Travel
Merangkai Rasa Di Kampuang Randang

21 Nov 2014

“Makanan adalah iktikad baik untuk bertemu”, itu tagline dari film Tabula Rasa, karya produser Sheila Timothy dan sutradara Adriyanto Dewo. Ditayangkan 25 September 2014, film bergenre drama ini dipadati oleh filosofi kuliner Minang yang dieksekusi secara prima, dan diuntai apik sepanjang konflik yang saling beradu antar pemainnya. Sesuai tuntutan skenario, pemain memang digodok dalam workshop kuliner demi menampilkan adegan memasak yang natural. Behind the scene unik yang ditampilkan di femina edisi dua minggu lalu.
    Terpesona oleh keelokan alam dan budaya yang dilalui kala riset, LifeLike Pictures --production house yang memproduksi film Tabula Rasa-- menerbangkan sejumlah media terbatas ke Sumatra Barat. Titik-titik kuliner teristimewa yang menjadi inspirasi para pemikir di belakang film Tabula Rasa, diselami oleh femina dalam sebuah tur berdurasi empat hari.


SARAT REMPAH
Saya merasa berada di tangan yang tepat kala mengetahui bahwa Minang-Tabula Rasa Tour ini dibimbing oleh Reno Andam Suri. Bersama chef Adzan Budiman, mereka berdua adalah culinary advisor untuk film ini. Uni Reno –begitu ia akrab disapa-adalah wanita di balik produk Rendang Uni Farah sekaligus penulis buku Rendang Traveller dan Rendang-Minang Legacy to the World.
Sesampainya di Kota Padang, Uni Reno mengajak kami menikmati soto terpopuler di Kota Padang, Soto Garuda. Ini pengalaman pertama saya mencicipi langsung di tanah kelahiran soto dengan isi daging sapi yang garing itu. Cita rasa kuahnya cenderung lebih nendang ketimbang yang biasa dinikmati di ibu kota.  Pekat bumbu serta rempah kapulaga dan cengkih yang tajam memberikan saya sebuah standar dalam menilai semangkuk soto Padang.
Saya langsung mengaitkan rasa soto ini dengan penjelasan Uni Reno mengenai kuliner pesisir Padang yang pekat rempah. “Warna masakannya dipengaruhi oleh peran kawasan ini sebagai jalur perdagangan rempah di masa lalu,” jelasnya.
Sebagaimana di Jakarta, seporsinya disajikan dalam mangkuk yang tak kelewat besar. Rombongan kami memang harus menyisakan ruang dalam perut untuk beberapa perhentian jajan di Bukittinggi. 
Warung penjual Bika Talago adalah persinggahan berikutnya, di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi. Kue ini tampak seperti  wingko babat ukuran jumbo. Adonannya diracik dari tepung beras, kelapa parut, dan gula pasir. Teksturnya tak sepadat wingko yang dibuat dari tepung ketan.
Alat panggangnya menarik. ‘Oven’ dibuat dari wadah tanah liat seukuran baskom, berfungsi sebagai penghantar panas dari api bawah, sekaligus wajan pemanggang bika.  Sementara di atasnya, wadah tanah liat berisi kayu bakar berapi menjadi penutup sekaligus sumber panas dari atas. Saat matang, permukaan dan bagian dasar bika berwarna kecokelatan.
Warung ini juga membuat variasi berbasis pisang. Rasanya dua kali lipat lebih legit dengan pemanis dari gula aren.
Sempat membaca sebuah ulasan femina tentang Rumah Makan Family Benteng, saya gembira bukan main ketika mengetahui bahwa tempat legendaris ini termasuk dalam itinerary. Di sini, di tahun 1950-an, lahir resep ayam pop.
Dalam penilaian saya, inilah ayam pop paling sedap yang pernah mampir di lidah. Komposisi bahan sederhana, yaitu  cuka, minyak kelapa buatan sendiri, dan garam, direbus bersama ayam kampung. Tekstur permukaan ayam mengilap, dengan daging yang sangat lembut dan padat rasa, walau tak digoreng.


KENALAN DENGAN RINUA DAN PENSI

Menikmati keindahan Danau Maninjau dari Puncak Lawang sambil menikmati sajian   legendarisnya adalah agenda di hari kedua. Sepanjang jalan, kami melihat labu parang atau labu kuning disimpan dalam gudang teralis. “Labu kuning adalah hasil kebun melimpah di daerah ini,” jelas Uni Reno, yang seolah tak pernah lelah memandu kami sepanjang perjalanan.
Tak heran, sesampainya di sana, kami disuguhi ragam kudapan berbahan labu kuning. Dimulai dari cake, serabi, kue mangkuk, puding, hingga keripik. Perpaduan warna gunung, birunya danau, dan awan seputih kapas jadi panorama memukau selama kami bersantap serabi labu kuning. Sejauh ini, semua foto yang saya hasilkan tak membutuhkan efek apa pun. Segalanya natural, persembahan alam.
Berkat berkunjung ke area ini, saya meraih kesempatan untuk melihat ikan rinua segar tanpa harus turun ke danau. Ikan rinua adalah ikan teri air tawar yang lebih kecil dari ikan teri nasi. Di daerah Sulawesi, ikan serupa dikenal dengan nama ikan nike. Ikan rinua biasanya dimasak ala perkedel, pepes, rempeyek, dan dendeng (ikan dikumpulkan jadi satu dan dibuat seperti adonan perkedel yang ditipiskan). Yang mengejutkan, cita rasa dendeng rinua seperti dendeng daging sapi pada umumnya, sangat gurih!
 Pensi (Corbicula sumatrana Clessin) adalah kerang air tawar berukuran mini dari Danau Maninjau dan Singkarak. Biasanya, pensi direbus bersama bumbu atau dimasak rendang. Cangkangnya sangat tipis, sehingga bisa digigit untuk mendapat daging di dalamnya. Unik!


SERIBU WAJAH RENDANG
“Rendang sebetulnya adalah teknik memasak, yang artinya menihilkan air,” tutur Uni Reno tentang makna rendang yang kerap disalahartikan publik. Warna kehitaman dan bumbu sudah tak mengandung air adalah ciri masakan sudah menjadi rendang. Jika komposisi bahannya masih basah, maka disebut kalio.  Karena itu, masyarakatnya sah-sah saja mengolah bahan di luar daging sapi untuk diolah dalam teknik rendang (merandang). Daging sapi, ayam, telur, hingga dedaunan bisa diolah menjadi rendang.
Bicara soal signature dish Minang ini, saya diajak bertandang ke Nasi Kapau Uni Cah di Bukittinggi. Rumah makan ini paling terkenal dengan rendang ayamnya. Suasananya ramai, penuh antrean. Bumbu rendang buatan wanita yang aslinya bernama Nafsah ini begitu kaya rasa.
Jika biasanya merandang didampingi kentang, Uni Cah memasukkan potongan singkong seukuran dadu ke dalamnya. Proses merandang membuat singkong menjadi garing berkat minyak yang muncul selama pemasakan berjam-jam.


























BERBURU PASAR DI PAYAKUMBUH

Tujuan di hari ketiga bukanlah sekadar menjadi penikmat kuliner, tetapi melihat proses sebelum memasuki dapur. Beby mengajak kami singgah di Pasar Ibuh untuk melihat aktivitas di dalamnya. Yang paling membuat terkesima adalah saat mampir ke kios khusus bumbu masak. Berjejer ibu-ibu perkasa yang berprofesi sebagai penggiling cabai dan bawang. Salut!
    Ukuran cobek di sini berdiameter sekitar 50 cm, disertai dua batu yang memiliki fungsi berbeda. Yang berbentuk lonjong pipih untuk memecah cabai atau bawang merah, sementara batu bentuk silinder digunakan untuk menggiling. Mereka mengulek sangat cepat! Bayangkan, dalam waktu 10 menit dihasilkan 1 kilogram cabai. Sebegitu cepatnya bumbu dihasilkan, sebegitu cepatnya pula bumbu terjual saking tingginya peminat. Bumbu ini biasanya berpindah ke dapur lapau maupun rumahan sebagai bumbu dasar rendang, gulai, atau lado mudo.  
    Tepat di sebelahnya, terdapat kios ayam potong. Dalam pakem masakan Minang, kulit ayam tak disertakan dalam masakan. Saya mendapat ilmu baru kala menyaksikan proses tangkas para pedagang dalam mendapatkan daging ayam skinless. Meski bukan pemandangan yang patut dilihat,   proses pengulitan ayam di sini cukup unik.
 Tanpa melewati proses pencabutan bulu dengan bantuan air mendidih sebagaimana rumah potong pada umumnya. Setelah disembelih, bagian bawah kedua sayap disayat hingga menyentuh bagian daging. Kemudian bulu dan kulit ditarik seperti menyobek mengarah ke paha. Hasilnya, ayam kupas dengan cara kilat.


DISUGUHI UNI EMI

Masih di Payakumbuh, kami mengunjungi kampung Uni Emi, ibu rumah tangga paruh baya yang banyak berbagi ilmu rendang kepada Uni Reno. Uni Emi juga yang mengajari chef Will Meyrick cara merandang.
Jasa beruk adalah sebutan orang Minangkabau untuk monyet yang digunakan untuk membantu memilihkan kelapa dari pohonnya. Monyet-monyet pintar, karena mereka bisa memilihkan kelapa penghasil santan yang tuanya pas.
Untuk memeras santan, alat tradisional yang digunakan adalah kacik. Bentuknya seperti bangku berkaki empat dengan lubang di sisi kiri. Bagian atas berlapis kayu, digunakan untuk menekan kain berisi kelapa parut yang sudah diisi sedikit air. Cara menekannya, dengan didudukkan di sebelah sisi kanan.  
    Dengan sigap Uni Emi dan para tetangganya   menyiapkan aneka masakan rumahan bagi kami. Sebelumnya, beliau sudah mengajari kami cara merandang bola-bola daging sapi giling. Sajian berbeda, karena menurutnya rendang berbasis daging sapi potong sudah biasa kami nikmati. Selain itu, hadir juga gulai ikan, gulai daun paku (pakis), dendeng batokok, rendang telur, dan rendang daun kayu (daun yang diambil dari beberapa tumbuhan di pekarangan).

HIBURAN DI TELUK BAYUR
Di hari keempat, saatnya kembali ke ibu kota. Tetapi, tak lengkap meninggalkan kampung halaman karakter Mak, Natsir, dan Parmanto dalam film Tabula Rasa ini tanpa mencoba gulai kepala ikan. Mencari tempat makan ikan yang segar di mana lagi kalau bukan di pesisir Teluk Bayur.
Kami menyempatkan ke daerah pelabuhan ini untuk ke rumah makan Ni Yas. Porsi di sini cukup memuaskan. Satu kepala ikan bisa disantap 2-3 orang. Bumbu gulainya meresap sampai ke bagian terdalam kepala ikan. Sambil ditemani semilir angin laut, kami serius mengisap daging-daging terenak di bagian kepala ini. Hmm, terutama daging di bagian pipi ikan. 
Yang juga enak adalah lado jengkol ikan bilis. Tekstur jengkolnya empuk tanpa aroma mengganggu, ditemani ikan teri yang jadi penambah rasa. Belum lagi sambal hijaunya yang menggugah selera. Riuh-rendah obrolan kami mengisi warung bercat pink ini.  Makanan menjadi ‘obat’ keakraban kami.

VALENTINA LIMBONG





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?