Travel
San Sebastian, Romantisisme Musim Panas

23 Oct 2011

Semenanjung Iberica yang juga terkenal dengan sebutan Negeri matador, tak lain adalah kampung halaman Penelope Cruz dan Antonio Banderas. Kota yang akan saya, Morita Sari, kunjungi ini terletak di wilayah Basque Country (nama wilayah yang mempunyai otonomi daerah di negara Spanyol), sebelah utara Spanyol, tepatnya dekat Teluk Biscay. Nama kotanya adalah San Sebastian, atau dalam bahasa Euskara (bahasa lokal setempat), disebut juga Donostia San Sebastiàn. Dalam benak saya, kota yang dijuluki Summer Capital of Spain ini, terdengar seksi, pastilah kotanya juga seseksi namanya. Siapa tahu, di sana banyak ketemu orang-orang secantik Penelope, atau mungkin saja para prianya seganteng Antonio Banderas.

Sungai Urumea dan Jembatan Kota
Kota ini konon mempunyai nilai jual properti termahal di wilayah Eropa. Sebuah sungai, Urume namanya, terbentang di tengah kota. Sungai yang memiliki endapan pasir putih ini berujung di Teluk Biscay. Saya perhatikan, pemerintah kota sangat cerdik, menempatkan stasiun bus di dekat jalan menuju sungai.
Saya berjalan sampai pengujung sungai dan tiba di kawasan Urgull. Sembari berjalan, saya merasakan embusan angin awal musim gugur yang tak henti-hentinya menerpa dedaunan oak yang berserakan di trotoar. Saya pede saja jalan sendiri, karena sudah memegang peta dari kantor pusat turis. Lagi pula, kota berpopulasi 183.090 jiwa ini tidak terlalu besar.





Di Sungai Urumea terdapat dua jembatan yang terkenal sebagai landmark kota. Jembatan pertama adalah Puente de Maria Christina, yang dibangun pada masa monarki Kerajaan Spanyol. Katanya, jembatan ini terinspirasi oleh Jembatan Pont Alexander III di Sungai Seine, Prancis. Maria Christina adalah permaisuri Raja Spanyol, Alfonso XII.

Arsitekturnya sangat klasik. Ada 4 menara, 2 di setiap ujung jembatan, disertai ornamen pahatan. Pada 1893, jembatan ini adalah jembatan kayu, sehingga penduduk kota yang tinggal di selatan bisa menuju stasiun kereta yang berada di utara. Sejalan perkembangan zaman, jembatan ini dibangun permanen dan diresmikan pada tahun 1905.

Saya terus berjalan melewati Hotel Maria Christina, salah satu hotel termegah, tempat bermalam kaum jet set. Dari dekat tampak jembatan kedua dengan pilar-pilar hijau serta lampu-lampu bulat di atasnya. Itulah Puente de Kursaal. Jembatan ini terletak di dekat Kursaal Congress Palace and Auditorium, tempat pagelaran musik dan film tingkat dunia.


Berjemur di Playa De La Concha
Berkunjung ke San Sebastian tidak lengkap rasanya jika tidak menikmati pantai-pantainya. Saya berjalan kaki ke arah pantai. San Sebastian mempunyai tiga pantai indah di wilayahnya, yakni Playa de La Concha, Playa de Ondaretta, dan Playa de Zuriolla. Pantai-pantai indah ini terletak di Teluk Biscay, diapit dua pegunungan: Monte Urgull dan Monte Igeldo.



Saya memutuskan pergi menikmati Playa de La Concha dan Playa de Ondaretta. Selain satu arah, kedua pantai ini memiliki objek wisata untuk publik, sedangkan Playa de Zuriolla merupakan kawasan hotel dan penginapan eksklusif.

Sebelum sampai di Playa de La Concha di ujung kawasan Urgull, saya melewati bangunan megah, City Hall of San Sebastian. Balai kota ini terletak tepat di pinggir kota dengan latar belakang pemandangan pantai. Tak jauh dari situ ada area taman Parque de Miramar, tempat bersantai dan taman bermain anak-anak yang dilengkapi komidi putar.

Playa de La Concha adalah pantai terbesar dan terpopuler di San Sebastian. Saat musim panas, pantai ramai dengan aktivitas olahraga air, seperti kayaking, canoeing, dan sail boating. Pantai berpasir putih yang lembut ini ‘disiram’ cahaya matahari penuh, sehingga ideal untuk tempat berjemur.
Airnya dingin dan segar. Camar-camar pantai yang sibuk mondar-mandir, menambah perasaan nyaman. Di kejauhan tampak kapal-kapal nelayan dengan tiang layar putih merapat di pelabuhan. 
Saat malam hari, pantainya yang bersih ditimpa cahaya putih yang berasal dari tiang-tiang lampu sepanjang pantai, menciptakan suasana seperti di negeri dongeng. Fantastis!


Sepiring Pintxos & Segelas Cerveza
Sebelum melanjutkan perjalanan, saya mampir dulu di kedai kopi di pinggir jalan dan menyantap pintxos (biasa disebut tapas), makanan khas daerah Basque Country. Penganan ini berupa irisan roti ukuran kecil atau sedang dengan berbagai topping. Bisa keju kambing, ham, seafood, anchovy, atau sayuran. Pintxos biasanya menjadi makanan ringan, teman minum cerveza, bir khas Spanyol. Umumnya disediakan sepaket dengan minuman, namun beberapa restoran menjual terpisah. Satu potong pintxos rata-rata berharga 3,50€ (sekitar Rp38.500) hingga 4€ (sekitar Rp44.000), tergantung ukuran.



Walaupun angin agak kencang, saya memilih minum kopi di beranda, agar bisa memandangi pantai dan melihat hilir mudik turis yang asyik menikmati pantai. Sesaat kemudian, mata saya tertumbuk pada sebuah pulau di antara Pantai Concha dan Pantai Ondaretta. Ketika saya menanyakan pada pelayan kedai, ternyata nama pulau tersebut sangat cantik, Isla Santa Clara.

Pulau ini dulu merupakan tempat bersembunyi dan berlindung dari serangan musuh. Namun, sekarang lebih difungsikan sebagai tempat pariwisata. Di pulau itu sudah dibangun hotel dan terdapat pelabuhan kecil.



Sisir Angin di Ondaretta
Ketika pasir pantai mulai berubah menjadi agak kusam, itu tandanya saya memasuki Playa de Ondaretta. Ondaretta dalam bahasa Euskara berarti pantai kecil. Pantai Ondaretta memang lebih kecil dibanding Pantai Cocha, lokasinya berdekatan dengan pegunungan Igeldo dan mempunyai batu-batu karang berwarna hitam. Itu sebabnya terjadi perubahan warna pasir pantai.


Makin ke ujung pantai, batu-batu karang makin jelas menjorok ke arah bibir pantai, sehingga banyak cerukan yang menciptakan kolam-kolam kecil saat ombak datang, sebelum kemudian surut lagi. Binatang-binatang laut, seperti bulu babi, kerang, dan bintang laut, kadang terperangkap di dalamnya.

Meneruskan perjalanan, kali ini saya tidak menyusuri pantai, melainkan berjalan di trotoar, karena ingin menuju tebing di lereng pegunungan Igeldo untuk melihat karya seni patung berjudul The Wind Comb.
Ombak di Pantai Ondaretta lebih ganas. Padahal, jarak antara bibir pantai dengan pemukiman tidak terlalu lebar. Sehingga, untuk menghindari meluapnya ombak besar, dibangun dinding penahan ombak yang cukup tinggi, menyambung sampai ke lereng pegunungan Igeldo. Di sinilah, di antara batu karang dan dinding penahan ombak, The Wind Comb berada.

Empat buah instalasi serupa capit berbentuk huruf C, dipasang dengan jarak berbeda. Makin menjorok ke arah samudra, masing-masing instalasi melekat pada sebuah karang. Susunannya, jika dilihat dari jauh, saling berhadapan, namun diselingi jarak, sehingga tampak seperti gerigi sisir. Dari arah samudra itulah angin dingin menderu ganas menuju daratan. Karena itu, karya seni ini dinamai The Wind of Comb, karya seorang seniman patung kelahiran San Sebastian bernama Haizen Orrazia.



Kota Tua yang Jelita
Kesempatan jalan-jalan di kawasan kota tua, tak saya lewatkan. Daerah kota tua ini pada zaman dahulu dikelilingi tembok pemisah, sebab ditinggali sebuah komunitas bernama Joxemaritarrak atau Koxkeroak. Orang-orang Koxkeroak adalah komunitas terbesar yang berbahasa Gascon hingga awal abad 18. Pada 1863, tembok pemisah antara komunitas tersebut dan warga kota, dihancurkan. Tujuannya untuk perluasan dan legitimasi wilayah Kota San Sebastian. Beberapa bangunan tua masih terlihat arsitektur kunonya. Kawasan kota tua ini sangat populer di kalangan turis.



Saat melihat peta, ada sebuah gereja bernama San Ignacio de Loiola. Saya pun menuju ke sana. Bangunan menaranya sangat tinggi, sehingga kamera digital saya tak mampu menjangkaunya. Gereja ini berarsitektur gothic, sama seperti San Sebastian Cathedral. Karena terletak di Distrik Loiola, gereja ini dinamai sesuai dengan daerahnya. Menurut catatan sejarah, pada 1936 Loiola dijadikan markas para pemberontak yang sering membuat kerusuhan.

Ada objek wisata lain, seperti Miramar Palace dan Gizpukoa Square. Namun, turis-turis lebih menyukai atraksi wisata berupa pagelaran budaya dan festival di San Sebastian, seperti San Sebastian International Film Festival dan San Sebastian Jazz Music Festival (Jazaldia).

Untuk perayaan tradisional setempat, yang paling terkenal adalah San Sebastian Day, yang dirayakan setiap tahun pada 20 Januari. Pada hari itu, masyarakat melakukan perayaan yang disebut Tamborrada. Perayaan ini dilakukan pada malam hari di Parte Vieja, dengan memainkan drum serta berpawai memakai baju daerah Basque Country. Setelah itu, pria dewasa akan melakukan ritual Sociodades Gastronomicas atau makan malam bersama.

Dahulu, hanya pria yang boleh ikut jamuan makan ini. Sekarang semuanya berbaur menjadi satu di Noche de La Tamborrada (Malam Tamborrada). Bagi para donostiarras (sebutan untuk penduduk San Sebastian), ini adalah perayaan yang paling ditunggu dan yang terbesar di kota ini.

Morita Sari (Kontributor)

 



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?