Travel
Sentuhan Rusia di Riga

18 Jul 2011

“Riga? Di mana?” Begitu reaksi teman-teman, ketika saya, Juliana Harsianti, berencana berkunjung ke kota ini. Riga memang bukan tujuan wisata terkenal, setidaknya bagi warga Asia. Tapi, tidak terkenal bukan berarti tidak indah. Kota di tepi Sungai Daugava ini merupakan kota cukup penting, karena memiliki pelabuhan perdagangan yang sangat aktif sejak abad pertengahan.

Pelabuhan Kecil yang Modern
Latvia adalah negara unik, karena sempat berganti tiga penguasa: Jerman, Kerajaan Swedia, dan Uni Soviet, sebelum akhirnya bebas menjadi negara sendiri. Ibu kotanya, Riga, menjadi kota dengan perindustrian yang cukup maju, terutama karena pelabuhannya menjadi tempat penting bagi lalu lintas barang antar negara-negara Baltik dan Eropa. Penduduk Riga umumnya menggunakan dua bahasa, yakni Rusia dan Latvia, tapi banyak orang muda yang menguasai bahasa Inggris.

Saya berangkat bersama teman saya, pasangan suami-istri Anita-Ulle, dan anaknya yang berusia 5 tahun. Kami bertolak dari Orebro, Swedia, menuju Stockholm. Kapal berangkat sore hari dari Stockholm dan akan tiba di Pelabuhan Riga pukul 9 pagi keesokan harinya. Kami bisa menikmati gugusan pulau sekitar Stockholm yang dilewati kapal. Pada malam hari, kami pun bisa menikmati live musik di bar.

Tepat pukul 9 pagi, kapal merapat di Pelabuhan Riga. Angin dan panas matahari yang menyengat langsung menyambut kami berempat. Saat itu sedang musim panas dan suhu mendekati 30 derajat Celsius. Karena saya sudah terbiasa dengan suhu musim panas Swedia yang sejuk dan cenderung dingin, hawa musim panas yang sebenarnya ini membuat saya agak kaget.

Kota kecil yang bertahun-tahun menjadi wilayah Kerajaan Swedia dan kemudian menjadi bagian dari Uni Soviet ini, tampak modern. Sekitar pelabuhan merupakan area perkantoran dengan beberapa gedung menjulang. Ada sebuah jembatan yang menghubungkan wilayah Riga yang terpisahkan oleh Sungai Daugava.

Jalanan yang semula berlapis aspal, kini digantikan dengan paving block. Bangunan-bangunan tinggi dan modern kini beralih rupa menjadi rumah-rumah tua berdinding batu, dan hanya setinggi dua lantai. Jarak beberapa ratus meter dari tempat itu, terdapat perkantoran dan pusat industri. Hanya dibutuhkan waktu 10 menit untuk melintasi lorong waktu. (f)



Wajah-Wajah di Dinding
Di sepanjang jalan kawasan kota tua, banyak gedung dengan arsitektur art nouvaeu (biasa disebut dengan jugendstill yang berarti youth style, sebuah aliran dari dunia seni rupa yang memengaruhi arsitektur). Ditandai dengan bentuk-bentuk yang terinspirasi dari bunga atau tanaman, berupa motif meliuk-liuk atau bersulur-sulur pada tiang atau dekorasi bangunan. Banyaknya bangunan tua membuat kota ini mendapat predikat world heritage oleh UNESCO. Biarpun tua, bangunan di daerah ini tetap dipelihara dengan baik.

Balai kota Riga adalah salah satu gedung dengan arsitektur jugendstill. Yang membuatnya tampak unik adalah adanya beragam pahatan wajah manusia di dindingnya. Saya membayangkan, mungkin akan menakutkan jika berjalan di wilayah ini pada sore atau malam yang berkabut. Kabut bisa menimbulkan efek wajah-wajah tersebut bergerak-gerak. (f)



Gereja-Gereja Kota Tua
Memasuki wilayah kota tua, kami bisa berjalan dengan bebas tanpa waswas, karena kendaraan bermotor tidak diperkenankan memasuki area ini. Kafe-kafe dan toko suvenir menempati bangunan tua. Saking menariknya, saya sampai berhenti berkali-kali untuk mengambil foto atau sekadar melongok ke dalam. Dari peta, saya melihat ada belasan gambar gereja di satu kawasan kota tua. Bisa jadi banyaknya gereja disebabkan oleh banyaknya orang dari berbagai negara yang singgah di kota pelabuhan ini.

Perhentian pertama kami adalah Gereja St. James. Ini adalah gereja Katolik satu-satunya yang dibiarkan berdiri setelah Riga berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Beberapa gereja beralih fungsi menjadi gereja Lutheran, saat Riga menjadi bagian dari Swedia. Sebagian lainnya menjadi gereja Katolik Ortodoks, saat menjadi bagian dari Uni Soviet.

Saya langsung melihat meja yang memajang berbagai kartu yang memuat sekumpulan orang suci dan berbagai doa di bagian belakang kartu. Semua doa dalam kartu itu ditulis dalam bahasa Rusia. Ada penjual rosario di samping meja kartu itu. Ruang gereja yang memanjang tampak sedikit padat karena dipenuhi wisatawan.

Keluar dari St. James, tujuan kami selanjutnya adalah gereja katedral Riga Dom. Gereja katedral ini merupakan gereja Lutheran, yang dibangun sekitar abad ke-13. Riga Dom merupakan gereja terbesar di negara bagian Baltik, gereja yang bangunannya berbentuk lingkaran dan beratap kubah ini sudah mengalami perbaikan dalam sejarah kehidupannya. Meskipun dibangun pada abad yang berbeda dari Gereja St. James, bangunan utama kedua gereja ini memakai bahan dasar yang sama, bata merah. Hal inilah yang membuat gereja-gereja di Riga tampak seragam. Hanya dengan berjalan kaki beberapa meter saja, sudah empat gereja yang saya kunjungi. (f)



Terpikat Batu Amber
Pada musim panas bisa ditemukan pasar terbuka di sepanjang jalanan kota tua. Barang-barang yang dijual berupa sarung tangan rajut dan berbagai peralatan memasak yang terbuat dari kayu. Kayu apel, kayu ash, dan kayu cedar dibuat menjadi bermacam peralatan, seperti sendok nasi, sendok gula, dan stoples tempat bumbu dapur. Bentuknya bagus dan ringan.

Beberapa sendok gula dan kopi saya beli untuk oleh-oleh. Saya dilayani oleh anak pemilik kios tersebut, dengan bahasa Inggris yang fasih. Dengan tangkas dia menjelaskan, dari kayu apa saja perabotan itu dibuat. Menurutnya, peralatan kayu itu bisa tahan lama. Karena, makin sering dicuci, makin menguatkan kayunya.

Ada pula beberapa pedagang yang menjual matrioska, boneka Rusia yang konon bisa membawa keberuntungan. Penjual matrioska dan sarung tangan rata-rata ibu-ibu yang sudah tua. Walau tidak bisa berbahasa Inggris, mereka ramah dan menyapa peminat dalam bahasa Rusia.

Satu barang yang cukup dominan di pasar kota tua adalah perhiasan batu amber. Batu berwarna merah oranye ini merupakan batuan yang diambil dari Laut Baltik. Biasanya diikat dengan perak menjadi liontin, atau beberapa batu amber kecil dirangkai menjadi gelang. Perhiasan ini menjadi perhatian saya karena unik. Bukan cuma jenis batunya, melainkan juga bentuk liontinnya.

Saya melihat liontin bentuk kodok yang bisa bergoyang-goyang, mirip boneka tangan dan juga ikan kembar. Ulle mengingatkan agar saya berhati-hati ketika memilih perhiasan batu amber, karena ada penjual yang mencampurnya dengan kaca berwarna serupa. Tidak hanya penjual di pinggir jalan, tetapi juga di toko suvenir yang tampak lebih mewah. Setelah cukup lama memilih, akhirnya saya memutuskan membeli dua liontin, kodok boneka tangan dan ikan kembar. Keduanya dengan hiasan batu amber yang diikat dengan perak.

Terus terang saja, bahasa menjadi kendala untuk melakukan transaksi di pasar terbuka. Beberapa turis melakukan tawar-menawar dengan cara lama, menuliskan harga yang diinginkan di selembar kertas, kemudian dibalas oleh penjual dengan menuliskan harga yang dia berikan. (f)



Mencicipi Makanan Ukraina
Sambil menyusuri jalan di sepanjang Sungai Daugava, kami sampai di Pasar Induk Riga, Centralirgus. Dari jauh, bentuk bangunan pasar itu agak aneh, memiliki langit-langit yang cukup tinggi. Keheranan saya terjawab ketika Ulle menjelaskan bahwa pasar itu menempati bangunan bekas hanggar pesawat.

Di sini dijual buah dan sayuran segar yang dijajakan di meja kayu. Teh, kopi, dan kue-kue dalam satu blok; pakaian dan pernak-perniknya di blok yang lain. Suasana pasarnya mirip suasana pasar induk di Jakarta. Hanya, pasar di sini tidak becek. Saya membeli satu ons biskuit dan minuman bernama latsvi, hasil fermentasi dari oat dengan menggunakan ragi roti.

Matahari sudah makin tinggi, udara makin panas, dan kami mulai merasa lapar. Kami menemukan sebuah restoran pizza di pinggir jalan. Tempatnya cukup besar dan ramai. Ternyata, bukan cuma pizza yang disajikan di sini. Ada berbagai makanan khas Eropa Timur, seperti pelmeny alias pangsit goreng (makanan khas Ukraina) dan borscht (sup bit dingin dengan krim asam).

Saya memesan seporsi borscht dan kentang goreng. Semangkuk borscht yang segar dan dingin terasa sangat creamy, cocok dimakan saat udara panas begini. (f)



Tip
1. Dari Jakarta, Anda bisa menempuh penerbangan ke Stockholm, Swedia. Dari Stockholm tersedia kapal ferry menuju Riga. Atau, bisa juga menggunakan pesawat murah Ryan Air dari kota-kota besar negara Eropa.

2. Riga tidak terlalu besar, Anda bisa berjalan kaki untuk menikmati keindahan kotanya. Bisa juga berkeliling kota dengan sepeda. Di beberapa penjuru kota, banyak terdapat tempat penyewaan sepeda. Anda tinggal memasukkan koin di mesin di tempat penyewaan itu. Setelah selesai, Anda bebas mengembalikan di tempat penyewaan sepeda mana pun.

3. Riga juga mempunyai beberapa transportasi umum, seperti trem, bus, dan kereta bawah tanah. Dapatkan tiket trem dan bus, lengkap dengan peta jalurnya di berbagai kios di seluruh Riga, atau di Riga Central Stasiun yang berada tidak jauh dari pasar induk. Tiket sekali jalan adalah 0,40 lats (Rp14.400).

4. Biaya hotel berbintang tiga di Riga mulai dari Rp 400.000,-

5. Biarpun sudah menjadi anggota Uni Eropa, Latvia tetap mempertahankan mata uangnya sendiri, yaitu lats (1 lats = Rp3.613).

6. Harga makanan termasuk murah. Anda cukup mengeluarkan 10 lats (Rp36.000) untuk seporsi makan siang.

7. Perhiasan batu amber bisa Anda beli dengan harga mulai 10 lats. Sediakanlah uang tunai dalam jumlah cukup, karena agak sulit menemukan toko yang menerima kartu kredit.

Juliana Harsianti (Kontributor - Jakarta)
Foto: dok. pribadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?