Travel
Liburan Musim Panas di Swiss

12 Dec 2014


“It is peaceful here and pleasant at Interlaken. Nothing going on - at least nothing but brilliant life-giving sunshine,” ucap Mark Twain dalam sebuah tulisan dialog reflektif berjudul What is A Man? (1906). 
    Persis seperti ungkapan pujangga besar Amerika itu, demikianlah Interlaken di musim panas. Kota kecil di kaki Pegunungan Alpen ini melimpah dengan siraman sinar matahari. Foto-foto cantik Kota Swiss yang semasa kecil hanya bisa saya kagumi lewat halaman kalender, kini bisa saya saksikan dengan mata kepala sendiri.


Destinasi Pujangga & Seniman Dunia
Seperti namanya yang diambil dari bahasa Latin, inter (di antara) dan lokus (danau), Interlaken terletak di antara dua danau yang cantik, yaitu Thun dan Brienz. Kota yang pada tahun 1133 menjadi pusat biara seminari Augustinian ini pada tahun 1800-an berkembang menjadi daerah wisata dengan lusinan guesthouse.
    Saya sangat beruntung bisa menginap di Victoria Jungfrau Grand Hotel & Spa, hotel bintang lima yang menjadi salah satu landmark bersejarah di Interlaken. Selama Perang Dunia II (1939-1945) hotel ini juga berfungsi sebagai pusat komando bagi angkatan bersenjata Swiss di bawah pimpinan Jenderal Henri Guisan. Nyaris  tiap ruangan dilengkapi chandelier klasik yang cantik. Kamar saya tampak elegan dengan interior China blue. Di musim panas, tidak perlu air conditioner, cukup buka jendela lebar-lebar sepanjang hari. Segar!
Awalnya, bangunan ini adalah kediaman seorang dokter. Pada tahun 1856, Eduard Ruchti (waktu itu masih 22 tahun) membelinya dan mengubahnya menjadi sebuah hotel megah. Friedrich Studer dan Horace Edouard Davinet adalah dua arsitek lokal di balik kecantikan desain arsitektural bangunan yang tahun depan memasuki usia 150 tahun ini.
    La Terrasse menjadi spot favorit bagi banyak pengunjung, tak terkecuali Mark Twain. Di teras berpilar kokoh inilah di tahun 1891 penulis kawakan asal Amerika itu menggoreskan penanya sembari mengagumi keindahan puncak tertinggi di Eropa, Jungfrau Joch, yang berselimut salju. Sehingga, terlahirlah karya What is A Man? Selain Twain, teras yang menghadap padang rumput hijau berlatar barisan Pegunungan Jungfrau ini juga menjadi lokasi favorit beberapa tokoh dunia, seperti Kaisar Brasil dan Raja Siam.
Apabila Anda berjalan keluar kompleks hotel ke arah kiri, sekitar 65 meter kemudian Anda akan melihat bangunan hotel kuno lain berdinding merah jambu di sebelah kanan jalan. Hotel Interlaken, namanya. Di hotel inilah, pada tahun 1816, pujangga kenamaan Inggris, Lord Byron, mengasingkan diri akibat berita affair. Namun, pengungsiannya tidak sia-sia. Keindahan Interlaken dan Jungfrau telah mengilhami terciptanya Manfred, naskah drama tiga babak yang terkenal itu. Komposer kenamaan Jerman di era romantic, Felix Mandelssohn, yang dijuluki sebagai Mozart abad ke-19, juga banyak menuai inspirasi dari Interlaken. Ia menyebut Interlaken sebagai, “The finest of all in this unbelievably beautiful country.”

Tip:
1. Interlaken bisa ditempuh dengan naik kereta dari bandara udara internasional Zurich. Stasiun berada di satu lokasi dengan gedung bandara. Tidak ada kereta yang langsung menuju Interlaken. Anda harus naik kereta sekali ke Bern, dan melanjutkan ke Interlaken Ost (Stasiun Interlaken).
2. Saya menggunakan fasilitas tiket terusan Swiss Travel System, sistem tiket transportasi terpadu untuk warga asing selama di Swiss. Fasilitasnya termasuk akses tak terbatas untuk transportasi publik, diskon 50% tarif kereta jalur pegunungan, seperti Jungfrau Railways, dan gratis masuk ke lebih dari 470 museum di Swiss!



Mendaki Gunung Naik Kereta

Rasa-rasanya orang bisa kaya dengan berjualan kartu pos dari hasil memotret keindahan bentang alam pegunungan di Swiss. Perbukitan hijau yang bertemu dengan langit sebiru azurite berpadu harmoni dengan corak arsitektur rumah pedesaan Swiss yang berhias cantik dengan aneka bunga bermahkota cerah di  tiap jendelanya.
Sementara itu, di kejauhan tampak tegar menantang langit deretan puncak Pegunungan Eismeer, Wetterhorn, Schreckhorn, Eiger, Monch, dan puncak tertinggi Eropa Jungfrau yang menjulang di ketinggian 4.158 meter dari atas permukaan air laut. Masing-masing berselimutkan salju abadi yang tampak seperti gundukan raksasa es krim vanilla. Sungguh menggoda hati!
Pemandangan ini saya saksikan dalam perjalanan naik kereta menuju Jungfrau joch (puncak Jungfrau), yang oleh PBB ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia. Pukul 9 pagi, kereta listrik berpanel kayu milik perusahaan Jungfrau Railways bertolak dari Interlaken, tempat kami tinggal. Perjalanan selama 2,5 jam tersebut akan melewati beberapa pemberhentian. Pertama di Lauterbrunner untuk berganti kereta, dan di Kleine Scheidegg, salah satu tujuan utama wisata olahraga musim dingin, seperti ski.
Dalam perjalanan ini saya beruntung duduk di sisi kanan, sehingga bisa menyaksikan salah satu dari 72 air terjun yang tercurah dari tebing berketinggian 300-an meter di waterfall valley, Lauterbrunner. Aliran deras air terjun membentuk anak sungai yang mengalir melewati sisi hutan cemara yang kami lalui. Tidak heran jika keindahan lembah air terjun ini menginspirasi sastrawan terkenal Jerman, Johann Wolfgang Von Goethe untuk menulis puisi cantik berjudul Song of the Spirits Over the Waters.
Saya harus berterima kasih kepada Adolf Guyer-Zeller untuk tiap pemandangan indah pegunungan Swiss yang bisa saya nikmati tanpa harus susah mendaki dan berkeringat. Dialah sosok visioner di balik pembangunan jaringan rel kereta Jungfrau Railways.
Pengusaha asal Swiss itu mengawali proyek ambisiusnya di abad ke-18, dengan membuat terowongan yang menembus dua gunung batu Eiger dan Monch, untuk mencapai puncak Jungfrau! Setelah periode konstruksi yang memakan waktu 16 tahun, pada 1 Agustus 1912, jaringan rel kereta tertinggi di Eropa (tinggi 3.454 m) itu resmi dibuka.

Tip:
Tidak ada toilet di dalam kereta api. Tetapi, ada dua perhentian, di Lauterbrunnen dan Kleine Scheidegg, yang bisa Anda manfaatkan untuk pergi ke toilet. Jadi, pastikan sebelum berangkat Anda sudah memenuhi ‘panggilan alam’ dengan ke toilet terlebih dulu, agar nyaman di perjalanan.


Mengintip Senja di Harder Klum

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam di Interlaken. Tapi, matahari musim panas masih bersinar terang benderang, seperti ketika masih pukul 3 sore. Malam itu saya dan puluhan wartawan lain dari 11 negara, dijamu makan malam oleh CEO Jungfrau Railways, Urs Kessler.
Harder Kulm menjadi pilihan lokasi makan malam kami. Restoran berdinding bata merah dengan lis putih yang klasik itu berdiri di atas perbukitan setinggi 1.323 meter dari atas permukaan laut. Trem membawa kami menuju lokasi, menanjaki bukit dengan gradien kemiringan 45 persen.
Seiring bertambahnya ketinggian, hutan cemara di kanan kiri kami menjelma menjadi tirai panggung yang menyibakkan keindahan bentang alam. Mulai dari lembah hijau, puncak rumah dan bangunan-bangunan tua yang cantik, serta Danau Brienz dan Danau Thuner yang memantulkan cahaya keperakan  sinar matahari. Benar-benar 10 menit yang menakjubkan!
Begitu tiba di stasiun pemberhentian, perjalanan kami teruskan dengan berjalan kaki selama lima menit, melintasi jalanan setapak yang menanjak. Semua rasa capek ini terbayar ketika kami tiba di lokasi restoran yang dilengkapi beranda dari dek kayu. Tampak beberapa pasangan pengunjung menikmati pemandangan sambil menyesap anggur dari meja-meja kayu yang dinaungi tiang lampu berdesain kuno.
Saya menuju jembatan panjang dek kayu yang dibangun menjorok ke luar. Berdiri di ujungnya membuat saya seolah berdiri di awang-awang. Meski gigi sudah gemeletukan menahan angin dingin bersuhu 10 derajat Celsius, pantang melewatkan pemandangan cantik seluruh wilayah Jungfrau yang disabuki pegunungan hijau dengan puncak yang tertutup salju abadi.
Jam tangan menunjukkan waktu 21.30 malam ketika berkas keperakan sinar matahari bersalin warna menjadi lembayung. Sembari duduk di atas belahan balok kayu yang menghadap pegunungan, saya menyaksikan konser megah alam ini dengan ditemani sekerat keju Swiss dan segelas anggur putih, appetizer sempurna untuk jamuan makan malam yang berlangsung penuh kehangatan. 

Tip:
1. Trem menuju Harder Klum terdiri atas empat level. Agar dapat menikmati keindahan lanskap alam secara maksimal, duduklah di level pertama (atau yang paling rendah) atau menghadap jendela kaca depan.
2. Kenakan jaket atau pakaian hangat. Makin sore suhu di Harder Klum  makin berangin dan dingin, dengan suhu rata-rata mencapai di bawah 10 derajat Celsius. Jika perlu, bawa sarung tangan.


Berpesiar Naik Kapal Uap Kuno

Satu atraksi lain yang tak boleh dilewatkan di liburan musim panas kali ini adalah menjelajah keindahan Danau Brienz. Pagi itu, saya bersama blogger dan penulis buku wisata, Teguh Sudarisman, ditraktir Dinas Pariwisata Interlaken untuk menikmati perjalanan seru naik kapal uap kuno bertahun 1914, SS Lötschberg.
    Grand Hotel Giessbach yang bersejarah menjadi tujuan akhir kami hari itu. Dalam satu jam perjalanan itu kami mampir ke tiga dermaga yang ada di Bönigen, Ringgenberg, dan Iseltwald. Sepanjang perjalanan mata saya dimanja oleh pemandangan indah dari perbukitan hijau serta jajaran hotel dan bangunan bersejarah. Salah satunya, kastil berarsitektur cantik dari abad pertengahan milik Lords of Matten.  Kastil yang berdiri megah di bagian Peninsula Iseltwald ini kini beralih fungsi menjadi pusat rehabilitasi.
    Tiupan peluit nakhoda kapal berpakaian kelasi putih dari atas dek mengagetkan saya dari lamunan tentang kehidupan wah keluarga bangsawan Swiss masa lalu. Suara lenguhan berat trompet kapal uap yang terdengar sangat kuno di telinga membuat saya dan penumpang lain tertawa. Sejurus kemudian, kapal pun kembali membelah Danau Brienz yang sebening kristal.
Di bawah matahari, Danau Brienz memantulkan gradasi warna, dari tosca, biru, hingga  hijau zamrud. Rupanya, gradasi warna ini muncul akibat simpanan mineral dari zaman es yang mengendap di kedalaman danau yang nyaris mencapai 250 meter. Tak heran jika saya menjadi bahan tertawaan ketika menyatakan keinginan saya untuk melompat dari kapal dan berenang. Selain air danau sedingin es, saya bisa tersedot air dan tidak muncul lagi, begitu kata mereka. Baiklah!

Tip:
1. Perhatikan jadwal cruise. Pada saat musim panas, kapal uap SS Lötschberg beroperasi dua hingga enam kali  tiap hari dengan jadwal padat di pertengahan Juni hingga September. Harga tiket pulang pergi untuk trip Interlaken – Brienz adalah CHF 82 atau Rp1 juta-an (kelas 1) dan CHF 49 atau Rp600.000-an (kelas 2).
2. Anda juga bisa memilih jenis kapal yang beroperasi, beserta jadwal, harga, serta reservasi online di http://bls.ch/e/schifffahrt/charter-offerte.php. Bagi pemegang Swiss Pass akan mendapat diskon khusus, bahkan kesempatan berlayar gratis di jadwal tertentu!



Surga Cokelat di Puncak Dunia

Ada tempat yang sangat menarik di dalam kompleks puncak tertinggi Jungfrau. Namanya LINDT Swiss Chocolate Heaven, milik perusahaan cokelat asli Swiss, Lindt & Sprungli, yang baru dibuka 16 Juli lalu. Dari luar, tempat ini terlihat seperti gua misteri di cerita-cerita fantasi. Tetapi, begitu masuk ke dalam, Anda akan seperti berada di dalam adegan film Charlie and the Chocolate Factory!
Gundukan cokelat bon-bon berbungkus mengilap aneka warna tersebar dalam boks-boks kayu di seantero ruangan. Masing-masing menawarkan pengalaman lidah yang berbeda. Ada cokelat dengan kacang hazelnut yang gurih dan harum, cokelat berisi larutan kopi espresso,   mint, lelehan cokelat, crème brulée, tiramisu, dan banyak lagi.
Di bagian depan, Anda akan disambut ruang Master Chocolatiers yang didesain mirip dapur mungil. Hanya, meja dapurnya adalah sebuah layar sentuh multimedia interaktif yang akan menjawab rasa penasaran terhadap proses pembuatan cokelat.
Koki-koki dengan seragam putih dan topi tingginya terlihat hilir-mudik menawarkan senampan penuh cokelat berbagai pilihan. Mereka ini sejatinya adalah chocolatiers, atau ahli masak yang bertugas meramu beragam rasa cokelat yang ada. Dengan senang hati mereka akan meladeni  tiap pertanyaan tentang cokelat.
Di sudut lainnya terlihat cairan cokelat mengalir berpilin-pilin dalam sebuah mesin warna-warni. Sesaat kemudian, beberapa butir cokelat bon-bon keluar dari bagian bawah pabrik mini itu. Kalau orang seusia saya kegirangan melihat ini semua, apalagi anak-anak!


Aksi Roger Federer di Puncak Jungfrau

Siang itu padang es Aletsch Glacier terlihat putih cemerlang di bawah sinar matahari musim panas Swiss. Pemandangan ini saya saksikan dari atas teras Sphinx Observatory, pusat penelitian astronomi di kawasan Jungfrau, yang berdiri di atas puncak gunung karang Sphinx di ketinggian 3.571 mdpl.
    Lapisan gletser yang juga masuk dalam daftar warisan dunia PBB ini adalah yang terluas di seluruh kawasan Pegunungan Alpen. Panjangnya sekitar 23 km, menutup lebih dari 120 kilometer persegi kawasan timur Pegunungan Alpen. Di musim dingin lokasi ini jadi andalan wisatawan untuk main ski, snowboarding, atau seluncur salju di wahana Snow Fun, Jungfrau.
    Tetapi, 16 Juli siang itu, ada pemandangan lain yang ganjil. Sebuah lapangan tenis berwarna biru langit menyeruak dari luasan padang salju. Siapa yang mau bermain tenis di puncak pegunungan bersuhu minus 3 derajat Celsius? Jawabannya adalah petenis nomor tiga dunia, Roger Federer, yang siang itu menantang Lindsey Vonn, atlet ski asal Amerika Serikat.  
    Pertandingan tenis ini adalah bagian dari atraksi pembukaan toko cokelat tertinggi di Eropa (sekitar 4.158 mdpl) milik Lindt. Saya sangat beruntung bisa menyaksikan langsung dari dekat pertandingan menghibur yang penuh bumbu adegan dan komentar kocak dari Roger dan  Lindsey. Bahkan, mirip pertandingan sepak bola, wasit sempat menurunkan kartu kuning untuk Roger!
Tidak ada yang menang dan kalah dalam pertandingan yang tidak berimbang ini.  Baik Roger, yang didaulat menjadi ambassador cokelat Lindt, maupun  Lindsey sama-sama mendapat ‘piala’ permen cokelat raksasa dari Ernst Tanner, CEO & Ketua Direksi Lindt & Sprungli.
“Bisa berada di sini dan bertanding tenis di puncak Jungfrau menjadi highlight tersendiri bagi saya,” ungkap Roger, yang di final Wimbledon belum lama ini harus menyerah kalah pada Novak Djokovic akibat cedera otot yang dialaminya.
(Naomi Jayalaksana)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?