Travel
Meresapi Sejuknya Hanoi

18 Jul 2014


Hadiah perjalanan 5 hari 4 malam ke Hanoi, Vietnam, dipersembahkan oleh Dwidaya Tour bagi pemenang Wajah Femina 2013: Juwita Rahmawati (Pemenang I), Nabila Arlita (Pemenang II), dan Michelle Sow (Pemenang II).  Berikut ini cerita Redaktur Senior femina, Nuri Fajriati, saat menemani mereka menikmati salah satu tujuan wisata populer di Asia Tenggara ini.  


Meresapi Sejuknya Hanoi

Merasakan atmosfer kecantikan negeri Indochina  dan menyusuri kedai-kedai kopi tradisional Vietnam yang terkenal keharumannya, sebuah cara menikmati Vietnam.

Kami semua belum pernah menginjakkan kaki di Hanoi. Kota kecil yang sejuk ini menyapa kami dengan keramahan dan kebersahajaan kotanya, jauh dari hiruk pikuk gedung pencakar langit yang seolah memamerkan ‘kekayaannya’. Tapi, justru di situlah kelebihan kota populer kedua di Vietnam setelah Ho Chi Minh City ini.

Legenda Kura-Kura
Menurut banyak orang yang pernah menyinggahi kota ini, belum lengkap ke Hanoi kalau belum singgah ke Hoàn Kiem Lake. Danau ini bisa dibilang ‘jantung’ Kota Hanoi. Sebab, di sinilah pusat kerumunan warga yang membaur dengan para turis. Berada di kawasan kota tua alias Old Quarter, danau ini selalu ramai sejak pagi hingga malam.
Di pagi hari, tepian danau biasanya dimanfaatkan oleh mereka yang berolahraga, seperti jalan kaki, lari, hingga senam tai chi. Siang hingga sore hari, giliran turis berdatangan untuk mengunjungi kuil yang berada tepat di tengah danau. Beberapa orang di antaranya terlihat sekadar duduk-duduk di bangku taman setelah lelah berkeliling area Old Quarter yang  dipadati penjual cendera mata.
Lokasi dengan landscape danau, pohon besar, ini juga lokasi foto pre-weddding favorit. Makanya, tak heran jika di sana sini tampak pemotretan pasangan calon pengantin. Kami malah sempat bertemu pasangan yang jauh-jauh datang dari Jepang untuk berfoto di sini.
Salah satu spot andalan adalah jembatan melengkung warna merah yang disebut Jembatan Huc. Jembatan ini mengantarkan kami ke Ngoc Son Temple atau Kuil Gunung Batu Giok, kuil yang dibangun untuk menghormati jenderal terkenal di abad ke-13, Tan Hung Dao.
Di sebelah kiri ruang utama kuil, kami menemukan ruangan berisi seekor kura-kura berukuran sangat besar yang diawetkan. Panjangnya 2,1 meter dan beratnya mencapai 250 kg. Kura-kura itu ditemukan tahun 1968 dan diperkirakan usianya mencapai 500 tahun.
Kura-kura termasuk hewan yang dihormati dalam budaya Vietnam. Keberadaannya di danau ini bahkan ditampilkan dalam pertunjukan water puppet yang kami tonton sebelumnya di Thang Long Puppet Theatre, di area danau. Diceritakan, di danau inilah Dewa Kura-Kura pernah muncul dan meminta kembali pedang sakti yang pernah diberikan Dewa pada Le Loi, seorang pahlawan untuk mengusir musuh. Danau yang dulunya bernama Luc Thuy (air hijau) lalu berganti nama menjadi Hoan Kiem yang berarti ‘pedang yang dikembalikan.’
Kura-kura juga dianggap sebagai lambang ilmu pengetahuan dan kepandaian oleh orang Vietnam. Di Temple of Literature --Universitas pertama di Vietnam yang kini menjadi museum yang tamannya begitu terawat-- nama-nama lulusannya diukir di batu prasasti.
Uniknya, prasasti itu diletakkan di atas punggung patung kura-kura. Ada kepercayaan,  siapa pun yang sedang berusaha menyelesaikan sekolahnya disarankan  untuk berdoa dan mengelus patung kura-kura yang berada di kuil itu. Mendengar cerita itu, Juwita dan Michelle pun segera mengelus kepala sang patung kura-kura. “Semoga saya bisa segera lulus kuliah,” ujar Juwita.



Mengunjungi Uncle Ho
Untuk lebih mengenal sejarah kota ini, kami mengunjungi Mausoleum Ho Chi Minh. Saat memasuki gedung Mausoleum, yang saya rasakan, suasananya berkesan mencekam. Wajah Michelle terlihat menegang, tangannya menggamit lengan saya erat. Di dalam ruangan, kami tidak diperbolehkan bersuara. Pengunjung diminta berbaris rapi satu per satu, sementara seluruh peralatan gadget tak diperkenankan masuk.
Di dalam ruangan temaram dan bersuhu dingin, terbaring jasad Ho Chi Minh yang dibalsam dalam balutan seragam berwarna khaki. Penataan lampu membuat seolah tokoh Vietnam yang meninggal tahun 1969 itu seperti orang yang sedang tidur saja. Delapan tentara penjaga diam mematung, bergiliran jaga. Kami tak boleh berhenti, hanya melihat sekilas sambil berjalan. 
“Rasanya seperti masuk kuburan dan mengunjungi orang yang sudah meninggal. Tadinya saya agak takut, tapi rasa takut itu berangsur hilang. Saya malah jadi penasaran, sebegitu dipujanyakah Uncle Ho di sini sampai diperlakukan seperti ini?“ ujar Michelle, saat kami sudah tiba di lapangan Ba Dinh Square, tempat kami mengantre dari pukul 8.00 pagi tadi.
Terjawab sudah rasa penasaran kami. Selama ini, pengunjung tak diperkenankan mengambil gambar di dalam gedung, otomatis kami tak pernah melihatnya di media mana pun. Ini yang membuat kami tak punya bayangan seperti apa isi Mausoleum Ho Chi Minh ini. Bukan hanya turis asing, warga lokal menjadikan Mausoleum ini sebagai tujuan kunjungan saat ke Hanoi.
Pagi harinya, kami sempat bertemu rombongan pelajar Vietnam. Mereka  mengenakan pakaian tradisional berwarna hitam-hitam, yang lain berwarna putih-putih dengan selendang membungkus kepala. Menurut Feng, pemandu lokal kami, mereka adalah etnis yang tinggal di pegunungan. Ada 54 etnis di Vietnam, yang terbesar adalah suku Viet. Suku-suku di luar Viet biasanya hidup di pedesaan dan pedalaman.
Biasanya, setelah dari Mausoleum, turis akan lanjut mengunjungi museum Ho Chi Minh yang ada tepat di sebelahnya. Museum ini terdiri dari beberapa bangunan yang digunakan Ho Chi Minh di tahun-tahun terakhir hidupnya.
Pengunjung hanya bisa mengintip ruang kerja dan kamar tidurnya yang bersahaja dari jendela. Menjadi pemimpin negara yang bergejolak membuat Ho Chi Minh memutuskan untuk tidak berkeluarga dan memberikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk Vietnam. Yang menyentuh,  saat mendekati akhir hidupnya, ia menyepi di sebuah ruangan kecil dan tinggal di situ hingga tutup usia.
Memiliki nama asli Nguyen Sinh Cung, Ho Chi Minh yang berarti pembawa terang, menghabiskan masa mudanya di Prancis. Dialah yang mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam dari Prancis pada   2 September 1945, dan   menyatakan berdirinya Democratic Republic of Vietnam. Saat itu Vietnam terbelah dua, Vietnam Utara yang sosialis dan dipimpin Ho Chi Minh, serta Vietnam Selatan yang antisosialis. Pada masa kepemimpinannya, Ho Chi Minh berusaha mempersatukan Vietnam Utara dan Selatan, yang menyebabkan terjadinya perang saudara. Namanya diabadikan sebagai nama kota Ho Chi Minh, menggantikan Saigon.


Belanja Kopi Sedap
Berada  di utara Vietnam, dekat dengan Tiongkok, Hanoi memiliki suhu yang sejuk. Saat kami berkunjung,  bulan Maret, suhunya sekitar 15° C. Masih berada di akhir musim dingin, walau tanpa salju. Hujan gerimis membuat kami harus merapatkan jaket di pagi, sore, dan malam hari. Cuaca seperti ini pas sekali untuk menyesap segelas kopi Vietnam yang terkenal pekat dan harum.
    Sejak hari pertama, saya dan Nabila sudah berencana nongkrong di kedai kopi, tapi baru kesampaian di hari ketiga. Berbeda dengan kafe atau kedai kopi pada umumnya, di kedai kopi tradisional Hanoi, orang-orang duduk di bangku-bangku plastik atau kayu kecil dan rendah.
Untuk memesan, bilang saja, ‘ca phe den untuk kopi hitam, ca phe sua nong untuk kopi susu panas, atau ca phe su’a da untuk es kopi susu. Secangkir kopi hitam atau kopi susu panas biasa disajikan dalam gelas keramik kecil, sedangkan es kopi disajikan dalam gelas kaca bening.
Seperti juga roti baguette yang meng inspirasi lahirnya banh, roti isi sayuran dan daging yang terkenal di Vietnam, tradisi minum kopi ini dibawa oleh bangsa Prancis pada abad ke-19. Penggunaan susu kental manis awalnya dilakukan untuk mengganti susu segar yang dulu sulit didapat.
    Perlu waktu beberapa menit untuk menanti secangkir kopi hitam yang kami pesan. Soalnya, untuk menyeduh kopi, orang Vietnam menggunakan filter dripper yang disebut phin. Seperti namanya, kita harus menunggu kopi yang diseduh air panas dan disaring menetes perlahan lewat lubang-lubang kecil di bagian bawah saringan. Hasilnya, kopi kental tanpa ampas.
Kopi Vietnam terasa gurih, nutty, lembut, dan tidak terlalu asam. Ini karena proses roasting biji kopi ditambahkan butter. Selain itu, biasanya kopi yang disajikan adalah paduan antara kopi jenis arabika yang beraroma harum dan robusta yang bercita rasa kuat. Saya dan Nabila langsung jatuh cinta pada sesapan kopi kami yang pertama.
Sebelum pulang, Nabila   memborong bubuk kopi juga phin. Karena Vietnam adalah eksportir kopi kedua terbesar di dunia setelah Brasil, tak heran kalau ada banyak pilihan jenis kopi yang tersedia. Menurut Nabila yang memang pencinta kopi, walaupun kopi Indonesia tak kalah nikmat,  kopi Vietnam memiliki cita rasa yang beda.
Kopi termahal yang ditawarkan adalah jenis weasel, sejenis dengan kopi luwak, karena sama-sama berasal dari kopi yang sempat difermentasikan oleh sejenis musang. Juwita dan Michelle, yang sebetulnya bukan peminum kopi,  ikut-ikutan memborong kopi. Kurang komplet memang kalau pulang dari Vietnam tanpa belanja kopi. 


TIP:
1. Belum ada penerbangan langsung yang menghubungkan Jakarta dan Hanoi. Anda bisa mencapainya melalui Kuala Lumpur atau Ho Chi Minh City. Waktu penerbangan dari Jakarta ke Ho Chi Minh City memakan waktu tiga jam, ditambah dua jam penerbangan dari Ho Chi Minh City ke Hanoi.
2. Perhatikan peraturan saat mengunjungi Mausoleum Ho Chi Minh. Anda tidak diperbolehkan mengenakan celana pendek, tank top, topi, kacamata hitam, dan sandal jepit. Kamera dan tas pun harus dititipkan dan tidak boleh dibawa masuk.
3. Perhatikan cuaca dan musim sebelum berkunjung. Pada akhir hingga awal tahun, suhu di Hanoi bisa di bawah 10° C, berangin, dan hujan. Pastikan pakaian Anda cukup memadai. Suhu di Hanoi jauh berbeda dengan Ho Chi Minh City di selatan Vietnam yang cenderung lebih panas.
4. Di Hanoi, banyak  toko kecil yang menjual pakaian sisa ekspor, semacam factory outlet. Pakaian casual bermerek seperti H&M, GAP, dan NIKE dengan harga pabrik bisa didapat di sini.
5. Hampir di semua toko di Hanoi, Anda bisa melakukan pembayaran menggunakan mata uang dolar maupun dong Vietnam. (Nuri Fajriati)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?