Travel
Jalan Kaki Satu Mil Menjelajah Edinburgh

30 Oct 2011

Ini kali kedua saya, Rohaya Sitanggang, datang ke Edinburgh, ibu kota Skotlandia. Bangunan-bangunan megah bergaya abad pertengahan di sepanjang jalan, di mata saya seperti hidung mancung sempurna. Bersihnya kota ibarat wajah yang terawat, jauh dari vlek-vlek hitam. Ah... wajah yang memesona. Bahkan, di musim dingin dengan suhu 3 derajat Celsius, ‘wajahnya’ tidak berkerut sama sekali.

Anomali di Athens of the North



Sebelum mulai menjelajah Edinburgh, saya ingin memberi tahu satu hal: lupakan menghafal nama-nama jalan. Sebab, hampir setiap lima menit berjalan kaki, nama jalan sudah berubah. Lebih baik fokus pada apa yang ingin Anda kunjungi. Berjalan kaki adalah cara terbaik untuk menikmati keindahan kota yang dinobatkan sebagai UNESCO World Heritage pada 1995 ini. Jarak satu objek wisata ke objek wisata lain relatif dekat. Sayang rasanya melewatkan keunikan setiap sudut kota, jika mengendarai mobil.

Tempat pertama yang saya singgahi adalah Royal Mile, landmark dalam kota. Seperti namanya, Royal Mile memiliki panjang persis satu mil. Tapi, dalam jangkauan satu mil itu, semua objek menarik sudah terengkuh. Mudah pula menemukan restoran, kafe, dan kios penjual suvenir khas Skotlandia, seperti tartan, kilt, dan bagpipes. Tidak heran, landmark ini terlihat sibuk, padat, dan terkesan hiruk pikuk dengan wisatawan dari berbagai belahan dunia yang numplek di sana.

Sebagian besar bangunan memiliki atap runcing dan tinggi, serta ukiran-ukiran rumit menghiasi dinding. Mengingatkan saya pada bangunan di Yunani. Pantaslah jika kota ini dijuluki Athens of the North.

Dari sekian banyak hal yang bisa dilihat di sepanjang Royal Mile, ada satu bangunan yang menarik perhatian. Bangunan bergaya sangat modern dan futuristis ini, di depannya terpampang tulisan ‘Scottish Parliament’. Di ‘belantara’ arsitektur abad pertengahan, gedung ini seperti turun dari luar angkasa dan menimbulkan kesan salah tempat.

Ketika saya tanyakan hal ini kepada teman yang asli Edinburgh yang menemani perjalanan saya, jawabannya seperti ini,. “Pembangunan gedung ini memang kontroversial. Arsitekturnya jauh dari ciri khas bangunan Edinburgh, tidak ada pintu bambu di bagian depan dan tidak berbentuk menara. Belum lagi, biayanya yang mencapai  431 juta poundsterling (sekitar 6 triliun rupiah),” ujarnya.

Harus diakui, bangunan berbentuk daun ini memang cantik sekali, apalagi dengan rumput yang ditanam di bagian atap. Meski kontroversial, nyatanya bangunan yang selesai dibuat pada tahun 2004 ini memenangkan Stirling Prize, penghargaan arsitektur paling bergengsi di Edinburgh. (f)



Kafe Harry Potter



Sekilas, tak ada yang istimewa dari The Elephant House. Kafe dengan warna cat oranye ini dipenuhi antrean pembeli. Penasaran, saya pun mencari tahu apa yang membuat tempat ini begitu ramai.  Oo… saya akhirnya menemukan tulisan kecil terpampang di depan, ‘Birthplace of Harry Potter’. Sebagai penggemar karya J.K. Rowling, hati saya melonjak penuh kegembiraan.

Memasuki gedung, suasananya terasa seperti di sebuah kafe tempat banyak orang duduk-duduk. Saat masuk lebih dalam lagi, ternyata bagian utama kafe ini terletak di bagian belakang dengan latar belakang pemandangan kota, yang terlihat dari balik jendela. Lucunya, jika Anda mencari-cari apakah ada meja atau kursi yang diberi label ‘Di sinilah J.K. Rowling duduk sambil menulis Harry Potter’, sia-sia saja.
 
Hanya terdapat sebuah potongan koran lokal lama tentang berita J.K. Rowling yang ditempelkan di papan dinding. Koran itu menceritakan dirinya yang sering menikmati secangkir kopi di Elephant House saat mencari inspirasi sehingga novel fenomenal itu tercipta. Jejak lain? Tidak ada lagi. Sepertinya, kafe ini tidak mau menjadikan fakta tersebut sebagai aji mumpung untuk menarik konsumen.
 
Berhubung saat itu saya sedang tidak lapar, dan melihat antrean pembeli yang panjang, saya mengurungkan niat untuk menikmati secangkir kopi yang dulu pernah dicicipi oleh J.K. Rowling. Namun, saya menemukan kafe lain yang juga berhubungan dengan novel terkenal. Fakta ini saya temukan saat sudah duduk dan menyeruput secangkir cokelat panas dan sepiring sandwich di The Deacon’s House Cafe.
 
Bangunan kafe ini dulunya adalah workshop seorang pembuat lemari lokal ternama dan pegawai legislatif pada tahun 1785, bernama William Deacon Brodie. Uniknya, saat malam tiba, Deacon berganti profesi menjadi perampok. Dia membuat kunci duplikat dari rumah-rumah pelanggannya dan mencuri harta mereka. Dua tahun lamanya dia beraksi, sampai akhirnya tertangkap basah saat menjadi tamu tak diundang di rumah salah satu tetangganya.

Tahun 1788, Deacon dihukum gantung dengan gantungan yang dibuatnya sendiri. Sosok berkepribadian ganda inilah yang kemudian menjadi inspirasi cikal bakal karakter utama dalam Strange Case of Dr. Jekyll and Mr.Hyde (1886), karangan Robert Louis Stevenson, novelis asal Skotlandia. Dan, setiap periode penting dalam masa hidup Deacon diabadikan dalam bentuk 6 mural di dinding kafe tersebut. (f)



Terpikat Museum dan Katedral Tua

Saya kembali berjalan dan menemukan Museum of Childhood. Museum yang didirikan tahun 1995 ini jauh dari deskripsi umum sebuah museum. Bangunannya cuma berbentuk ruko berlantai tiga. Namun, saat masuk, tanpa dipungut biaya, pengunjung seperti dibawa ke masa lalu, taman bermain zaman baheula.

Melihat benda-benda di museum yang didirikan seorang warga lokal bernama Patrick Murray ini, koleksi mainannya yang berjumlah lebih dari 60.000 ini mengikuti masa evolusi. Misalnya, perubahan sepeda yang dipakai anak kecil pada periode 1930-an sampai sekarang. Bisa juga ditemui evolusi boneka yang digemari anak-anak, sejak periode puppet menjadi idola, sampai periode Barbie dan Ken. Duh, senangnya menjadi anak-anak kembali!

Perhentian terakhir saya hari itu adalah St. Giles’ Cathedral atau High Kirk of St Giles. Keanggunan bentuk gedungnya yang bergaya gotik ini begitu memikat, dengan atap runcing dan kesan vintage sebuah gereja yang sudah tidak lagi dipakai sebagai katedral secara fungsional. Bagian dalam gedung ini ternyata dipenuhi wisatawan yang sibuk berfoto.

Yang menarik perhatian adalah empat pilar besar berwarna cokelat yang menopang gereja, yang diperuntukkan bagi Santo Giles, santo terkenal Edinburgh pada abad pertengahan. Ternyata, itu adalah empat bagian tersisa dari versi awal gereja yang dibangun pada abad ke-12 ini. Pilar selebihnya adalah hasil pugaran sejak abad ke-14 dan terus dipugar selama 150 tahun berikutnya.

Beruntung, hari itu sedang ada latihan paduan suara. Kabarnya, mereka sedang mempersiapkan diri untuk sebuah konser yang memang rutin digelar setiap hari Minggu mulai pukul 6 sore. Sebuah aransemen Mozart dibawakan begitu indah, memenuhi aula gereja. (f)



Seiris Haggis dan Puisi

Kurang afdal, jika berkunjung ke sebuah tempat tanpa mencicipi makanan khasnya. Bagi orang Edinburgh, makanan kebanggaan mereka bernama haggis. Makanan ini bisa ditemukan di berbagai kafe atau restoran dengan harga sekitar  5 poundsterling (sekitar Rp70.000).

Teman saya yang berasal dari Amerika Serikat berujar, dia tidak akan pernah mencoba memakannya, karena tahu terbuat dari apa haggis itu. Bagi kita orang Indonesia, haggis sebenarnya sudah tidak asing lagi. Haggis terbuat dari isi tubuh domba, yaitu hati, jantung, dan paru-paru. Atau, kalau istilah kita, jeroan.

Jeroan itu dihaluskan, dibentuk bulat-bulat, dimasak dengan bawang bombay, oatmeal, lemak sapi, lada, dan garam, lalu direbus. Dulu, haggis dimasukkan ke dalam perut domba terlebih dahulu, baru direbus selama tiga jam. Sekarang, haggis direbus dengan dilapisi usus domba, seperti pembuatan sosis. Konon, resep haggis ditemukan sekitar tahun 1430 di Lancashire, North West England, dari sebuah buku masak berjudul Liber Core Cocorum.

Yang pasti, haggis biasanya disajikan dengan sayuran, kentang rebus yang dilumat, dan bila perlu secangkir scotch whisky. Sebelum menyantap haggis, biasanya sebuah puisi dibacakan. Tapi, tak semua restoran menyediakan ‘service’ membacakan puisi panjang. Cobalah minta  kepada pegawai atau bisa juga meminta pemilik kafe untuk membacakannya.

Puisi berjudul Address to a Haggis ini dibuat oleh penyair Skotlandia bernama Robert Burns tahun 1786. Intinya tentang betapa berharganya haggis. Pada periode masa hidup Robert Burn, haggis digambarkan sebagai makanan mewah sehingga saat hendak disajikan akan menjadi momen istimewa. Dan, untuk mengingat jasa Robert, setiap tanggal 25 Januari, hari lahir Robert, warga Skotlandia merayakan Burns Supper, dengan haggis sebagai menu utama.

Puisi ini aslinya ditulis dalam bahasa Skotlandia. Pada bagian ‘His knife see rustic Labour dicht’, pisau dibersihkan oleh pembaca puisi. Kemudian di bagian ‘An' cut you up wi' ready slicht’, pisau memotong haggis dari ujung yang  satu ke ujung yang lain.  Haggis pun siap dimakan. Rasanya? Kira-kira seperti jeroan biasa. Hanya, yang ini lebih berlemak, karena dimasak dengan lemak sapi. Saya malah membayangkan seandainya makan haggis dengan ditemani sambal terasi superpedas. Hmm… pasti lebih maknyus! (f)



Bertahun Baru di Princess Street

Ribuan wajah berkeliaran di Princess Street. Tawa sukacita, teriakan, nyanyian, dan tiupan trompet campur baur di sana. Malam itu, 31 Januari 2010, Princess Street, jalan yang  sehari-hari menjadi pusat kesibukan kaum urban Edinburgh, ditutup untuk segala jenis kendaraan. Tempat itu lantas disulap menjadi arena Hogmanay Festival 2010. Pesta jalanan yang digelar tiap tahun di kota itu adalah penanda tutup tahun, sekaligus pembuka untuk tahun baru. Hogmanay merupakan kata dalam bahasa Skotlandia yang berarti malam tahun baru.

Arena karnaval dengan lampu warna-warni meriah menjadi sumber cahaya yang membuat jalanan bersinar di sepanjang kawasan festival. Sebuah panggung besar bernama Concert in the Gardens siap menghadirkan penyanyi sebagai penghibur pergantian tahun. Di antara sederet nama artis, cuma satu yang saya tahu, KT Tunstall.

Panggung di ujung jalan khusus untuk DJ yang beraksi dengan turntable mereka, membius pengunjung yang berasal dari berbagai negara untuk bergoyang, mengisi waktu beberapa jam menjelang tahun baru. Tak mau berdiam diri di suhu yang dinginnya di bawah nol derajat Celsius malam itu, plus iringan musik yang energik dan mengentak, tubuh saya spontan menari. Makin malam, musik  makin kencang mengalun. Alkohol menjadi minuman ‘wajib’ untuk menghangatkan suasana. Rasanya dingin dan kantuk pun langsung menguap.

Rohaya Sitanggang (Kontributor – London)
Foto: dok. pribadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?