan mandi air panas atau onsen favorit bagi masyarakat Jepang. Sejumlah hotel di sana menyediakan fasilitas onsen, baik yang berada di ruang tertutup maupun di ruang terbuka, sehingga Anda bisa memandang langsung matahari terbenam di perairan Samudra Pasifik sambil berendam air panas. 
1.Hotel Seamore
1821 Shirahama-cho, Nishimuro-gun, Wakayama Prefecture 649-2211, Japan. 
2.Hotel Urashima Resort & Spa
1165-2 Katsuura, Nachikatsuura, Higashimuro District, Wakayama Prefecture 649-5334, Japan.

• Naik apa?
Untuk menuju Wakayama dari Bandara Kansai, Anda bisa menggunakan bus atau kereta langsung, dengan perkiraan waktu tempuh selama 1 jam. Sedangkan untuk berkeliling area di prefektur Wakayama, tersedia jasa operator bus. Cukup membayar 1.000 yen (Rp107.000) per hari, Anda bebas naik turun di tempat-tempat yang Anda inginkan. 
- Bus Wakayama: area dalam Kota Wakayama
- Bus Meiko: area Shirahama
- Bus Kumano Kotsu: area Nachi-Katsuura.

Pesawat: Garuda Indonesia
memiliki penerbangan rute Jakarta-Osaka (Bandara Internasional Kansai) 4X seminggu (Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu)

RULLY LARASATI





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?