Travel
Menantang Adrenalin di New Zealand

24 Oct 2014


Atas undangan Auckland International Airport, Redaktur Pelaksana femina, Yoseptin Pratiwi, berkunjung ke New Zealand beberapa waktu lalu. Selama 8 hari menikmati keindahan alam Negeri Kiwi ini, dari Auckland di North Island sampai ke kota Queenstown di South Island.
 
Tiap kali memandangi sertifikat yang dikeluarkan oleh Kawarau Bridge Bungy Jumper, saya terkadang  masih tak percaya kalau nama saya itu betul-betul tertera di sana. Saya, orang yang kakinya bisa tiba-tiba membasah saat melihat ke luar jendela kaca di lantai teratas sebuah gedung, bisa meloncat dari atas jembatan setinggi 43 meter! I did it….
Keindahan alam dan peer pressure --melihat orang-orang yang antusias menikmati berbagai extreme sport-- tampaknya yang membuat saya berani mencoba bungy jumping, naik heli yang meliuk-liuk di antara puncak gunung, juga menantang arus Sungai Shotover dengan boat. Dan, dua hal itu saya dapatkan di New Zealand.


Terombang-ambing di Udara
Sungguh, ketika mendapati bungy jumping di Jembatan Kawarau, Queenstown, sebuah lokasi bungy jumping komersial yang tertua di New Zealand yang beroperasi sejak 1988, tertera di itinerary, saya sudah menyerah. Tidak! Saya merasa sudah cukup puas melihat seorang pria macho meloncat dengan kaki terikat tali dan kemudian terombang-ambing, terayun-ayun di udara dengan kepala di bawah, di iklan-iklan televisi.
Kata ‘tidak’ juga yang dengan mantap saya katakan kepada Sachie Nomura -- seorang celebrity chef New Zealand yang menjadi host saya dalam perjalanan ini-- saat ia berusaha merayu saya untuk mencoba. “Kapan lagi?” katanya.
Regan Pearce, marketing manager, yang bertubuh atletis, dengan bentukan otot liat sempurna, menyambut kami. Mungkin karena melihat muka-muka pucat sebagian anggota rombongan, ia mengajak kami menonton video yang menayangkan secara live orang-orang yang sedang meloncat dari jembatan setinggi 43 meter yang melintang di atas Sungai Kawarau itu. Ooh… bahkan hanya melihat teriakan mereka yang meloncat atau mereka yang mundur tidak jadi loncat, saya sudah gemetar dan makin yakin dengan keputusan awal.
“It's about having your own courage. Defeat your fear and jump,” itu adalah salah satu kalimat Regan yang mengiang di kepala saya yang hanya dengan melihat tayangan video saja sudah membuat kedua telapak tangan saya sedingin es. Regan kemudian meneruskan, “Lagi pula, dari meloncat sampai proses selesai itu hanya 3 menit saja.” Tiba-tiba, entah peri mana yang membisiki, kata ‘hanya 3 menit’ itu membuat saya merasa berani. Tiba-tiba saja saya langsung berdiri dan bilang, “Ok, saya loncat!” (sebuah keputusan yang kemudian sungguh saya sesali ketika saya sudah berdiri di ujung platform dengan kedua pergelangan kaki terikat tali).
Di platform selebar sekitar satu kali satu meter itu, saya hanya terdiam dengan kedua tangan mencekal erat besi pembatas di kanan dan kiri. Saya rasakan kaki mulai gemetar, dan dada yang nyaris meledak oleh deburan jantung yang kian lama kian menguat. “Sudah siap? Meloncatnya jangan kaki duluan, ya, tapi mulai dari kepala,” saran petugas yang menolong saya bersiap di atas. Mereka memang tidak memaksa atau mendorong para jumper yang ketakutan untuk segera meloncat. Kalau ada yang mundur, ya, tidak apa-apa.
    Mungkin hanya beberapa detik saya di ujung platform itu, tetapi jangan ditanya pergulatan batin yang saya alami. Antara mundur atau loncat... mundur atau loncat…. Apalagi ketika saya mencoba melirik ke bawah, ke sungai yang mengalir... astaga, tinggi sekali!  Tapi, saya kemudian merasa jadi tidak tahan dengan beban perang batin yang berkecamuk sama kuat itu dan tanpa banyak pikir, saya merasa harus loncat. Lalu, saya mulai menjatuhkan badan, dan untungnya saya masih ingat untuk memulainya dari kepala.
    Untuk beberapa detik, ketika tubuh saya terayun di udara, saya seperti tidak sadar. Sampai kemudian mendengar suara Sachie dengan suaranya yang khas itu berteriak menyemangati dan baru saat itu, mungkin di detik yang ke-20 (duh, lama, ya), saya berteriak sekuat-kuatnya… tersadar untuk membuka mata dan menikmati  tiap detiknya.
Saya melihat deretan pucuk-pucuk pohon, melihat tanah berbatu dan melihat hijaunya air Sungai Kawarau. Kedua tangan saya ayunkan dan menghirup udara segar sampai tubuh saya ditangkap oleh petugas yang menumpang perahu boat. Terduduk lemas di boat karet itu, saya segera tertawa sekeras-kerasnya untuk melepas sisa ketegangan yang masih ada, sekaligus merasa bangga karena berhasil menaklukkan rasa takut akan ketinggian.  


Di Antara Dua Karang

Apakah di memori Anda tercetak adegan ikonik film: Si tokoh mendayung perahu di sebuah laut yang tenang dengan dua karang di sisi kanan dan kirinya. Entah itu dalam film Lord of The Rings maupun Pirates of the Caribbean. Hal inilah yang saya dapatkan saat mengunjungi Milford Sound.
    Milford Sound adalah sebuah teluk (ceruk laut) yang panjang yang terbentuk oleh proses glacial erosion (pengikisan karena aliran salju yang mencair). Menjadi bagian dari Taman Nasional Fiordland, dari pusat Kota Queenstown, dibutuhkan perjalanan sekitar 4 jam untuk mencapai Milford Sound yang sering menjadi tempat pengambilan gambar film-film Hollywood. Tapi, jangan takut bosan di perjalanan, karena di sepanjang jalan Anda akan dijamu keindahan alam yang tak habis-habis: kawanan biri-biri di padang rumput, gunung-gunung mungil dengan danau yang alami (salah satunya adalah Danau Cermin, karena di airnya kita bisa melihat bayangan gunung di sebelahnya bak melihat dalam cermin), juga melewati hutan yang teduh. 
     Cara terbaik untuk menikmati keheningan Milford Sound adalah dengan kapal pesiar. Saat kapal melaju pelan, cobalah keluar untuk menantang  embusan angin laut yang membawa titik-titik air bersamanya. Dingin dan segar, sensasi yang sulit ditolak hingga tanpa sadar saya pun menggigil karena terlalu lama di luar.
    Selama perjalanan sekitar 3,5 jam itu, berkali-kali kapal harus melewati celah di antara dua karang. Dan ketika melewati perairan Sinbad Gully, saya menemukan pemandangan yang spektakuler: Gunung Mount Phillips berada di kiri, dan Mitre Peak di sebelah kanan yang puncaknya terlihat putih oleh salju. Saya tidak henti-henti menengok ke atas, mengaguminya.
Di tengah-tengah perjalanan, ada saja hal menarik yang saya temukan. Seperti air terjun Bowel Falls yang menciptakan embusan keras angin dan titik air seperti menampar-nampar muka dan badan saya yang sengaja berdiri di dek kapal yang sengaja menepi. Juga memandangi singa-singa laut yang berbaring malas-malasan di bebatuan karang. Semua pemandangan itu benar-benar membuat saya enggan bicara, agar bisa mendengarkan saja kecipak air, deru pelan kapal dan sesekali suara burung berkaok.
    Namun, toh, ketika siang menjelang, perut yang lapar tidak bisa dibuai oleh indahnya pemandangan. Sebagai penumpang VIP, koki kapal sudah menyiapkan menu yang aduhai buat kami: menu prasmanan yang terdiri dari ikan, kerang, udang, ayam, sayur-sayuran dan nasi, dan primadonanya adalah lobster panggang. Siang itu, tanpa banyak bicara saya menyantap pelan rasa daging lobster segar yang gurih dan manis, dengan segelas champagne di tengah kapal yang melaju tenang.


Melawan Arus Sungai

Queenstown bisa dibilang menjadi surga bagi pencinta petualangan alam. Setelah berhasil menaklukkan ketinggian, kali ini saya mencoba menikmati keindahan yang menantang lain, yaitu bermain-main dengan arus deras Sungai Shotover.
Shotover adalah sungai sepajang 70-an kilometer dengan air jernih namun deras yang berasal dari Souther Alps. Di sepanjang kiri dan kanan sungai adalah tebing batu yang tinggi menjulang menunjuk langit, dengan pepohonan dan semak-semak di sana-sini. Sungai ini kemudian menyatu dengan Sungai Kawarau yang beraliran tenang.
    Dari pusat Kota Queenstown menuju Shotover Jet --yang menjadi operator jet boat ride yang sudah berdiri sejak tahun 1970 di sungai ini --tak banyak memakan waktu, sekitar 30 menit saja dengan jalanan yang lancar. Sebelum naik boat, kami harus memakai seragam wajib, yaitu jubah antiair dengan pelampung warna merah. Semua ponsel dan alat elektronik lain harus ditinggal, untuk mengindari kemungkinan rusak terciprat air. “Wah, enggak bisa selfie, dong,” begitu batin saya, sambil menyerahkan tas kepada petugas.
    Satu boat bisa dinaiki 13 orang, termasuk pengemudi. Nick Simpson, nama petugas yang mengemudikan boat kami, dengan suara lantang (kebiasaan buruk yang ia akui, ngomong terlalu kencang) menjelaskan,  kami harus berhati-hati (meski sudah dipasang pengaman), karena boat sewaktu-waktu akan memutar 360 derajat dengan kecepatan tinggi. Duh, saya duduk di pinggir pula, jadi takut terlempar (meski itu tidak mungkin karena, toh, sudah diikat sabuk pengaman). 
    Begitu mesin dinyalakan, Nick segera memacu gas kuat-kuat dan dengan sentakan yang keras kami pun seperti melayang di antara riak air yang tercipta akibat terjangan boat berkecepatan tinggi. Air memercik muka dan rambut saya  hingga basah. Apalagi, Nick paling hobi berzig-zag di antara bebatuan kali yang hitam besar itu, dan tanpa mengurangi kecepatan. Meski basah kuyup,   saya tak berhenti berteriak kegirangan.


Berzig-zag di Antara Puncak Gunung

Kembali ke pusat Kota Queenstown dari Milford, kami mencoba naik helikopter. Bagi saya yang takut ketinggian, naik heli sebetulnya bukan pilihan mudah. Tapi, setelah berhasil bungy jumping, apa lagi yang saya takutkan? Rasa sombong mulai meracuni hati saya rupanya, he…he…he….
Heli itu, dengan satu pilot, muat 6 orang. Saya duduk di bangku belakang, pinggir kanan. Headphone dipasang agar kami bisa berkomunikasi satu sama lain, dan mendengarkan si pilot ngomong. Begitu mengangkasa, saya merasa tubuh saya jadi ringan, dan saya sadari bahwa saya belum benar-benar bebas dari fobia ketinggian. Saya pun mulai deg-degan.
Apalagi ketika rute heli mesti melewati Franz Josef Glacier, Mount Cook, Fox Glacier, kemudian menuju Queenstown. Kami pun terbang di antara puncak-puncak gunung dengan salju putih tebal yang menyelimutinya. Heli terbang lincah, naik-turun, dan berzig-zag di celah-celah dua gunung yang sempit, dan lama-kelamaan  saya pun tak tahan untuk teriak. Apalagi ketika harus menukik mendadak, aduh rasanya mau lepas saja jantung saya.
Tapi, petualangan belum berhenti. Pilot kemudian mendaratkan heli  tepat di puncak sebuah gunung. Kami pun keluar, dan saya menginjak puncak gunung berselimut es yang tebal tanpa sanggup berkata-kata dan hanya mampu mendesis-desis: oooh, bagusnya… sungguh sayang tidak ada orang-orang tercinta yang bisa saya rangkul di puncak gunung itu untuk berbagi keindahan.


Ini juga seru

1.    Kiwi Haka. Menonton kiwi haka, tarian perang khas suku Maori adalah agenda wajib. Anda akan menyaksikan bagaimana para suku Maori ini bersiap berperang dan bagaimana peran wanita dalam menyemangati kaum pria. Anda pun akan ikut-ikutan memeletkan lidah sekuat-kuatnya. Kiwi Haka Show bisa ditonton di area Skyline Gondola.
2.    Berlayar di Auckland Harbour. Dengan membayar sekitar 75 dolar NZ, Anda bisa berlayar selama 1,5 jam. Kapten kapal akan membolehkan Anda memegang kemudi kapal selama beberapa menit. Lumayan, serasa jadi Kapten Jack Sparrow.


Tip

1. Maskapai yang terbang ke Auckland: Singapore Airlines, Malaysia Airlines, dan Qantas. Estimasi biaya (pp) 1.100-1.900 USD, termasuk tax dan transit di Singapura, Kuala Lumpur, dan Sydney.
2. Musim di New Zealand: panas (Desember-Februari), gugur (Maret-Mei), dingin (Juni-Agustus), dan semi (September-November).
3. Untuk informasi lebih lanjut, cek ke Facebook.com/LuxuryNZ.Indonesia atau LuzuryNZ.co.id.(Yoseptin Pratiwi)
 




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?