Travel
Ke Kampung Halaman The Beatles

20 Dec 2012

Saat menginjakkan kaki di Liverpool One Train Station, setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari London, syair lagu The Beatles itu seolah mengelilingi saya, Yaya Sitanggang.  Liverpool memang kampung halaman dari salah satu band terbesar sepanjang masa, The Beatles. Tak heran, jika akhirnya kota ini menjadikan segala yang berbau The Beatles sebagai aset wisata mereka. Di sini saya juga menemukan tempat menarik ‘wajib’ kunjung lain.




Albert Dock: Tempat untuk Merenung
Mengelilingi  Albert Dock, 15 menit jalan kaki dari Liverpool ONE Train Station, masih terlihat sisa-sisa keindahan desain saat tempat ini masih menjadi pelabuhan terkenal pada abad ke-19. Meskipun lokasi itu sempat hancur akibat serangan udara yang disebut May Blitz pada tahun 1941, saat periode Perang Dunia II, pemerintah setempat mampu merenovasinya, dan dibuka kembali pada tahun 1988.
   
Bangunan-bangunan yang dulunya adalah gudang berbagai barang, sekarang berubah fungsi. Berkeliling kompleks bangunan itu, saya menemukan Museum Maritim dan International Slavery, galeri seni bernama Tate Liverpool, berbagai restoran dengan harga wisatawan, bermacam toko suvenir, sampai The Beatles Story, museum Beatles yang memasang harga tiket masuk sekitar Rp250.000 untuk orang dewasa.
   
Setelah letih mengelilingi kompleks itu, paling enak mengistirahatkan kaki di kursi-kursi kayu panjang yang tersedia di dermaga dan langsung berhadapan dengan laut. Di tengah hiruk pikuk pusat Kota Liverpool, Albert Dock menyediakan ruang untuk merenung, ditemani lautan air, trompet kapal dari kejauhan, dan kicauan burung camar. Mungkin satu dua lagu atau puisi bisa tercipta di sini?


Pantai Crosby: Menikmati karya seni Anthony Gormley
Sebenarnya, tempat ini hanya sebuah pantai biasa yang terletak di area pinggiran kota, sekitar 20 menit menggunakan kereta api dari Liverpool One Train Station. Tapi, coba lihat ke arah laut. Puluhan orang berdiri di pantai, seolah akan menenggelamkan diri. Mungkin reaksi Anda akan seperti saya, panik. Saat mendekat, saya terkesima, tubuh orang-orang itu sangat hitam, tidak memiliki bola mata dan tak bergerak sedikit pun. Masih dilingkupi perasaan terkejut, saya menghampiri yang  lain dan mendapati... mereka semua tampak serupa! Ah, ternyata cuma patung!
   
Yah, inilah salah satu karya terbesar seniman bernama Anthony Gormley, seniman patung kebanggaan Inggris. Instalasi spektakuler ini diberi nama Another Place, terdiri dari 100 patung besi, seukuran tubuh manusia dewasa, tersebar 3 kilometer di sepanjang pantai dan patung yang terjauh berjarak 1 kilometer dari bibir pantai.

Tiap patung dari Another Place ini berbobot 650 kilogram, dengan tinggi 189 cm (setinggi badan Anthony Gormley), berdiri diam menatap horizon, dengan pandangan sedih dan muram karena terpisah dari tempat asal mereka. Sejak diletakkan pertama kali pada tahun 2005, instalasi ini sudah menarik banyak minat wisatawan. Akan tetapi, sebenarnya cukup banyak warga lokal yang ingin agar instalasi ini dipindahkan dari lingkungan. Menurut mereka, patung-patung yang telanjang itu mengandung unsur pornografi.

Terlepas dari kontroversi itu, saya sangat menikmati berada di pantai ini. Apalagi saat menjelang matahari terbenam. Bersama ratusan patung bisu menyaksikan matahari pelan-pelan menghilang di langit berwarna jingga yang dalam beberapa saat berubah gelap. Dan, sesekali melihat kapal pesiar yang hendak berlayar ke Irlandia dengan lampu kelap-kelipnya yang lama-lama menjauh. Romantis.



Cavern Club: Karaoke bersama The Beatles
Di Matthew Street, hanya 10 menit jalan kaki dari Liverpool One Train Station, ada dua tempat yang saling berhadapan: Cavern Pub dan Cavern Club. Keduanya ‘bersaudara’. Namun, yang menjadi favorit saya --dan bisa jadi semua orang-- adalah Cavern Club.
   
Jika datang Senin - Rabu, Anda tidak perlu membayar alias gratis. Kamis dan Jumat, jika datang sebelum pukul 8 malam, juga gratis. Tapi, jika datang setelahnya, Anda harus merogeh kocek sebesar Rp50.000. Hari Sabtu ada tiga kategori, sebelum pukul 2 siang gratis, sebelum pukul 8 malam Rp31.000, dan setelah itu Rp65.000. Hari Minggu, sebelum pukul 8 malam gratis, setelahnya Rp31.000. Sepadanlah untuk menyaksikan tempat awal sebuah revolusi musik.

Bagian dalam Cavern Club selalu membuat saya merasa kagum. Bukan karena mewah. Sebaliknya, klub yang tadinya gudang bawah tanah ini terkesan ‘kumuh’ dan berantakan, tapi itulah yang membuatnya terasa istimewa. Cocok sebagai lokasi awal mula sebuah ‘pemberontakan’.
   
Tidak ada bangku di dalam klub ini. Sementara, di panggung di depan sangat kecil dan terkesan seadanya.  Tapi, di situlah pertama kali The Quarry Men Skiffle Group (cikal bakal The Beatles) yang beranggotakan John Lennon, Len Garry, Rod Davies, Colin Hanton, Pete Shotton, dan Eric Griffiths memanaskan klub dengan musik rock n’ roll mereka. Saat itu, 7 Agustus 1957, Alan Sytner (sang pemilik klub pertama) menghampiri Lennon di tengah-tengah pertunjukan dan meminta untuk menghentikan aksi rock n’ roll mereka. Wajar, karena Sytner mendirikan klub itu sebagai penghormatannya terhadap musik jazz favoritnya.
   
Memperhatikan dindingnya yang terbuat dari bata kasar, tanpa dicat atau dipoles, nyaris tak ada celah bersih. Semuanya berisikan tulisan, tanda tangan, atau sekadar coretan dari para jutaan pengunjung yang ingin mengabadikan kedatangan mereka ke sana. Jamie was here dan frasa senada itu menghiasi seluruh dinding. Tak mau ketinggalan, saya dan teman-teman saya juga mempraktikkannya. Bukan vandalisme namanya, jika diizinkan dan diberi ruang untuk ‘menodai’ sebuah tempat.
   
Berapa kali pun saya datang, entah malam atau sangat malam, tempat ini selalu ramai, terutama dipenuhi oleh wisatawan. Di ruangan klub yang penuh sesak dan pernah ditutup pada 27 Mei 1973 oleh British Rail itu, saya sering mendengar percakapan berbagai bahasa. Namun, tak peduli dari negara mana dan apa bahasa yang dipakai, dengan secangkir bir di tangan, semuanya akan bernyanyi lantang, berkaraoke bersama (walau dengan aksen yang berbeda-beda), saat home band memainkan lagu-lagu The Beatles. Band yang memainkan musik di panggung memang belum terkenal, sama dengan saat The Beatles, Queen, dan Oasis tampil di panggung itu.

Menariknya, sesekali klub ini juga menghadirkan nama-nama besar di panggung itu. Yang pernah saya saksikan sendiri adalah Adele. Ia menggelar sebuah konser gratis, tak lama setelah merilis album keduanya, 21. Kondisi di dalam? Sulit digambarkan dengan kata-kata: sesak luar biasa, dalam berbagai arti.


@Jamie’s Italian: Menyantap Masakan Jamie

Di Paradise Street, sekitar 10 menit jalan kaki dari Liverpool One Train Station, Anda bisa menyantap masakan Italia hasil kreasi Jamie. Ya, memang tidak langsung koki  andal ini yang memasaknya, tapi paling tidak Anda  bisa merasakan seperti apa, sih, masakan Italia khas seorang Jamie Oliver.                                                                                        
   
Jika Anda bukan tipe orang penyabar, saya sarankan untuk tidak datang pada jam-jam makan siang atau  malam, atau akhir pekan di waktu yang sama. Pasalnya, antreannya bikin ngeri; walau tidak akan mengalahkan antrean midnight sale di Jakarta. Tapi, jika Anda mau bersabar... it’s very worth waiting!    
   
Restoran ini memang tidak begitu besar. Jika Anda tipe orang yang suka makan sambil menonton orang   lalu-lalang, pilihlah kursi di teras restoran. Posisi restoran yang berada di pusat kota dan berseberangan dengan toko-toko fashion ternama membuat Anda bisa menikmati fashion show yang diperagakan oleh pejalan kaki. Kalau saya, sih, lebih suka duduk di dalam restoran yang tenang. Restoran ini tidak memasang musik latar apa pun atau televisi, sehingga Anda bisa santai mengunyah makanan. Interior restoran serba cokelat: sofa cokelat, meja kayu berwarna cokelat, dan  suasana temaram.
   
Berbicara soal makanan, jujur saja, saya bukan penggemar pasta. Karena penasaranlah, saya datang ke tempat ini. Dari sekian banyak menu yang tersedia dan sepertinya semua enak, akhirnya saya memilih spaghetti bolognaise. Dan, itu adalah spaghetti... terenak yang pernah saya makan! Tidak melebih-lebihkan, tapi rasanya memang tidak bisa dibandingkan dengan spaghetti yang dijual di resto biasa atau yang kita masak sendiri di rumah. Harga memang tidak bisa bohong.

Jika Anda penyuka wine, sangat disarankan untuk menyantap hidangan Italia Anda bersama segelas red wine. Konon, yang mereknya Primitivo menjadi salah satu favorit. Atau, jika Anda ingin mencari referensi menu, cobalah bertanya kepada para pramusaji yang semuanya sangat ramah. Sekali lagi, harga memang tidak bisa bohong!



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?