Travel
Misteri Madura

18 Jul 2011

Selama lebih dari dua dekade tinggal di Surabaya, saya, Elizabeth Swanti, nyaris tak mampu mengingat seperti apa rupa Madura. Kecuali, keindahan siluet pulaunya melalui balkon rumah saya. Pulau yang tertutup kabut pada pagi hari, dan kelip lampu bangunan-bangunannya pada malam hari. Sampai suatu hari, ketika hasrat berlibur saya makin tak tertahankan, Madura menjadi pilihan pertama saya. Berangkat pagi-pagi, saya menghabiskan waktu seharian mengelilingi pulau seluas 5.250 kilometer persegi, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah saya, ini.

Jalesveva Jayamahe!
Secara administratif, Madura berada di bawah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 1920. Konon, pulau ini sering menjadi tempat pelarian para prajurit dari kerajaan-kerajaan di Kediri, Majapahit, dan Mataram. Hebatnya, pulau yang luasnya bahkan lebih kecil dari Bali ini ditinggali oleh hampir 4 juta jiwa (penduduk Bali sekitar 3,8 juta jiwa).

Ada banyak cara menuju Madura. Melalui jalan darat, tersedia bus dari berbagai terminal di Surabaya, atau membawa kendaraan pribadi pun tak masalah. Transportasi utama menuju Madura saat ini masih berada di Pelabuhan Ujung, Surabaya. Tetapi, jalur yang populer digunakan saat ini adalah Jembatan Suramadu.

Semenjak diresmikan pada Juni 2010, jembatan sepanjang 5,3 km ini sudah dilewati oleh lebih dari dua juta kendaraan. Mulai dari motor hingga bus. Untuk pengguna motor, dikenakan tarif Rp30.000 sekali jalan, pengguna mobil Rp70.000. Keberadaan jembatan ini memang mempermudah jalur destinasi, baik wisata maupun perdagangan ke Madura dengan tujuan utama ke Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan.

Saya memilih menggunakan kapal, yang ternyata murah sekali, hanya Rp4.000! Tak disangka, feri ini sangat modern, dilengkapi arena bermain untuk anak di setiap tingkat deknya. Bahkan, tersedia juga ruang karaoke, bar mini, dan bioskop mini! Saya menjadi makin bersemangat. Saya memandang tak sabar ke arah pulau yang menanti di seberang.

Sepanjang penyeberangan, kapal yang saya tumpangi berpapasan dengan banyak kapal lain. Mulai dari sesama kapal feri, kapal patroli, kapal besar penangkap ikan, kapal pengangkut barang dengan bertumpuk kontainer di atasnya, hingga kapal perang! Jalur laut ini memang dekat dengan markas TNI Angkatan Laut Surabaya. Saya memandang ke bawah, tak tampak apa-apa, hanya air laut biru kehijauan yang tak mau menampakkan isinya. Di ujung dermaga, tampak patung Jalesveva Jayamahe berdiri dengan kokoh. Patung itu berdiri tegak, menantang laut. Menegakkan makna semboyan yang diusungnya: ‘Di Laut Kita Jaya!’ (f)



‘Kekayaan’ Keraton Sumenep
Lima belas menit kemudian, kapal tiba di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, Madura. Turun dari kapal, puluhan sopir angkutan sudah mengerubungi, menawarkan jasanya. Tujuan pertama saya adalah Sumenep. Saya pun memilih angkutan yang sudah penuh supaya cepat berangkat.

Angkutan umum berpelat nomor M itu berjalan menelusuri Sumenep, kota di ujung timur Madura. Kota ini juga kerap menjadi lokasi utama Festival Karapan Sapi. Tetapi, berhubung Festival Karapan Sapi belum tiba, maka saya mengeksplorasi sisi lain yang menarik.

Keraton Sumenep adalah satu-satunya keraton di Jawa Timur yang mengawinkan unsur Arab dengan Cina. Hal ini juga terlihat dari ornamen Masjid Agung Sumenep yang dibangun pada abad ke-18 dan menjadi salah satu masjid terbesar di Indonesia. Karena kultur lokalnya masih kental, Sumenep dianggap sebagai akar budaya Madura. Hal ini salah satunya terlihat lewat logat penduduk asli Sumenep yang lebih mirip orang Solo ketimbang Madura.

Menyeberang ke depan masjid, saya berjalan menuju Museum Keraton Sumenep. Di keraton itulah budaya Madura bermula. Bangunan keraton dari abad ke-18 itu tampak terawat apik dengan taman yang sejuk dan asri. Sejumlah peninggalan furniture dan aksesori istana juga terawat. Di samping keraton, terletak Tirta Sari, kolam pemandian putri dan raja zaman dahulu. Ada tiga tangga dibangun menuju kolam. Setiap jalur tangga memiliki makna sendiri. Jalur tangga pertama bermakna kecantikan atau ketampanan, jalur kedua untuk kesejahteraan atau kenaikan pangkat, jalur ketiga untuk memperkuat keimanan.

Saya direkomendasikan untuk makan siang di kedai kecil samping masjid. Nasi lemak Madura menjadi menu andalan kedai tak bernama itu. Menunya, nasi uduk dengan orek-orek kacang, rendang daging, dan rendang telur yang semuanya menggunakan petis Madura berwarna kuning, bukan hitam seperti petis Jawa Timur. Kenikmatan rasanya melebihi harganya yang hanya Rp5.000 per porsi. (f)



Pantai Slopeng & Lombang
Berdasarkan informasi, ternyata Sumenep juga menyimpan keindahan pantai yang masih bersih. Pantai Slopeng dan Pantai Lombang, dua pantai ini bisa ditempuh sekitar setengah jam dengan angkutan umum. Pantai pertama yang saya tuju adalah Slopeng, di utara Madura. Keindahan pantai tanpa gerbang pembatas ini bisa dinikmati di sepanjang jalan raya. Pasirnya kekuningan dengan jejeran kapal nelayan berwarna-warni.

Selanjutnya, saya menuju ke Lombang, yang berjarak satu jam dari Slopeng. Pantai ini lebih komersial dan ramai. Terkenal dengan pohon cemara udang yang konon hanya ada dua di dunia: Madura dan Cina. Pantai Lombang juga terkenal dengan kasur pasirnya yang halus dan empuk. Sayangnya, ketika saya tiba, hari sedang mendung dan saya tidak berminat mencicipi kasur pasirnya dengan ditemani angin setengah kencang.

Selain memiliki pantai terindah di Madura, Sumenep juga terkenal dengan tempat pelelangan ikan. Tetapi, karena matahari sudah berada di angka 10, saya tak sempat menyaksikan kegiatan pelelangan ikan yang ramai itu. (f)



Pulau Garam
Melewati daerah Kalianget, saya terpesona oleh kilau garam di permukaan kiri dan kanan jalan. Sesekali terlihat petani garam mengais ’berlian-berlian’ itu ke pikulan, yang kemudian ditumpukkan di sudut tertentu. Tumpukan garam itu kemudian diangkut ke gudang, lalu dikemas dan dijual ke pasar.

Sejak zaman kolonial Belanda, Madura telah menjadi penghasil dan pengekspor utama garam. Salah satu alasan mengapa Madura menjadi penghasil garam adalah karena tanah di Madura kurang cukup subur untuk dijadikan lahan pertanian. Saya hanya berhenti sejenak untuk memotret deretan tambak garam yang indah itu sebelum memasuki Kota Pamekasan.

Pamekasan cenderung lebih subur, dengan komoditas utama berupa tembakau, jagung, dan singkong. Ternak sapi juga merupakan bagian penting ekonomi pertanian di pulau ini dan memberikan pemasukan tambahan bagi keluarga petani. Dan, tentunya penting untuk kegiatan karapan sapi dan ‘peragawati’ sapi yang menjadi agenda tahunan pulau ini. (f)



Berburu Batik di Pasar Kolpajung
Di Pamekasan, saya sempatkan untuk mampir ke pasar tradisional Kolpajung khusus untuk berbelanja batik lokal. Di pasar ini, dijual semua jenis batik Madura, mulai dari batik Sumenep yang motifnya halus kecil-kecil, hingga batik Gentongan dari Tanjung Bumi, Bangkalan.

Batik Madura memiliki daya pikat tersendiri, terlihat dari pewarnaannya yang ngejreng, taburan warna kontras, dan coretan yang agak kasar. Yang sedang tren adalah batik laskar pelangi, sebutan penduduk setempat untuk batik bermotif warna-warni seperti pelangi. Batik kontemporer lainnya juga bermunculan seperti batik suramadu yang ditampilkan berupa sulur-suluran. Lucunya, ada pula yang namanya batik Inul dan batik Manohara!

Saya tak melewatkan untuk mencicipi rujak cingur Madura di samping pasar. Berbeda dari rujak cingur Surabaya, rujak Madura menggunakan kerupuk dari tepung beras. Sedap!
Dalam perjalanan, saya melewati Pasar 17 Agustus, yang lebih dikenal dengan pasar hewan oleh masyarakat setempat. Melihat banyaknya sapi yang nongkrong di atas truk dengan bak terbuka yang parkir di depan pasar, tak ada yang menyangka bahwa di dalam pasar juga banyak kios penjual batik Madura. Harganya mulai dari Rp20.000! Saya berbelanja kain batik pesisir dengan warna oranye menyala. (f)



Bangkalan & Mercusuar Tua
Menjelang sore, saya tiba di Bangkalan, kota di ujung barat Madura. Daerah ini paling mudah dijangkau dari Surabaya, dan merupakan kota pertama setelah Pelabuhan Kamal. Bangkalan telah mengalami industrialisasi sejak tahun 1980-an, dan menjadi daerah suburban bagi para pelaju ke Surabaya. Jembatan Suramadu berada tepat di pinggir kota ini.

Saya lalu menuju mercusuar Sambilangan yang berjarak hampir 2 jam dari kota. Hanya ada dua kendaraan umum yang menuju ke Sambilangan. Para sopir angkot mengadu untung dengan menunggu penumpang yang hendak menuju ke sana.

Bila melihat Pamekasan yang cenderung lebih ramai dan hijau, rasanya tak percaya bila kota berikutnya adalah wilayah yang gersang. Madura memang misterius. Perjalanan saya melewati hutan, kemudian bertemu tambak, lalu hutan lagi, kemudian  tambak lagi selama berkali-kali sebelum akhirnya bertemu laut, membuat Madura makin misterius di mata saya.

Aroma laut makin kental tercium membuat saya menyadari kedekatan saya dengan mercusuar. Sebuah tiang menjulang dari kejauhan. Saya masih harus berjalan kaki lagi menembus tambak dan jalan setapak berjarak 500 meter yang berdinding pohon meranggas sebelum tiba di kompleks mercusuar tersebut.

Melihat usia pembuatannya, bangunan ini merupakan salah satu mercusuar tertua di Indonesia. Menara pengintai laut ini dibangun tahun 1897 dengan ketinggian 60 meter, yang terbagi atas 16 lantai. Meski dibangun lebih dari satu abad lalu, bangunan ini masih kokoh berdiri. Hebatnya, mercusuar ini masih beroperasi setiap malam, memberi tanda pada kapal-kapal yang melewati Selat Madura.

Pemandangan di sekeliling mercusuar agak gersang. Mungkin karena musim panas yang cukup panjang. Laut menghampar dengan tenangnya. Suara kicauan burung pesisir terdengar melayang-layang mengelilingi mercusuar. (f)



Tip
1. Jika ingin menginap, di Sumenep ada Hotel Garuda atau Hotel New Ramayana yang terletak di pusat kota. Di Pamekasan, ada Hotel Camplong Beach Cottage yang berada di antara Pantai Camplong. Harga kamar per malam rata-rata Rp100.000-Rp175.000.

2. Wisata kuliner di Sumenep ada kawasan bernama Sae Salera, yang menjual berbagai macam jenis makanan khas Jawa Timur dan Madura. Antara lain, rujak cingur, rujak soto, kaldu soto, dan sate lalat. Coba juga soto sabreng (sejenis soto babat) di area Jl. Letnan Ramli, Pamekasan,  bebek goreng Madura (Warung Barokah) di Jl. KH. Kohlil, Bangkalan, dan nasi petis (Depot Amboina)   di sebelah Masjid Jamik, Bangkalan.

3. Belanja batik yang murah di Pamekasan adalah Toko Batik Fiesta dan di Pasar Kolpajung. Harganya sebaiknya ditawar hingga 50%. Harga yang disarankan untuk batik pesisir biasa adalah Rp20.000. Di Sumenep bisa membeli batik di Museum Keraton.

Elizabeth Swanti (Kontributor - Jakarta)
Foto: Dok. pribadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?