Travel
Kisah di Balik Sehelai Kain

20 Jun 2012

Ketika membeli sehelai kain tradisional, Anda juga membawa pulang selembar kisah hidup dan sepotong cinta pembuatnya dalam hati Anda.



Ada perasaan bangga bercampur haru saat mengenakan sehelai kain indah yang mengundang decak kagum. Apalagi ketika Anda bisa bercerita bagaimana kain itu dibuat dengan penuh kesabaran dalam hitungan bulan, juga filosofi di balik motifnya. Inilah sekelumit catatan perjalanan femina mengunjungi beberapa penghasil kain tradisional di pelosok Indonesia. Siapa tahu, Anda juga ikut tergoda menelusurinya.








Tenun Songket Aceh
Menenun di Tengah Bunyi Tembakan

  Ruangan berdinding putih lusuh itu sangat sederhana. Namun, di ruangan yang menyimpan delapan alat tenun tradisional dari kayu dan bambu itulah, wanita-wanita Desa Siem melestarikan tenun khas Aceh yang terkenal indah. Menurut Dahlia, salah satu penenun, Desa Siem, Kecamatan Darussalam, --yang dapat dicapai dalam 30 menit dengan bermobil dari kota Banda Aceh-- menjadi satu-satunya desa yang masih bertahan menghasilkan kain tenun Aceh.
Ketika femina berkunjung, tampak beberapa wanita menekuni alat tenun masing-masing. Mereka menenun helai demi helai dari sekitar 2.000 benang. Cerita tentang songket Desa Siem diawali oleh (alm) Maryamun (Nyak Mu), seorang wanita yang mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk merawat warisan leluhurnya.

    Nyak Mu, yang sudah meninggal 3 tahun lalu,  mendirikan usaha tenun songket Aceh sejak tahun 1973. Ia mengajari wanita-wanita yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh Besar, serta Banda Aceh, menenun. Setelah mahir,, mereka membuka usaha sendiri di desa asalnya.

“Mendiang Nyak Mu bukan hanya pintar membuat motif tradisional, tetapi juga menciptakan motif baru,” tutur Dahlia. Motif tradisional songket Aceh di antaranya adalah pucuk rebung, awan siung, dan lidah suing (burung beo). “Tapi, Nyak juga menciptakan motif, seperti pintu Aceh dan bungong kertah,” imbuh Dahlia, yang juga anak perempuan Nyak Mu.

   
 Dahlia mengatakan, bila kini mereka bisa menenun dengan tenang, tidak demikian dengan Nyak Mu. Ketika konflik Aceh bergolak, Nya Mu kadangkala harus menenun di tengah bunyi letusan senjata yang membuatnya harus tiarap ke lantai.

“Bukan hanya itu, para petani ulat sutra juga tidak mau lagi bertanam sehingga bahan baku untuk dipintal menjadi benang tidak ada lagi,” kata Dahlia. Itulah sebabnya, di beberapa tempat, para penenun songket Aceh memilih berhenti berproduksi.

  Kini, bahan baku benang bisa didapatkan dengan mudah. Benang sutra misalnya, didatangkan dari Palembang, sementara benang katun bisa dibeli di pasar terdekat. Untuk selembar songket sutra, para penenun yang bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.30 itu bisa menyelesaikannya dalam waktu 20 hari. Per lembarnya dihargai Rp1,2 juta. Untuk bahan katun lebih murah, per lembar antara Rp500.000 – Rp800.000.

   Menurut Dahlia, kini tidak banyak lagi wanita Siem yang mau menenun. Dahlia menghitung, hanya tinggal 9 orang saja. Maklum, ongkos menenun juga tidak terlampau besar, sekitar Rp175.000 per lembar. “Saya menenun sebagai tambah-tambahan saja karena penghasilan utama saya dari berjualan kue di warung,” tutur Khairiah (30), tersenyum. Tak hanya minimnya minat, satu hal yang disayangkan Dahlia adalah belum paripurnanya dia menimba ilmu membuat motif dari ibunya. Ketika Nyak Mu berpulang, masih banyak  motif yang belum sempat ia pelajari.


Batik Gentongan Madura
Satu Kain, Enam Belas Bulan

Untuk kesekian kalinya, Naiyah mengangkat kembali selembar kain batik dari sebuah gentong berisi air. Tangan nenek berusia 85 tahun itu tampak masih kokoh menopang beratnya air yang meresap dalam serat kain. Kegiatan ini sudah ia lakukan setiap hari selama kurang lebih tiga bulan. Diperlukan waktu sekitar tiga bulan lagi agar satu lembar kain yang disebut batik gentongan itu siap jual. "Ada juga yang sudah 16 bulan belum selesai-selesai juga," kata Zubaidah, salah seorang pembatik lain di Desa Paseseh, Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan, 15 km dari pusat Kota Bangkalan.










































Selain direndam dalam gentong, keunikan batik gentongan terletak pada prosesnya yang dilukis pada dua sisi kain atau bolak-balik. “Tak banyak orang tahu proses panjang di balik pembuatan batik. Kami harus susah payah menjelaskan mengapa selembar kain batik tulis gentongan bisa berharga dua hingga lima juta rupiah, bahkan lebih,” ujar Siti Maimona, pemilik CV Pesona Batik Madura yang memproduksi aneka batik Madura, termasuk batik gentongan.

Diungkapkan Mai, panggilan akrabnya, ciri batik Madura terletak pada warna khas batik pesisiran yang berani, seperti merah, hijau, ungu, berpadu dengan motif-motif bahari, seperti kapal dan rumput laut. Selain itu, teknik pewarnaan dengan malam sengaja dibuat tidak tertutup sempurna sehingga menimbulkan efek pecah-pecah. Gentong dipakai untuk merendam kain batik berbahan pewarna alami, seperti kulit mengkudu, buah jelawe, kulit pohon jati, kayu jambal, tawas, dan jirek.

Saat membeberkan kisahnya, Mai sedang mengenakan kain sarung batik gentongan yang dipakai menggantung beberapa senti di atas mata kaki. Sebuah ciri lain busana tradisional pesisir. Di balik kebanggaannya pada batik Madura, Mai ternyata memendam kegelisahan. “Sekarang lebih banyak batik yang diproduksi dengan mesin, bukan ditulis, sehingga bisa dijual cepat dengan harga murah. Dalam waktu sebulan mereka bisa memproduksi ribuan lembar kain. Sementara, selembar batik gentongan baru selesai diproduksi dalam waktu paling cepat tiga bulan,” ungkapnya, sedih bercampur harap agar para pencinta kain batik melihat jerih payah para pembatik.


Selendang Cantik Khas Kotogadang
Alam Takambang Jadi Guru

Kotogadang adalah sebuah desa di Bukittinggi, Sumatra Barat. Desa ini terkenal dengan tokoh-tokoh negara, seperti H. Agus Salim, Sutan Syahrir, dan Prof Dr. Emil Salim. Tak hanya itu, desa sejuk di kaki gunung ini juga dikenal dengan kerajinan perak dan sulamannya.   

Kerajinan sulam yang menjadi bagian besar dari adat Kotogadang ini dulu wajib dipelajari oleh setiap wanita desa tersebut. Tak sekadar menyulam, mereka mempelajari teknik sulam suji, ciri khas Kotogadang, yang kebetulan banyak dipengaruhi oleh sulaman Cina.

    Jenis sulaman Kotogadang berasal dari falsafah kehidupan: ‘alam takambang jadi guru’. Yang artinya, segala sesuatu yang ada pada alam dan lingkungannya dijadikan sebagai sumber adat istiadat. Aneka hias sulaman biasa digunakan pada selendang dengan berbagai jenis. Misalnya, suji cair dan kapalo samek, yang merupakah motif bunga seperti krisan, carnation, dan lili. Ada juga suji terawang yang banyak menggunakan motif manusia atau binatang, seperti bebek, burung, dan kumbang.

    Suji cair atau suji caia adalah sulaman menggunakan warna benang berbeda dengan gradasi warna. Selendang ini menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55-60 cm dan panjang 1,8-2 meter. Motif bunga dan daun suji dibuat dengan benang sutra atau satin, dengan 5-6 tingkatan warna. Benang disulamkan bergantian, hingga terjadi percampuran warna benang yang membentuk bayangan tiga dimensi. Perpaduan warna satu benang yang mencair di atas warna benang lain inilah yang membuatnya disebut suji cair.

    Selain itu, ada juga teknik kapalo samek. Teknik ini disebut sulaman kepala peniti, karena hasil sulamannya menyerupai kepala peniti (semat). Ada juga suji terawang, yang hanya boleh dikenakan oleh wanita berusia 50 tahun ke atas. Karena teknik pembuatannya yang rumit, harga suji cair dan kapalo samek sekitar Rp2,5 juta - Rp3,5 juta. Sedangkan harga suji terawang, mulai dari Rp500.000.

Tenun Ikat Sikka & Nita
Kain Indah di Halaman Rumah  
 

Jika Anda berkunjung ke Gereja Santo Ignatius Loyola di Desa Sikka, NTT, jangan hanya memandangi keindahan gereja tua yang dibangun tahun  1893 itu. Melangkahlah ke halaman belakang gereja yang berdiri di tepi pantai Laut Sawu itu. Di sana, setiap hari, ibu-ibu di desa ini memamerkan kain-kain indah tenunan mereka. Selembar   syal dari kain tenun ikat Sikka dengan pewarna alami bisa didapatkan dengan harga Rp150.000. Sehelai kain sarung berukuran sekitar 2 meter, bisa dibeli dengan harga mulai dari Rp1 juta.

    Keseharian ibu-ibu di Sikka tak jauh berbeda dengan para ibu di Kloang Alur, Desa Nita, sekitar 12 kilometer dari pusat Maumere, kota terbesar di NTT. Saat femina berkunjung ke sana di suatu hari Minggu, dengan baik hati mereka memperagakan bagaimana kain-kain indah itu ditenun. Padahal, menurut ketentuan agama dan adat setempat, di hari itu mereka tidak diperbolehkan bekerja. Sungguh menarik melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun dan neneknya yang sedang duduk merentang helai demi helai benang untuk ditenun.
”Kami masih menggunakan pewarna alam untuk mewarnai benang. Warna hijau didapatkan dari campuran mangga dan kunyit, daun nila untuk warna biru, dan mengkudu untuk warna merah,” kata Sebina Keron, salah satu penenun, menjelaskan. Diperlukan lebih dari sebulan hingga helaian kapas yang dipintal menjadi benang diwarnai, diikat, dan ditenun menjadi selembar kain. Selain dikenakan sendiri dan dijual, mereka juga menerima pekerjaan tenun dengan pesanan motif tertentu.

Mengingat belum ada sentra  penjualan kain tenun di Maumere, membeli kain langsung kepada para penenun memang menjadi pilihan tepat untuk berwisata sekaligus belanja. Selain mendapatkan kain dengan motif, bahan, dan harga terbaik, Anda juga bisa menengok bagaimana rumitnya kain-kain indah itu ditenun sebelum sampai ke tangan Anda.

Tenun Molo
Hanya Dijual kepada ‘Saudara’

   Desa Lelobatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tempat terindah di Pulau Timor, femina tempuh 6 jam perjalanan bermobil dari Bandara Kupang ke arah timur laut. Saat ini, sekitar 4.000 orang Molo mendiami desa-desa di kaki Gunung Muntis, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Menenun kain telah menjadi kebiasaan para wanita suku Molo, termasuk yang berdiam di Desa Lelobatan.

    Sungguh menarik melihat langsung para wanita setempat menenun kain. Masih bisa dijumpai di antara mereka yang menenun kain dari benang pintal buatan sendiri. Tak seperti kebanyakan tekstil sekarang yang menggunakan benang impor dengan pewarna kimia, benang-benang pintal wanita Molo didapat dari kebun kapas di halaman rumah mereka. Maka, tak heran, di antara luasnya bukit dan ngarai desa, tanaman kapas terlihat di sana-sini. Kelebihan lain tenun Molo, hanya menggunakan pewarna alami yang diambil dari daun-daunan di hutan dan kebun.



    Bila Anda berniat membeli kain, tak akan Anda temukan satu pun toko yang menjualnya. Ketika berkunjung ke sana beberapa bulan lalu, Elena Ba’un dan Halena Almet, dua wanita perajin Desa Lelobatan, baru mau melepaskan kain hasil tenunannya untuk dibeli, hanya setelah merasakan kedekatan dengan femina. Tidak biasanya mereka mau melepaskan kain miliknya. Sebaliknya, mereka simpan dan hanya digunakan pada acara istimewa dalam keluarga. 
 
    Begitu istimewanya setiap lembar kain tenun itu, maka femina amat terharu tatkala Elena bersedia menukarkan kain tenun warna maroon miliknya    dengan sejumlah uang ratusan ribu yang femina bawa saat itu. “Saya sangat menghargai Anda yang sudah datang jauh-jauh, dan mau bersaudara dengan kami,” tuturnya, disambung pelukan hangat.

     Selain karya cipta tenun alami yang kian langka, Desa Lelobatan yang hening menyimpan keindahan panorama. Lembah dan ngarai membentang di kanan dan kiri jalan berbatu yang menghubungkan Molo dengan ibu kota kabupten, So’e.  Kelangkaan air memang terasa. Warga harus berjalan kaki begitu jauh dan terjal menuju mata air terdekat. Begitu ironis dengan biru dan tenangnya Danau Fonhae yang seolah menyembul di antara bukit dan Lembah Molo. (RIN)






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?