Travel
Montenegro, The Wild Beauty

4 Apr 2013

Lonceng gereja ortodoks, St. Triphon's Cathedral, pagi itu berdentang ketika saya, Fabiola Lawalata, memasuki area kota tua Kotor (atau disebut juga Cattaro), di Montenegro.. Kotor adalah kota pelabuhan tua yang pernah menjadi bagian dari kekuasaan Romawi sejak ribuan tahun yang lalu sebelum masehi.

The Wild Beauty

Terletak berbatasan dengan negara Kroasia, Bosnia, dan Serbia, Montenegro dikenal juga sebagai mutiara Mediterania Walaupun termasuk negara kecil di Eropa (sekitar dua kali lipat luas Pulau Bali),  negeri yang baru beberapa tahun lalu memperoleh kemerdekaan dari Serbia ini memiliki karakteristik yang luar biasa menarik. Seperti latar belakang sejarah, budaya dan tradisi, cuaca yang baik, udara bersih, alam yang indah, dan biru Laut Adriatik. Montenegro yang beribu kota di Podgorica ini menawarkan keragaman dan keindahan alam yang berlimpah.

Paling tidak, itulah sedikit alasan mengapa Montenegro, dalam iklan-iklan pariwisata, dengan percaya diri menyebut dirinya: The Wild Beauty.
Kata Montenegro yang terdengar indah pelafalannya ini berarti Pegunungan Hitam, karena memang dikelilingi undak-undakan gunung batu berwarna hitam dan di tengahnya mengalir Laut Adriatik. Tampak seperti melihat lukisan saja. Gunung-gunung batu yang terlihat dari balik kaca bus saat saya datang, memberi kesan cantik yang misterius. Pemandangan ini mengiringi perjalanan saya dari perbatasan Kroasia menuju Kota Kotor, selama dua jam.

Kotor bukan berarti kotor seperti arti harfiah dalam bahasa Indonesia dan Melayu, Kotor adalah nama kota sekaligus teluk di negara Montenegro yang merupakan tujuan utama wisatawan mancanegara. Kotor sendiri tidak memiliki arti khusus, hanya sebuah nama yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Keindahan tak perlu dipertanyakan. Teluk Kotor sempat sukses membuat Italia, Bulgaria, Serbia, Bosnia, Kroasia, dan Austria bersitegang memperebutkannya, hingga pada Perang Dunia I jatuh ke tangan Montenegro.

Pilihan yang tepat untuk tinggal di dalam wilayah kota tua. Orang lokal menyebutnya Stari Grad. Saat kaki ini melangkah masuk di antara dua pintu gerbang tinggi besar terbuat dari besi dan menyusuri jalanan dan dinding berbatu, seketika itu juga saya seperti memutar waktu,  kembali ke masa peradaban kuno. Di balik pintu besar itu terdapat kota tua tempat para penduduk lokal bekerja, hidup, dan beraktivitas. 

Gang kecil yang berbelok-belok memang membingungkan, jika Anda baru saja tiba di kota tua ini. Kehilangan orientasi rasanya wajar. Namun, tak perlu khawatir, adanya papan penunjuk arah banyak  membantu. Ditambah lagi para penduduk lokal yang ramah akan menjawab jika ada yang ingin Anda tanyakan. Bekalkan saja diri dengan peta yang bisa didapat secara cuma-cuma di toko-toko cendera mata atau hotel tempat Anda menginap.

Kebanyakan bangunan yang terlihat di dalam kota tua Kotor berfungsi untuk mengakomodasi industri pariwisata, seperti hotel, restoran, kedai kopi, dan toko cendera mata. Infrastruktur kota dipertahankan seperti zaman pertengahan. Karena usaha mereka inilah, maka UNESCO menganugerahi Kotor dengan predikat World Heritage. Tak sedikit pula rumah penduduk berada dalam kompleks kota tua. Namun, sekolah dan perkantoran umumnya berada di luar kota tua.

Tempat saya menginap terletak persis di belakang Gereja St Luc. Tiap jam lonceng gereja berdentang keras dari atas menara, selalu membangunkan saya dari tidur nyenyak sekalipun. Gereja St Luc adalah sebuah bangunan gereja sejak abad ke-12 bergaya Romawi, dengan lukisan dinding asli yang masih terjaga. Salah satu hal yang paling menarik tentang St Luc adalah bahwa gereja ini memiliki dua altar, yaitu satu altar untuk Katolik dan satu altar lainnya untuk Ortodoks. Hal ini menunjukkan kedekatan  sejarah kedua agama tersebut dan nilai toleransi yang tinggi di antara para penduduk.

Saat makan pagi, ada hal menarik. Saya disuguhi satu seloki brandy. Ternyata, menikmati alkohol saat makan pagi adalah ritual para lelaki yang tinggal di negeri-negeri Balkan. Tubuh yang semula menggigil karena hujan deras dan angin pagi itu, sekejap hangat berkat si brandy.

Dari teras hotel, saya bisa menikmati aktivitas pagi penduduk lokal, dari anak-anak yang siap berangkat ke sekolah, ibu-ibu yang menuju ke pasar, hingga pastor lengkap dengan pakaian dinas putih panjang yang melemparkan senyum simpatik seakan mengucapkan, ”Semoga harimu menyenangkan.”  Hujan yang turun terus-menerus justru membuat Kota Kotor tampak menarik. Wangi harum tanah yang tersiram air dari langit dan dinding-dinding bangunannya yang terbuat dari batu ratusan tahun, basah terkena air  hujan.

Benteng Kota Tua

Bangunan yang paling mengesankan di kota ini yang juga merupakan favorit saya adalah Gereja Katedral St Triphon, yang dibangun sejak abad ke-8. Namun, karena gempa bumi pada abad ke-12 yang mengakibatkan kerusakan, gereja ini pun direnovasi. Tampak puluhan turis kerap kali berdiri di depan bangunan ini sekadar untuk mengabadikannya dalam bentuk foto. Gereja ini memiliki peran paling penting di Kotor. Dibangun untuk menghormati santo pelindung kota. Terlihat 2 menara lonceng yang mendominasi halaman mukanya. 

St Triphon terletak tepat di tengah alun-alun kota tua Kotor. Latar belakang dari bangunan ini adalah city wall, semacam benteng yang berguna untuk melindungi kota pada masa lampau. Tata letaknya yang sedemikian rupa bagaikan pigura yang membingkai. Panjangnya 4,5 km. Ini adalah salah satu objek wajib kunjung di Kotor.

Ada pintu masuk menuju ke puncak benteng tersebut. Saya mencoba bertanya kepada  seorang penduduk lokal, bagaimana untuk bisa sampai ke puncak tersebut. Dengan bermodalkan tiket masuk seharga 2 euro (Rp22.000) per orang, saya pun mulai mendaki perlahan tangga-tangga batu itu. Setidaknya, ada seribuan tangga yang harus dinaiki. Untunglah sepatu dan kondisi saya sedang fit. Namun, saya tetap harus berhati-hati. Tangga-tangga batu itu ada yang sedikit rapuh, kecil, dan tidak rata. Jika ada orang lain yang kebetulan datang dari arah berlawanan, kami pun  harus berbagi tangga tersebut dengan hati-hati.  

No pain no gain, perjuangan menuju sampai ke atas titik tertinggi benteng kota terbayarkan. Tak ada kata yang bisa saya rangkai  untuk menceritakan betapa indah, cantik, dan menakjubkannya pemandangan kota dan Teluk Kotor dari ketinggian ini. A workout with amazing payoff.  Mungkin burung yang tinggal di area Kotor ini sangat berbahagia, terbang melayang dengan panorama semolek ini.

Deretan restoran di kota tua menunggu untuk dipilih. Tentu saja kuliner asli Montenegro yang saya cari. Secara geografis, Montenegro yang diapit oleh teluk dan Laut Adriatik serta alam bebas, membuat kuliner yang ada pun tak jauh dari hasil laut. Bagi pencinta seafood, menu pembuka riblja corba atau sup ikan bisa menjadi pilihan. Sekilas tampak seperti kuah ikan yang berasal dari Papua dan Maluku. Kuah yang asam segar dan kaya rasa karena pada pembuatannya menggunakan kaldu ayam, potongan jahe, cabai segar, bawang bombay, bawang putih, lemon, daun basil, dan tomat. Sup ikan ini disajikan bersama roti gandum khas Montenegro, pšenicni atau jecmeni.

Untuk menu utamanya, lignje na zaru adalah favorit saya. Saya tak keberatan untuk menikmatinya  tiap hari saking lezatnya. Lignje na zaru adalah cumi yang dibakar. Yang membuat cumi ini sangat enak adalah cumi direndam terlebih dahulu dalam bumbu berupa  campuran lemon dan garam laut asli, baru kemudian dibakar. Biasa disajikan dengan olahan kentang sesuai pilihan Anda: ada  kroket kentang, kentang goreng,  atau kentang rebus. Tak lupa juga ditemani dengan sayur bayam yang dimasak dengan krim.

Sebenarnya,  tak melulu ikan, ada balšica tava misalnya. Ini adalah daging sapi muda yang dimasak bersamaan dengan kentang, wortel, krim susu, peterseli, dan bawang bombay, lalu dengan api kecil dimasak sampai daging sapi   benar-benar  lunak.

Penganan asal Montenegro pun beragam. Di kedai kecil yang sempat saya singgahi, si penjual menawarkan semacam martabak telur, risoles, dan gorengan lainnya. Sayang sekali, tak tersedia cabai rawit untuk menikmatinya.

Merasakan makanan khas Montenegro yang terasa cocok di lidah membuat saya penasaran bagaimana sebenarnya pasar tradisional di Kota Kotor ini. Melihat sayur-mayur yang mereka jual-belikan, sekaligus berinteraksi langsung dengan penduduk lokal, pasti mengasyikkan. Jadilah, keesokan harinya, pagi-pagi betul, saya mengarahkan kaki menuju pasar tradisional yang terletak di luar kota tua.

Pasarnya kecil saja, namun terlihat lengkap. Mulai dari berbagai keju, beragam hasil laut, daging domba, sayuran segar ala Mediterania, seperti paprika, olive, courgette (biasa disebut mentimun jepang), peterseli, dan asparagus, hingga olahan daging dan minyak zaitun.  Semua segar!



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?