Travel
Main Ski di Schwarzwald

18 Jul 2011

Apa yang terjadi jika dua orang mahasiswi program doktoral yang hidup di negeri asing berbincang ringan pada suatu malam? Suatu rencana petualangan yang menyenangkan. Kami, Dian Ekawati dan Lola Devung, memutuskan merayakan ulang tahun bersama-sama dengan mencoba sesuatu yang baru, yang jarang sekali terlintas di pikiran kami berdua: main ski! Kami pun sepakat belajar main ski di daerah Schwarzwald, Jerman, kota ‘kelahiran’ schwarzwälder torte alias blackforest cake.

Kelezatan Blackforest

Kami memilih Schwarzwald karena letaknya strategis, termasuk dalam wilayah yang dekat dengan perbatasan Jerman dengan dua negara lain, yakni Swiss dan Prancis. Kami janji ketemu di Freiburg, kota besar terdekat dari Schwarzwald. Di situ kami menyewa sebuah ferienwohnung atau rumah peristirahatan. Kami disambut ramah oleh Elke Völkle, sang empunya rumah. Penginapan itu berupa semacam apartemen studio mungil yang cukup besar, dengan ruang makan, dapur, kamar mandi, dan kamar tidur yang nyaman.

Perayaan ulang tahun dimulai dengan menyantap cake cokelat tiga tumpuk berlapis krim dengan taburan cherry hitam di setiap lapisannya, dan disiram dengan kirschwasser (cherry water, minuman beralkohol dari buah cherry, khas Jerman Selatan dan wilayah Provinsi Alsace, Prancis). Itulah blackforest cake pertama yang kami santap langsung di kota asal cake tersebut. Kelezatan yang sangat berkesan!

Kami mengambil kursus ski privat di daerah Todtnauberg, Hochschwarzwald. Pertimbangannya, agar bisa lebih bebas ketimbang bergabung dengan grup besar. Kursus ski hari itu dimulai sekitar pukul 14.00 sore. Pagi hari kami berangkat, karena masih harus naik kereta dari stasiun kereta Hinterzarten, ke arah Freiburg, dilanjutkan naik bus lagi dari Kirchzarten menuju Desa Todtnauberg. Tampak beberapa penumpang lain juga memiliki niat yang sama. Namun, mereka sudah lengkap membawa peralatan olahraga musim dingin mereka. (f)



Meluncur di Salju
Kami mendatangi toko tempat penyewaan peralatan ski di dataran tinggi Desa Todtnauberg. Setelah berganti kostum, kami diberi sepatu ski, satu nomor di atas nomor sepatu yang biasa kami pakai. Untuk penyewaan peralatan ini, kami membayar  10 euro  (Rp126.000) per orang. Ini jauh lebih murah daripada yang kami duga. Karena, ketika mengecek di laman mereka, harga satu set peralatan ski itu adalah   19 euro (Rp239.000). Belakangan, setelah dicek lagi, harga   10 euro ternyata untuk satu set peralatan ski ukuran anak-anak! Enak juga bertubuh mungil begini, kami berdua bisa menghemat sampai   9  euro (Rp113.000).

Kami harus tertatih-tatih berjalan dengan sepatu yang beratnya mungkin mencapai seperempat berat badan kami. Untuk mengangkat kaki saja susah. Papan skinya pun berat. Padahal, semua perlengkapan tersebut sudah disesuaikan dengan tinggi badan dan berat kami.

Lokasi belajar ski adalah Muggenbrunn, yang lebih tinggi sedikit dari Todtnauberg. Alex, instruktur kami, adalah pria tua yang ramah. Kami diajarkan memasang sepatu ke papan ski. Setelah itu, pelajaran sesungguhnya dimulai. Mengangkat kaki yang sudah bersepatu saja berat sekali, apalagi ditambah dengan papan yang terpasang erat di sepatu. Pertama-tama, kami harus bisa berdiri dengan benar. Lalu, harus bisa mempertahankan keseimbangan badan. Tongkat ski sangat membantu menopang kami agar bisa tetap berdiri.

Selanjutnya, belajar jalan. Cara jalan yang pertama kali diajarkan adalah cara jalan berbentuk V, seperti gaya penguin. Baru mulai jalan, sudah terpeleset. Kaki dan tangan kami harus benar-benar kuat menopang tubuh. Namun, saat meluncur, ternyata menyenangkan. Hanya, kalau tidak bisa mengerem, bisa-bisa menabrak. Pelajaran berikutnya adalah naik ke bukit. Tentu saja ini lebih sulit lagi. Salju sudah memenuhi papan ski, sementara kami masih belum bisa naik juga. Alex sudah menunggu kami di atas.

Teknik lain adalah jalan menyamping. Alex menyebutnya side walking, kaki satu per satu naik seperti naik tangga. Bagi kami, cara ini relatif lebih mudah dibandingkan  gaya penguin. Sesampainya di atas, kami kemudian meluncur lagi. Ini saat menyenangkan sekaligus menggelikan. Beberapa kali kami terjatuh, kebanyakan karena tidak bisa mengerem laju luncuran. Jangan dikira, begitu jatuh di salju kita bisa serta-merta bangun dengan sendirinya. Sulit! Kaki rasanya seperti tertanam. Kami hanya bisa bangun, setelah ditarik oleh Alex.

Modul berikut adalah meluncur dan mengerem dengan gaya yang disebut Alex sebagai ‘potongan pizza’. Untuk melakukan gaya ini, kedua ujung papan ski disatukan di depan, sehingga membentuk posisi segitiga. Meluncur dengan kaki yang dibuka selebarnya, kemudian untuk menghentikan luncuran, kedua kaki dibuka lebih lebar lagi. Lola sempat beberapa kali sukses melakukan luncuran ini, meskipun akhirnya jatuh juga, karena untuk mengerem dibutuhkan keahlian tersendiri.

Tak terasa, satu jam berlalu. Dan, karena kami adalah ‘gadis-gadis baik dan menyenangkan’, begitu kata Alex, dia pun menambah jam kursus kami tanpa kami harus membayar lebih. Bonus lain, kami masih bisa bermain-main sendiri di luar jam kursus. Asyik…. Sayang, badan sudah tak kuat lagi. Tangan dan kaki sudah terasa sakit. Untunglah  kami ‘hanya’ memar-memar. Sebab, kata beberapa orang, ketika belajar ski, kita harus siap dengan risiko sakit badan, memar, atau bahkan patah tulang. (f)



Menembus Perbatasan
Kami memilih mengunjungi Colmar, karena kota ini adalah kota tua yang menjadi pusat wine di wilayah Provinsi Alsace, Prancis. Harga tiket bus pulang pergi Breisach-Colmar relatif murah, hanya 7,70 euro (Rp97.000) per orang dan memakan waktu sekitar 30 menit. Selama perjalanan, kami melewati desa-desa kecil dan hamparan padang rumput. Pemandangannya berbeda. Saat ke luar perbatasan Jerman, terlihat rumah-rumahnya lebih berwarna-warni dibandingkan di Jerman. Rambu-rambu lalu lintas yang dipasang juga tidak sebanyak di Jerman.

Setibanya di Colmar, banyak penumpang lain yang turun di halte Theater. Kami memutuskan lanjut sampai ke stasiun akhir di La Gare de Colmar. Kami salah perhitungan, ternyata jarak dari pusat kota ke stasiun itu cukup jauh. Maklum, kami menyangka Colmar akan seperti kebanyakan kota di Jerman saja, begitu keluar stasiun langsung menemukan pusat kota.

Kami berjalan melewati taman Place du Champs de Mars yang indah, dengan kolam air mancur di tengahnya. Colmar juga merupakan tempat asal Frédéric-Auguste Bartholdi, pembuat patung Liberty di New York. Memasuki pusat kota tua Colmar, kami langsung terkagum-kagum pada jalanan kecil dari batu dan bangunan-bangunan tua bertingkat, dengan atap segitiga dan bercat warna-warni. Kami juga sempat mampir ke Rue Unterlinden, seputaran Musee Unterlinden, salah satu museum terkenal yang berisi koleksi seni, artefak lokal dan internasional, mulai dari zaman pra-sejarah hingga kontemporer.
Kami lalu mencari La Petite Venise, Venesia mini di kawasan Colmar. Melewati  Katedral St. Martin, tahu-tahu kami sudah sampai di Place de L’Ècole, yang menurut peta, ada rumah yang pernah ditinggali filsuf terkenal, Voltaire. Tapi, persisnya di mana, tak berhasil kami temukan.

Sebenarnya, tempat ini tidak terlalu mirip Venesia. Hanya, memang ada kanal kecil di sana, dengan beberapa gondola yang tertambat. Selain kanal, kawasan ini juga ditandai dengan keberadaan gang-gang kecil berbatu yang kanan-kirinya terdapat bangunan rumah, kafe, dan toko dengan arsitektur klasik. (f)



Wine dan Macaroon
Kami melakukan wine tour kecil-kecilan dengan mengunjungi toko-toko wine yang banyak ditemui di Colmar. Di toko Vino Strada, kami mencicipi kedua jenis wine andalan Colmar, yaitu jenis riesling dan gewürztraminer. Keduanya berasal dari varietas anggur yang banyak tumbuh di kawasan Alsace, Prancis. Anggur riesling yang berwarna putih menguarkan aroma harum floral, sedangkan gewürztraminer yang berwarna pink kemerahan memiliki aroma yang mirip dengan buah leci. Lola memutuskan membeli sebotol wine gewürztraminer sebagai oleh-oleh untuk sahabatnya, yang kebetulan penggemar anggur putih bercita rasa buah.

Sesudahnya, kami singgah ke sebuah kafe di kawasan Rue des Merchands, yang di depannya dipajang barang-barang tua, seperti teko, piring dan cangkir antik. Kafe ini tak terlalu besar. Yang mengejutkan, kami dilayani oleh nenek-nenek! Pegawai kasirnya pun sudah lanjut usia. Tentu saja mereka hanya berbahasa Prancis. Terpaksa, kami menggunakan bahasa tangan dan mimik wajah. Untunglah, nenek yang ramah ini bisa mengerti kami yang hanya bisa menunjuk menu sambil mencoba mengucapkan nama pesanan kami. Kami memesan thé japonais (teh jepang) dan latte. Kami juga memesan macaroon, chocolate, dan pistachio. Hmm… enak sekali!

Setelah paginya kami masih mendengar dan berbicara dalam bahasa Jerman, sore harinya kami sudah di belahan dunia yang berbahasa Prancis. Itulah unik dan asyiknya bertualang ke daerah perbatasan! (f)



Tip
1. Pesan tiket kereta api sebaiknya jauh-jauh hari sebelumnya, agar bisa mendapat harga murah.

2. Biaya penginapan kami seharga 49 euro (Rp617.000) per malam untuk satu rumah, ditambah 2 euro (Rp25.000) untuk kurtaxe (semacam iuran warga wajib di Jerman) per orang per malam. Dengan harga itu, kita akan mendapatkan Schwarzwald Card, kartu yang bisa digunakan untuk masuk tempat wisata secara cuma-cuma. Dengan kartu ini, kita juga bisa bebas naik kereta dan bus di area Schwarzwald, bahkan juga bisa digunakan sampai ke Freiburg dan Breisach, kota di perbatasan dengan Prancis untuk menuju Colmar.

3. Kursus ski privat ditawarkan seharga 39 euro (Rp491.000) per jam untuk dua orang. Belum termasuk biaya menyewa peralatan, seperti papan, sepatu, dan tongkat ski di tempat penyewaan peralatan ski.



Dian Ekawati dan Lola Devung (Kontributor - Jerman)
Foto: Dok. pribadi





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?