Travel
Kenangan Baru di India

27 Jul 2012


Saya, Gola Gong, menuntun istri saya, Tias Tatanka, menuruni  anak tangga ghat, semacam trotoar di Sungai Gangga, Varanasi, India. Syam, pemilik sampan, sudah menunggu. Saya tuntun Tias menaiki sampan. Sampan bergoyang dan Tias hendak jatuh. Saya menahan tubuhnya. Saya tidak ingin tubuh pualam ini tercebur ke Sungai Gangga, yang dipercaya sebagai air mata Dewa Shiwa.

Hari masih pagi benar. Kabut mengambang bagai kapas di permukaan sungai. Syam mendayung pelan-pelan, khawatir permukaan sungai suci yang tenang menjadi rusak. Kabut pun menyibak dan kini terbentang kenangan  20 tahun lalu. Kenangan yang ingin saya bunuh dengan menciptakan kenangan baru bersama Tias.

Wajah India Di Calcutta
Sampan yang didayung Syam terus menyibak permukaan sungai dengan lembut. Saya beberkan cerita yang sesungguhnya, bahwa di India pernah ada seseorang mengisi hati saya. Sebagai backpacker, terjerat cinta lokasi seperti kutukan. Mungkin karena berada jauh dari kampung halaman, rasa lelah, rasa sendiri, saling membutuhkan teman bicara, sehingga Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya dengan cepat menyatu.

“Itu masa lalu dan tidak akan mungkin kembali,” saya menyitir perkataan Imam Ghazali.  Kemudian saya tawarkan sebuah solusi kepada Tias, agar kenangan lama itu terkubur. Maka, saya dan Tias harus membangun kenangan baru di India. Traveling ke India adalah jawabannya. Kami menyusun itinerary: Calcutta, Sungai Gangga di Varanasi, Taj Mahal di Agra, New Delhi, dan bergoyang India di Mumbai.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah membawa Tias ke India lewat Calcutta. Inilah sebetulnya gerbang utama India. Kami bisa langsung berada di halaman depan India. Kota tua yang sedang sakit.

Calcutta  didirikan pada tahun 1686, bagian dari rencana perluasan Raja Inggris. Calcutta berasal dari nama  desa, Kalikata.  Kota ini terus berkembang sampai tahun 1756, ketika Siraj-Ud-Daulah (Nawab Bengal) diserang dan berhasil mengusir Inggris.

Tahun 1757, Battle of Plassey terjadi, tempat Robert Clive mengambil alih kota dengan mengalahkan Nawab.  Pertempuran Plassey menguras kekayaan  Calcutta. Pada periode 1820 - 1930 mulai tumbuh benih nasionalisme yang mencapai puncaknya pada 1905, ketika orang berdiri menentang rencana Lord Curzon berkenaan partisi Bengal. Rabindranath Tagore memimpin gerakan nasionalis antipartisi. Partisi ini dicabut pada tahun 1911, diikuti oleh pergeseran ibu kota India, dari Calcutta ke New Delhi. Tahun 2001, secara resmi berganti nama menjadi Kolkata.

Bagi saya, warganya hidup di bawah standar kelayakan. Manusia berjubel hingga belasan juta jiwa. Mereka para homeless yang terus bekerja keras menyambung hidup. Mereka mandi di pinggiran jalan tanpa rasa risi. Pemerintah Calcutta menyediakan pompa-pompa air. Mereka juga buang air besar di mana saja. Inilah kota tua yang dipenuhi kotoran manusia dan binatang sekaligus. Lalat beterbangan dan hinggap di makanan-makanan. Tapi, warga India sudah menyatu di dalamnya.

Beberapa backpacker  mengeluhkan hal yang sama, sakit diare! Ada yang memilih kembali ke New Delhi dan pulang ke negerinya. Mereka mungkin membayangkan India seperti ‘Little India’ yang bersih dan harum di Singapura. Saya justru mencintai India, karena kotor dan baunya!

Tias, tanpa saya duga, menikmati suasana Kota Calcutta yang centang- perenang. Sopir taksi yang menantang maut di sepanjang jalan Bandara Calcutta ke pusat kota bernama Sudder Street. Klakson dan umpatan bersahutan. Semua ibarat harmonisasi musik alam.  Sapi, taksi, tuk tuk, maut, bau kotoran, lalat, menjadi properti saya dan Tias, yang sedang membangun kenangan baru di Calcutta.
 
Tias juga tanpa risi melakonai scene demi scene di Calcutta. Tias  memesan chai,  teh susu, di pinggiran jalan seharga 5 rupee (Rp835), walaupun pedagangnya hanya memakai sarung, kaus singlet,  dan cangkirnya dari tanah liat. Ini adalah pengalaman yang tidak terbeli, merasakan India dengan cara berinteraksi langsung.



Sungai Magis
Di Varanasi,  Sungai Gangga, kenangan itu banyak terukir. Saya pernah ke tempat ini saat masih bujangan, yaitu tahun 1991.
 
Saya dan Tias kini berada di atas sampan yang didayung Syam dengan pelan, menyibak  permukaan Sungai Gangga, yang memiliki aroma sakral. Terasa hening. Lilin-lilin beralaskan bungai ditebar para peziarah, mengapung menuju para dewa. Saya memahami arti Gangga (Sanskerta dan Hindi: Ga?ga) atau Ganges (ejaan orang Barat) sebagai nama seorang dewi dalam agama Hindu yang dipuja sebagai dewi kesuburan dan pembersih segala dosa dengan air suci yang dicurahkannya. Sungai Gangga juga adalah jelmaan Dewi Gangga, dewi suci Sungai Gangga di India. Dewi Gangga sering dilukiskan sebagai wanita cantik yang mencurahkan air dari dalam guci.
 
Saat saya dan Tias  mengapung dengan sampan di Sungai Gangga, persis hari Minggu, banyak warga India dari luar kota Varanasi datang ke Sungai Gangga  untuk mandi. Umat Hindu percaya, jika mandi di Sungai Gangga pada saat yang tepat akan memperoleh pengampunan dosa dan memudahkan seseorang untuk mendapat keselamatan. Banyak juga orang percaya bahwa hasil tersebut didapatkan dengan mandi di Sungai Gangga. Saya juga melihat orang-orang melakukan perjalanan dari tempat yang jauh untuk mencelupkan abu dari jenazah anggota keluarga mereka ke dalam air Sungai Gangga.  Pencelupan itu dipercaya sebagai jasa untuk mengantarkan abu tersebut menuju surga.  Sementara itu, saya dan Tias terus menaburkan kenangan baru di permukaan Sungai Gangga.
 
Selepas magrib, saya mengajak Tias dinner di restoran Jepang, berpesta sup jagung dan bubur. Nikmat sekali. Usai dinner, saya mengajak Tias menonton konser musik sitar, tabla, dan sarengi. Kami menjadi tamu eksklusif. Mereka hanya tampil di depan kami. Dan kami mengeluarkan uang 1.300 rupee  (Rp217.100) dengan bonus 3 keping VCD. Ini sangat romantis!  Kenangan baru ini akan terukir abadi di Sungai Gangga.



Taj Mahal, Cinta Mahadahsyat
Keesokan harinya, dari Varanasi kami ke New Delhi menggunakan pesawat. Saya dan Tias langsung ke stasiun kereta api New Delhi. Tiket kereta kelas sleepers sudah di tangan. Kereta menuju  Agra berangkat pukul  21.00. Sambil menunggu waktu tiba, saya mengajak Tias dinner di Pahar Ganj, main bazzar, persis di depan stasiun. Tempat ini kawasan backpacker  seperti halnya Malioboro. Banyak restoran bersih di sini. Saya juga booking hotel. Di India, hunian hotel berbagai kelas selalu dipenuhi turis mancanegara.
Pukul 21.00, kereta menuju Agra berangkat. Tias memilih mewawancarai warga lokal di gerbong, sedangkan saya berbaring di bed atas. Pukul 01.00 kereta tiba di Agra. Sopir dari hotel datang menjemput.
 
Selepas subuh, kami ke Taj Mahal lewat pintu barat. Tiketnya 750 rupee (Rp125.250) per orang. Cukup mahal juga. Banyak turis yang mengeluh. Tapi, apa boleh buat. Sudah datang ke Agra, masa  mundur?

Kami pun bergegas masuk. Sunrise masih bisa kami lihat, walau sedikit. Tapi, tiba-tiba, Tias minta dicium di Taj Mahal. Waduh! Ini areal masjid dan makam, kalau ketahuan polisi India, bisa-bisa ditangkap. Suasana Taj Mahal memang menyugesti untuk  makin mencintai pasangan hidup kita. Spirit cinta Shah Jehan merasuk hati setiap pengunjung.
Melihat Taj Mahal seolah sedang merasakan cinta abadi. Cinta memang milik semua orang, bukan hanya satu agama. Ketika saya membawa Tias Tatanka ke Taj Mahal, terasa sekali nilai universal itu. Semua bangsa, tidak peduli dia beragama apa,   datang ke Taj Mahal, ingin merasakan spirit mahadahsyat cinta Shah Jehan kepada istrinya.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada istrinya. Ada yang dengan materi,  bunga mawar,  gadget terbaru, rayuan gombal, atau dengan 1.001 macam cara lainnya. Tapi,  Maharaja Shah Jehan (1614-1666) mengungkapkan perasaan cintanya kepada Mumtaz Mahal, istri kelima, yang meninggal saat melahirkan anaknya yang ke-14, dengan membangun sebuah makam bernama Taj Mahal.

Dibangun pada tahun 1632-1648, Taj Mahal adalah  contoh terbaik seni Mughal yang menggabungkan arsitektur Parsi, Turki, India, dan gaya arsitektur Islam. Arsitek utama bangunan ini adalah Ustaz Ahmad Lahauri. Taj Mahal merupakan sebuah kompleks terpadu berupa makam, dewan, taman rekreasi, masjid, dan menara tinjau. Bangunan ini dikatakan 'permata senibina Islam'.
 
Ketika berada di areal belakang Taj Mahal, saya melihat ada pria Prancis mencium  pasangannya. Juga turis Eropa lainnya. Saya mulai berani mengecup pipi istri. Bahkan, meminta turis Prancis untuk mengabadikan momen itu. Dan, sebelum pulang, saya penuhi permintaan Tias untuk mengecup bibirnya, sebentar saja.(GOL A GONG)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?