Travel
Keelokan di Ujung Jawa

29 Oct 2011

Sebenarnya, agak riskan bagi saya, Yani Lauwoie, untuk melakukan perjalanan ke Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, pada bulan Desember. Sebab, untuk mencapai tempat tersebut, saya harus menyeberang laut. Riskan karena Desember merupakan musim hujan, sehingga kemungkinan besar ombak sedang tinggi. Namun, catatan perjalanan seorang teman yang mengungkapkan keindahan tempat tersebut, membuat saya nekat ke sana.

Menantang Gelombang



Berangkat dengan 23 teman, kami memulai perjalanan dari Jakarta pukul 23.00. Sekitar pukul 5 dini hari, kami sampai di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dari sini, kami harus berperahu selama sekitar tiga jam untuk sampai ke Peucang, pulau paling populer di Taman Nasional Ujung Kulon.

Beristirahat sebentar, kami lalu naik perahu dan siap membelah lautan. Awalnya, perjalanan terasa aman terkendali. Saya bahkan sangat menikmati angin yang berembus menimpa wajah, sambil memandangi air yang semula berwarna kehijauan berubah menjadi biru. Makin lama birunya makin pekat, menandakan laut makin dalam. Tak terasa, belaian angin membuat saya tertidur.

Tiba-tiba saya merasakan ada cipratan air membasahi wajah. Lama-kelamaan, cipratan tersebut makin banyak. Saya terbangun dan berusaha membuka mata. Ya, ampun, ternyata perahu yang  semula berjalan  tenang, mengalami guncangan. Kondisi yang sangat berangin membuat laut cukup bergelombang. Berkali-kali perahu miring ke kiri dan ke kanan. Bahkan, perahu berkali-kali beradu dengan empasan gelombang, yang akhirnya menimbulkan cipratan air yang cukup besar dan masuk ke dalam perahu.

Saya sempat ketakutan, mengingat perahu sewaan ini tidak terlalu besar. Hanya perahu kayu yang sehari-harinya digunakan untuk mencari ikan. Sontak, kami mengenakan pelampung ke tubuh kami dan tak henti memanjatkan doa. (f)



Lembutnya Pasir Putih



Ketakutan saya langsung reda, begitu melihat daratan yang terlihat sangat hijau. Itu pasti Pulau Peucang, begitu hati saya menenteramkan. Perahu mendekat ke dermaga. Mata saya langsung menangkap air laut yang terlihat bening dan berwarna kehijauan. Saking beningnya, saya bahkan bisa melihat ikan-ikan yang sedang berenang. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata. Melihat keindahan ini, saya langsung lupa pengalaman menegangkan yang baru saja saya lewati.

Dari dermaga, saya bisa leluasa menikmati keindahan pulau ini. Bayangkan, hijaunya pepohonan berpadu dengan putihnya pasir pantai. Tapi, bukan itu yang paling memesona saya, melainkan warna airnya itu! Biasanya air laut hanya memiliki satu warna yang dominan. Entah itu kebiruan atau kehijauan. Tapi, di sini, ada lebih dari satu warna, karena warna air lautnya bergradasi. Gabungan antara kehijauan dan kebiruan. Indah sekali!

Pesona Pulau Peucang makin saya rasakan, ketika menginjakkan kaki di pasir putihnya yang lembut. Rasanya seperti menginjak adonan kue. Saking lembutnya, mata kaki saya sampai masuk ke dalam pasir. Saya dan kedua teman saya, Feny dan Ika, berjalan-jalan di sekitar pantai. Berusaha meninggalkan sebanyak mungkin jejak kaki di pasir yang lembut. Namun, jejak-jejak itu dengan cepat hilang tergulung ombak. (f)



Menginap Bareng Rusa

Pulau Peucang ini merupakan pulau kosong tak berpenghuni. Namun, pulau ini sengaja di-set untuk wisatawan yang ingin bermalam menikmati indahnya kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Karena itu, terdapat kamar-kamar untuk disewa. Mulai dari kamar petak yang bentuknya seperti kos-kosan, sampai kamar yang terdapat dalam cottage.

Fasilitasnya pun beragam, ada yang sangat minimalis untuk para backpacker, sampai yang mewah dengan fasilitas water heater dan AC. Kisaran harganya sekitar Rp150.000 - Rp750.000 per malam. Saya, Feny, dan Ika menempati satu kamar seharga Rp250.000 per malam.

Serunya, di depan kamar kami terdapat halaman rumput yang sangat luas. Di sini berkumpul kawanan rusa yang terlihat nyaman merumput. Jarang-jarang saya melihat rusa dalam jumlah banyak seperti ini. Saya pun duduk-duduk di teras depan cottage, sambil memandangi rusa-rusa tersebut.

Selain rusa, ada pula babi hutan dan monyet. Hati-hati, monyet-monyet  itu suka jail mengambil makanan dan barang-barang. Buktinya, biskuit Ika yang sempat diletakkan di pinggir pantai, langsung dicuri oleh seekor monyet. Tidak heran, di pintu-pintu cottage ada tulisan peringatan untuk menutup pintu, bila tidak ingin kamar kita dimasuki monyet-monyet nakal itu.

Meskipun sempat jijik dengan kotoran rusa dan merasa waswas dengan kehadiran babi hutan dan monyet-monyet yang berkeliaran, saya harus mengakui bahwa kehadiran para hewan tersebut menambah kesan alami pulau ini. (f)



Tracking Menuju Karang Copong

Selain kawanan hewan, hal lain yang membuat pulau ini sangat alami adalah hutan hujan tropisnya. Kami menyempatkan tracking ke dalam hutan ini. Bukan tanpa tujuan pasti, kami menuju Karang Copong, yakni sebuah karang mati besar di tengah laut, yang berada di sebelah utara Pulau Peucang. Menurut pemandu kami, Pak Ade, hanya dibutuhkan waktu 50 menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat itu. Namun, nyatanya, kami membutuhkan waktu 1,5 jam!

Jujur saja, saya bukanlah anak gunung yang nyaman dengan kegiatan tracking seperti ini. Kaki saya rasanya sampai mau copot menempuh perjalanan selama itu. Namun, begitu tiba di lokasi, pemandangan yang saya temukan cukup mengobati rasa pegal di kaki.



Karang ini mengingatkan saya pada Tanah Lot di Bali, hanya tanpa pura. Sayang, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Kami harus segera kembali ke penginapan, karena hari sudah senja. Pak Ade langsung menggiring kami kembali memasuki hutan. Membayangkan saya harus berjalan kaki lagi selama 1,5 jam, dalam kondisi gelap pula, sempat membuat saya ingin berteriak, “Oh, tidaaaak!” (f)



Snorkeling di Pulau Panaitan








Hari berikutnya dihabiskan untuk mengunjungi tempat-tempat menarik di sekitar Pulau Peucang. Tujuan pertama adalah Pulau Panaitan. Untuk menuju pulau ini, kami harus berperahu sekitar satu jam. Gawatnya, hari ini gelombang laut lebih tinggi dibandingkan kemarin, saat menyeberang menuju Pulau Peucang. Berkali-kali perahu terayun-ayun naik-turun oleh gelombang yang cukup tinggi dan mengkhawatirkan.

Mendekati Pulau Panaitan, gelombang tinggi perlahan menghilang dan laut mulai terlihat  tenang. Senang rasanya, itu berarti saya bisa snorkeling tanpa khawatir akan terseret arus gelombang.

Sebelum saya menceburkan diri ke dalam laut di sekitar Pulau Panaitan ini, saya sempatkan menikmati pemandangan pantainya. Tidak jauh berbeda dari karakteristik yang dimiliki Pulau Peucang, di sini juga saya mendapatkan pemandangan air laut dengan gradasi warna yang benar-benar cantik!

Tak lama, saya langsung memakai snorkel dan terjun ke dalam air yang bening itu. Airnya terasa segar sekali. Memang, pemandangan bawah lautnya tidak seindah Pulau Menjangan, Bali, dan Pulau Lengkuas, Belitung. Namun, bukan berarti buruk juga. Di tempat ini, saya bisa melihat sekumpulan terumbu karang, seperti karang meja dan karang kuping. Jenis dan warna karangnya yang dominan kecokelatan mengingatkan saya akan pemandangan bawah laut di sekitar Kepulauan Seribu, Jakarta.

Di sini saya juga sempat melihat berjenis ikan yang berenang ke sana-kemari. Iseng, saya mencoba mengikuti salah satu ikan berwarna abu-abu. Entah apa namanya. Sayang, dengan cepat dia menghilang di antara karang. (f)



Melewatkan Cibom

Tujuan selanjutnya adalah Cibom. Kabarnya, tempat ini memiliki beberapa objek wisata yang menarik. Sebut saja Pantai Ciramea, Menara Tanjung Layar, dan sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda. Selain itu, yang membuat tempat ini makin menarik adalah letaknya di bagian paling ujung Pulau Jawa.

Untuk mencapai Cibom, kami harus berperahu selama sekitar satu jam. Karena banyaknya karang di sekitar pulau, kapal kami tidak bisa merapat. Kami diharuskan naik kano untuk bisa sampai ke tempat tersebut.

Namun, entah kenapa, kano yang sudah dijanjikan tidak kunjung datang. Akhirnya diputuskan untuk menyeberang dengan cara berenang. Tidak jauh, sih, paling hanya memakan waktu 5 menit. Perjalanan tidak berhenti sampai di situ, kami harus melanjutkan tracking ke dalam hutan untuk sampai ke lokasi-lokasi wisata yang disebutkan tadi. Katanya, tracking ini memakan waktu hampir satu jam sekali jalan.

Saya sangat terobsesi menginjakkan kaki di tempat terujung Pulau Jawa ini, namun kondisi kesehatan saya tiba-tiba drop. Saya sempat muntah berkali-kali. Ah, mungkin hanya masuk angin. Terpaksa, saya tinggal di perahu dan hanya melihat keindahan tempat ini lewat foto-foto yang dihasilkan oleh teman-teman saya. Iri! (f)



Padang Penggembalaan

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Padang Penggembalaan Cidaon. Tempat ini berjarak sekitar setengah jam berperahu dari Cibom atau 10-15 menit, bila berperahu dari Pulau Peucang. Dari namanya, sudah jelas apa yang bisa kami temukan di sini: berbagai jenis hewan yang sedang merumput.



Hewan-hewan itu di antaranya banteng, burung merak, babi hutan, dan kera ekor panjang. Tapi, bila ingin melihat hewan-hewan tersebut, sebaiknya sesuaikan waktunya dengan jam makan mereka. Biasanya mereka muncul hanya di pagi hari, pukul 06.00-08.00 dan sore hari, pukul 17.00-18.00.

Namun, itu pun tidak menjamin bahwa kita akan bisa melihat semua jenis hewan. Contohnya saya. Meskipun sampai di sana sore hari sesuai waktu yang ditentukan, saya hanya sempat melihat banteng yang sedang asyik merumput. Saya jadi berpikir, kenapa banteng-banteng ini memiliki warna bokong yang berbeda dari warna tubuhnya. Bila tubuhnya mayoritas berwarna cokelat, bokongnya justru berwarna putih. Hmm… pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya.

Sebenarnya saya penasaran ingin melihat burung merak. Beberapa teman saya yang masuk terlebih dulu ke tempat ini, sempat bertemu sekawanan merak. Sayangnya, kedatangan mereka justru membuat merak-merak itu takut dan berlari  masuk ke dalam hutan. Hilanglah kesempatan saya untuk melihat burung berbulu indah tersebut. Kendati demikian, saya tidak kecewa. Soalnya, padang rumputnya yang luas dan seolah ditata rapi ini, sangat enak dipandang mata. Melihat rona hijau di mana-mana, sungguh sangat menyejukkan mata.

Di sini juga terdapat menara pengintai. Kalau naik ke menara, kita bisa lebih leluasa melihat seluruh pemandangan. Hati-hati mendaki anak tangganya, karena terlihat tidak begitu kokoh lagi. Tapi, begitu akhirnya bisa sampai di atas, percaya, deh, melihat pulau ini dari ketinggian, rasanya sangat berbeda. (f)



Tip

1. Taman Nasional Ujung Kulon merupakan salah satu daerah endemik penyakit malaria. Karena itu, sebaiknya minum obat antimalaria sebelum berangkat.

2. Siap-siap terlepas dari ponsel, karena tidak ada sinyal ponsel di tempat ini.

3. Tidak ada warung dan rumah makan, jadi sebaiknya bawa perlengkapan logistik dan persediaan makanan dari rumah. Seandainya tidak ingin memasak sendiri, kita bisa memesan makanan di penginapan Pulau Peucang. Tapi, pemesanan ini sebaiknya dilakukan jauh hari sebelum datang.

4. Listrik di Pulau Peucang hanya menyala dari pukul 18.00-06.00.

Yani Lauwoie (Kontributor – Jakarta)
Foto: Dok. Pribadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?