Travel
Menjelajah Pulau Biawak

21 Oct 2011

Mungkin, banyak orang mengira bahwa Pulau Biawak ini lokasinya tak jauh berbeda dari Pulau Komodo. Padahal, mereka bahkan tidak dalam satu provinsi yang sama. Pulau Biawak terletak di sebelah utara Pulau Jawa bagian tengah, masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Dengan luas daratan 742 hektar yang sebagian besar terdiri dari hutan bakau, Pulau Biawak menjadi kawasan konservasi endemik burung-burung liar dan (tentu saja) bagi biawak-biawak yang ada di sana.

Kompas Alami
Tiba saat tengah malam di perempatan Celeng, yang sudah berada di wilayah Kabupaten Cirebon dan ditandai oleh tiga buah replika batu baterai raksasa, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Karangsong, tempat pelelangan ikan di pelabuhan, tempat banyak nelayan menawarkan kapalnya untuk mengantar ke Pulau Biawak.





Setelah bertemu Pak Tasim, kami naik perahu kelotok. Perahu bermesin tunggal yang sepanjang perjalanan mengiringi dengan bunyi mesin ‘tok… tok… tok…’ ini seolah menjadi nyanyian sepanjang perjalanan.

Saya yang duduk di buritan langsung mengambil posisi setengah tiduran agar dapat mengamati bintang di langit. Bisa dibilang, Pak Tasim dan teman-temannya merupakan nelayan tradisional yang tidak berpedoman pada kompas untuk menentukan arah yang tepat menuju Pulau Biawak. Mereka hanya mengandalkan arah angin sebagai kompas alami. Itu saya lihat pada kain bendera lapuk yang tergantung di ujung bilah bambu. Walau begitu, ternyata mereka tidak kesasar.

Dalam perjalanan, kami sempat terombang-ambing selama 7 jam di laut lepas pantai utara Pulau Jawa, karena mesin perahu yang mendadak mati. Waduh... saya deg-degan minta ampun. Untung pada saat itu saya sudah mengenakan lifevest yang memang sengaja saya beli untuk perjalanan ini.

Keadaan sunyi karena tak seorang pun dari saya dan teman-teman merasa akan terdampar di tengah lautan. Perahu kecil kami terdiam, hanya mengikuti arah angin. Pak Tasim dan seorang kru sibuk mengutak-atik generator untuk mencoba menghidupkan mesin. Satu jam, dua jam, hingga tiga jam berlalu. Akhirnya, mesin perahu hidup kembali. Setelah ditelusuri, mesin perahu hanya ngambek karena kepanasan. Duh...!


Berkencan dengan Biawak
Kepulauan Biawak sebenarnya terdiri dari 3 kepulauan besar, yakni Pulau Gosong, Pulau Candikian, dan Pulau Biawak itu sendiri. Selain sebagai kawasan konservasi, Pulau Biawak juga merupakan pulau yang penting bagi jalur pelayaran domestik, karena ada menara mercusuar peninggalan Belanda yang masih aktif memandu kapal-kapal besar dan kecil hingga saat ini.



Sesuai namanya, di pulau ini banyak terdapat biawak (Varanus salvator) dari yang berukuran sedang sampai berukuran besar, berkeliaran di sepanjang pantai. Selain disebut Pulau Biawak, pulau ini juga biasa dikenal dengan sebutan Pulau Menyamak dan Pulau Byompis.

Biawak yang merupakan satwa endemik pulau ini memiliki penciuman yang tajam. Karena saya penasaran ingin melihatnya dari dekat, atas petunjuk Pak Slamet, penjaga mercusuar, saya letakkan ikan di dermaga dan menunggu. Benar saja, tak berapa lama, biawak-biawak tampak berdatangan. Biawak-biawak di pulau ini tidak takut terhadap manusia. Mereka cukup berani mendekat, namun saya dan kawan-kawan tetap perlu mewaspadai sabetan ekor biawak tersebut. Saya juga sedikit khawatir, bagaimana kalau mereka tiba-tiba menjadi agresif dan menyerang saya.

Biawak memang masih termasuk satu keluarga dengan komodo. Hanya, ukuran biawak lebih kecil dibandingkan dengan komodo. Untuk makanannya, biawak termasuk jenis pemakan segala alias omnivora. Bisa ikan, kodok, atau juga serangga. Tapi, daripada telanjur ‘dicintai’ oleh biawak ini, saya sengaja bersikap pasif agar mereka tak makin ‘jatuh cinta’ pada saya.



Mercusuar Belanda
Mercusuar ini adalah penanda yang paling terlihat saat berada di laut lepas dan menuju Pulau Biawak. Bangunan peninggalan Belanda ini dibangun tahun 1872. Hal ini tertera pada lempengan logam yang dilekatkan pada dinding mercusuar, tepat di atas pintu masuk. Menara setinggi 65 meter ini memang sengaja dibangun atas perintah Raja Z.M. Willem III sebagai penunjuk jalan dan pengatur lalu lintas air di sekitar wilayah Karesidenan Cirebon.




Bisa dibilang, usia mercusuar ini sama tuanya dengan usia mercusuar di Anyer, Banten, atau di Pulau Sabira di Kepulauan Seribu.
Jika biasanya badan mercusuar terbuat dari batu bata, mercusuar di Pulau Biawak ini terbuat dari besi yang sebagian sudah tampak berkarat.
Bergidik juga untuk masuk ke dalamnya dan mendaki hingga puncak, takut tiba-tiba salah satu bagian besinya patah dan mercusuar ambruk ke tanah tanpa terkendali.

Badan mercusuar seolah dilindungi oleh besi-besi yang mirip jaring laba-laba, yang dimulai dari bagian kaki mercusuar, yaitu tempat pintu masuk berada, sampai puncak mercusuar tempat lampu suar biasanya berputar menerangi perairan sekitar. Untuk menuju ke tempat lampu suar, tangganya hanya berupa bilah besi tipis, yang jumlahnya sekitar 300 anak tangga. Sedikit gemetar dan ekstra hati-hati saya mendaki tangga berputar yang makin lama makin sempit. Tak sia-sia harus sedikit menahan rasa takut. Lewat jendela, tampak langit yang berwarna oranye di cakrawala.



Beranjak ke teras menara suar yang hanya selebar sekitar 80 cm, tampak dermaga dan view sebagian Pulau Biawak yang kehijauan, menyejukkan mata. Perpaduan antara hutan pohon bakau dan pinus. Terlebih lagi, saat itu matahari sedang terbenam. Perpaduan warna hijau dan oranye di horizon membuat saya takjub dan tak mau mengedipkan mata sekejap pun. Sampai matahari hilang seluruhnya, baru saya beranjak dan kembali ke dalam menara, lalu turun melalui tangga yang meliuk-liuk juga dengan ekstra hati-hati.


Keindahan Terumbu Karang


Hal yang pasti harus dilakukan saat berada di Pulau Biawak ini adalah berenang dan snorkeling. Berbekal goggles dan fin, saya siap menjelajahi bawah laut Pulau Biawak. Keindahan bawah lautnya masih sangat perawan dan konon memiliki koleksi ikan hias yang ribuan jumlahnya. Ombaknya pun tak terlalu besar sehingga saya bisa leluasa menyelam.
Bersama enam teman, kami menjelajah di sekitar zona penyangga Pulau Biawak. Memang benar, spot di area ini lebih bagus dan berwarna. Saya menjumpai banyak sekali ikan kerapu hitam, ikan zebra yang berwarna kuning hitam, dan ikan samandar. Beberapa jenis dengan cuek-nya hilir-mudik di antara karang, tak memedulikan kami.

Atol di Tengah Laut


Pulau Gosong yang terletak sekitar 1 jam berperahu dari Pulau Biawak menyajikan keindahan yang lain. Pulau Gosong ini sebenarnya adalah sebuah atol berbentuk cincin dengan kepala cincin berupa daratan kecil di atas permukaan laut. Sedangkan tengah-tengah cincin adalah karang dangkal yang tenggelam di permukaan laut. Makanya, Pulau Gosong ini paling apik, jika dilihat dari ketinggian yang akan memperlihatkan bentuk cincinnya tersebut.

Wilayah di sekitar Pulau Gosong ini menarik perhatian saya untuk berenang dan snorkeling. Tapi, karena karang di Pulau Gosong ini sudah banyak yang rusak (kabarnya, akibat pengerukan untuk pembangunan Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Exor I sekitar tahun 1980-an), niat tersebut terpaksa diurungkan. Cukup menjelajahi daratannya saja, yang kondisinya pun memprihatinkan.



Jelajah Daratan
Pulau Biawak ‘diselimuti’ oleh pasir putih. Dua ratus hektare luas lahannya ditumbuhi oleh hutan bakau yang masih cukup lebat. Selain bakau, pinus juga cukup banyak ditemukan di tengah pulau, yang merupakan tempat berkumpulnya burung-burung. Terdapat tangga kayu yang pada awalnya digunakan untuk bisa masuk ke dalam hutan bakau tanpa perlu masuk ke rawa-rawa. Namun, saat kami datang, kondisi tangga kayu tersebut sudah rapuh dan rusak cukup parah.


Karena hutan bakau tak bisa ditelusuri tanpa membuat basah, saya dan teman lalu beralih menyusuri daratan. Dari dermaga menuju ke arah kiri  adalah bangunan rumah dinas Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Daerah (KKLD), tempat bermalam selama di Pulau Biawak.

Jika perjalanan dilanjutkan, kita akan menjumpai makam Syeh Syarif Khasan yang merupakan salah satu murid Sunan Gunung Jati. Karena termasuk salah satu orang pintar, kadang-kadang banyak juga orang yang datang dan minta doa di makam yang (katanya) keramat ini. Selebihnya hanya hutan alang-alang dan tanaman kelapa yang tersebar di sisa lahan Pulau Biawak.

Menuju ke Pulau Biawak

Paling mudah memang mengendarai mobil pribadi menuju ke dermaga akhir di TPI Karangsong, sebelum menyeberang ke Pulau Biawak. Tapi, untuk Anda yang hendak bertualang gaya backpacker, bisa mencoba cara saya.
 
Naik bus menuju  Cirebon dan turun di pertigaan Celeng. Dari tempat tersebut, saya naik lagi angkot menuju ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Karangsong. Atau bisa juga dengan menyewa ojek. Dari TPI Karangsong ini banyak perahu nelayan yang disewakan untuk menyeberang ke Pulau Biawak.
Mereka juga menyediakan keperluan logistik untuk selama menginap di Pulau Biawak. Biayanya sekitar Rp300.000 per orang, sudah termasuk ongkos kapal pergi-pulang, makan, dan tempat menginap.





Jangan Lupa Oleh-Oleh

Wisata tanpa membawa oleh-oleh seperti sayur kurang garam. Ada beberapa jenis oleh-oleh yang bisa jadi buah tangan khas Indramayu ini. Selain di pasar tradisional yang terletak di pusat kota, penjual oleh-oleh ini juga ada di sepanjang jalur Pantura di daerah Jatibarang. Jangan ragu untuk menawar, bahkan hingga setengah dari harga awal yang ditawarkan.

Mangga
Daerah Indramayu terkenal akan kebun mangganya yang subur berbuah. Jenisnya pun beragam, mulai dari mangga indramayu atau terkenal dengan sebutan mangga dermayu, mangga manalagi, mangga harum manis, sampai mangga gedong gincu. Yang jadi primadona adalah mangga gedong gincu. Sama seperti gincu yang memesona karena warnanya yang memerah, mangga ini memang sangat menggiurkan setelah matang, karena seluruh permukaan kulitnya berwarna merah keoranye-oranyean.

 
Daging mangga gedong gincu sangat berserat. Makanya, untuk memakannya sebaiknya tidak dikupas dan dipotong-potong, melainkan dipotong sepertiga bagian buahnya hingga mendekati biji. Setelah itu, iris daging buah dan jangan memotong kulitnya. Dorong keluar dan santap.
Jika di pedagang mangga belum terlihat kemerahan, pilih mangga yang masih berwarna hijau dengan sedikit permukaan yang memerah, dan aromanya manis saat dicium bagian pangkal buahnya. ‘Sekap’ dalam kantong plastik selama 2-3 hari hingga warnanya berubah dan rasanya manis.



Ikan Asin
Ikan asin yang paling banyak diburu adalah jambal roti. Jambal roti yang asli terbuat dari ikan manyung yang diproses dengan cara alami, yaitu hanya digantungkan selama nelayan sedang melaut hingga akhirnya kembali ke darat. Selain itu, ada juga ikan asin bulu ayam yang juga jadi favorit. Hati-hati dengan ikan asin yang dibubuhi pemutih dan formalin saat proses pembuatannya. Pilih yang berbau khas ikan asin.

Kerupuk Udang & Terasi
Seperti pepatah, makin mahal maka kualitas barangnya pun makin enak, begitu juga dengan harga kerupuk udang dan terasi ini. Makin tinggi harga kerupuk udang atau terasinya, berarti campuran udangnya makin banyak. Tapi, hal tersebut tergantung selera Anda.

Kerupuk Melarat
Karena disangrai di pasir, kerupuk ini disebut sebagai kerupuk melarat. Pilih yang warnanya butek dan permukaannya ada serpih-serpih pasirnya. Kerupuk dengan warna yang mencolok dan bersih menandakan bahwa kerupuk tersebut digoreng dalam minyak.






Heni Pridia
Foto: Eckie Rafki



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?